Wednesday, November 28, 2012

The Power of Eyes ( Part 33 )

Tetapi, jantungku langsung terasa seperti berhenti berdetak begitu mengetahui dan menyadari bahwa ada Alfia di depanku dengan tangis yang ada di pipinya.

Alfia melihatku dan Aly.

Spontan, ku lepas peluk ini dan langsung berdiri tegap berhadapan dengan Alfia.

Jantungku berdegup cepat bahkan sangat amat kencang, bibirku kaku, pikiranku kalut, sedangkan Alfia terus menerus meneteskan air mata yang lalu Ia usap dengan kedua tangannya.

Kecanggungan yang sekarang sedang ku rasa. Aly terus menerus menyerukan namaku, tetapi mataku terus menerus menatap bola mata Alfia yang lembab dan tergenangi oleh air mata.

Alfia langsung berlari meninggalkanku dengan isak tangis yang terdengar, spontan langsung ku tarik tangannya yang membuatnya berhenti. Kini tangannya berada di dalam genggamanku, Ia menunduk, dan terus menerus ku lihat air mata jatuh ke rerumputan taman.

Alfia mendongakkan kepalanya, ”Kamu pembohong, Grey. Pembohong!” Matanya menyorotku tajam, bahkan mampu menyayat hatiku hanya dengan tatapan itu. Perih, itu yang ku rasa.

”Tiga bulan yang lalu kita pegang janji itu, Grey. Di sini, di tempat ini, tapi kenapa kamu hancurkan janji itu di sini, di tempat yang sama saat kita memegang janji itu? Kenapa?”

”a..aku sama dia nggak ada apa-apa.”

”Aku dengar semuanya, aku ada di sini udah dari tadi. Aku dengar semuanya, aku dengar saat kamu balas tiga kata kecil itu. Aku juga lihat waktu kamu peluk tubuh dia, aku lihat waktu kamu makein dia flower crown. Aku lihat itu semua, dan apa mungkin kalau kamu dan dia nggak ada apa-apa?”

Aku menunduk.
Ini semua sulit dijelaskan.
Semua ini terjadi dalam waktu yang amat singkat.

Seminggu yang lalu, ku temui sosoknya di kursi taman ini di mana awal mulanya aku dekat dengannya.
Ini semua terjadi tanpa disengaja, tanpa ada yang meminta. Tuhan yang mengehendaki ini semua terjadi, mengehendaki untuk mempertemukanku dan Alyssa di saat ku punya Alfia di sisiku.

Satu hal yang terus menerus berkecambuk di benakku saat ini,
Apa tujuan Tuhan melakukan ini semua?

Aku kembali menatap sosok Alfia yang berada di hadapanku masih dengan tangisnya yang mengalir deras.

Ku tarik nafas panjang sebelum menjelaskan semuanya kepada Alfia, mungkin ini saat yang tepat.

”Dia cuman gadis buta yang ku temui sosoknya seminggu yang lalu di taman ini, nggak lebih.”

Kalimat itu dengan mulusnya terlontar dari mulutku, tanpa menyadari bahwa kalimat itu sangat menyakitkan untuk didengar.

Aku masih menunduk, menatap hamparan rumput hijau yang sudah terkena tumpahan air mataku. Bayangan Alfia yang tadinya ada di depanku bergerak pergi entah kemana, ku putuskan untuk tetap terdiam dan menunduk di sini, pikiranku terlalu kusut untuk mencerna semuanya.

”Lo cuma cewe buta yang nggak tau diri! Greyson cowo gue! Gila lo! Buta aja belagu!”

Aku tersentak begitu mendengar kalimat itu yang sudah pasti terlontar dari mulut Alfia. Maka langsung ku berlari menuju kursi tempat Aly berada dengan sosok Alfia di depannya.

”Berhenti, Alfia! It's not funny at all!”

”Kamu sendiri yang bilang kalau dia cuman gadis buta yang kamu temuin di taman ini, kan?! Emang udah takdir dia aja yang buta! Cacat mata!”

”Shut up!” Bentakku dan tanpa disadari ku layangkan tanganku ke pipi Alfia. Ku lakukan itu dengan spontan, tanpa adanya perintah dari otakku.

Langsung ku balikkan badan untuk menemui Aly dan meminta maaf atas segala yang telah Alfia katakan padanya.

Tetapi Aly sudah tidak ada di kursinya. Kursi yang tadi Ia tempati sudah kosong.

Mataku membulat menjelajahi penjuru taman ini.

Akhirnya, ku dapati sosoknya sedang berlari menuju jalan raya.

Tunggu,
Jalan raya!

Aku langsung berlari cepat menuju Aly, karena kau tahu Ia buta dan aku takut hal buruk terjadi padanya.

Ku berlari mencoba sekencang mungkin, pikiranku kacau. Bisa ku rasakan bagaimana perasaan Aly saat ini begitu mendengar semua perkataan tidak mengenakkan hati yang dilontarkan Alfia.

”ALY!”

Kini semuanya terlambat.
Sosoknya telah tergeletak di pinggir jalan.
Darah segar mengalir deras dari tubuhnya.
Matanya tertutup.
Tetapi senyum tetap mengembang di wajahnya,
senyum tipis itu tetap ada di sela-sela darah itu.

Untuk saat ini dua kata,
Aku telat.

***

Satu tahun kemudian.

Kediaman Greyson.
Jakarta, Indonesia.
07.00 WIB.

Ku teguk teh hangat buatanku yang berhasil membuat tubuhku terasa sedikit hangat di tengah cuaca mendung pagi ini. Setelah itu, ku ambil sebuah amplop yang ada di atas meja kecil ini.

Surat yang ditulisnya satu tahun yang lalu sebelum pergi.

”Untuk: Greyson :)

Aku ada di alam yang berbeda di saat kamu baca surat ini. Itu pasti, karena ku buat surat ini di detik-detik sebelum kepergianku. Maka jika aku tidak pergi dan masih ada di dunia ini, itu mustahil kalau surat ini ada di tangan kamu :)

Um, mata.
Kamu pernah bilang, kalau mataku adalah hal yang paling kamu suka.
Kamu pernah bilang, kalau cahaya terang dari manapun tidak akan pernah bisa mengalahkan cahaya mataku.
Kamu pernah bilang, kalau warna cokelat dari bola mataku mengandung unsur sihir yang selalu membuatmu mau melakukan apapun demiku.
Kamu pernah bilang, kalau bola mataku ini yang membuat kamu jatuh hati kepadaku di kali pertama kita bertemu.
Kamu pernah bilang, kalau kamu mau melakukan apapun demi menjaga bola mataku ini.
Kamu juga pernah bilang, kalau bola mata ini yang akan selalu membuatmu cinta kepadaku.

Tetapi,
Jika bola mata yang sangat amat kamu cintai itu pergi dari wajahku,
Apakah kamu masih cinta kepadaku?
Apakah aku masih bisa menyihirmu?
Apakah kamu masih mau menjagaku?

Aku tahu, mungkin tidak seharusnya aku berharap lebih. Mungkin jika kedua bola mataku ini pergi, kau akan berhenti mencintaiku dan berhenti menjagaku. Bahkan, aku tidak akan pernah bisa lagi menyihirmu dengan cahaya terang bola mata itu.

Mungkin, aku bisa menerima itu semua.

Karena kepergianku ini bukan salahmu, ini semua salahku.

Ini semua salahku yang lebih memilih untuk pergi meninggalkanmu dan membuatmu jatuh ke perempuan selain diriku.
Mungkin seharusnya kita tidak perlu membuat janji konyol di taman untuk berjanji tidak mencintai siapapun selama aku pergi, karena janji itu hanya bisa diingkari yang malah menambah beban kamu.

Greyson, ini bukan salah kamu seutuhnya.
Ini salahku.
Ini salah atas kepergianku.
Karena kamu bertemu dengannya di taman itu, dan kamu ke taman itu karena merindukan AKU, kamu ingin memutar kenangan manis kita di taman itu hanya karena kamu merindukan AKU. Hingga akhirnya di taman itu kamu malah menemukan dia.
Itu bukan kesalahan kamu, karena pada dasarnya kamu bertemu dengan Aly karena AKU. AKU yang menyebabkan itu semua terjadi. Jadi, jika sekarang kamu berniat untuk minta maaf kepadaku itu tidak perlu. Karena seharusnya aku yang minta maaf kepadamu karena sudah membuatmu sedih dan bingung berada di antara aku dan dia.

Jadi, maaf.

Oiya, bisakah kamu sampaikan maaf ku kepada Aly? Aku sangat menyesal telah melontarkan kata-kata kasar itu dan ku harap kepergianku bisa membalas itu semua :)

Asal kamu tahu, Grey.
Di hari itu di saat aku telah membuat Aly sampai tertabrak oleh mobil karena perkataan kasarku aku sangat amat menyesal. Kata-kata itu terlontarkan begitu saja tanpa adanya persetujuan dari otakku. Ditambah lagi saat aku melihat kamu membawa Aly ke rumah sakit dengan tangis di pipi kamu, dengan darah yang mengalir lembut dari tubuh Aly yang mengotori baju kamu, itu semua membuatku rapuh. Aku bisa merasakan kesedihan kamu saat itu, padahal di lain sisi aku lah yang membuat itu semua terjadi. Tetapi sungguh aku amat sangat menyesal.

Saat di rumah sakit, mungkin kamu mengira bahwa aku tidak datang di sana. Padahal aku ada di sana, tetapi aku tidak sanggup untuk mendekatimu yang sedang shock berat dengan kejadian itu. Melihatmu menangis di depan ruang Unit Gawat Darurat dari jauh saja sudah membuat hatiku teriris secara perlahan. Apalagi di saat dokter berkata bahwa Aly kehabisan banyak darah, di saat itulah air mataku jatuh dengan amat derasnya, dan di saat itulah satu-satunya cara untuk meminta maaf kepada Aly dan kepada semuanya atas hal yang disebabkan olehku ini. Maka langsung ku temui dokter itu dan bilang bahwa aku ingin menyumbangkan darah untuk Aly. Dokter sempat berkata bahwa sekantung darah yang akan ku donorkan tidak cukup untuk menggantikan darah Aly yang sudah terlanjur banyak terbuang, dan jika aku nekat dan berniat menggantikan darah Aly dengan seberapa banyakpun darah yang ada di tubuhku dokter bilang bisa mengancam nyawaku sendiri.

Di detik itu aku terdiam.
Dan hanya ada dua pilihan saat itu,
Nyawaku atau nyawa Aly?

Karena menyadari bahwa waktu sangat singkat, ku putuskan untuk memilih nyawa Aly. Nyawa perempuan yang sudah banyak memberikanmu sekelebat pelajaran tentang arti hidup yang sebenarnya.

Dokter sempat tak yakin dengan pilihanku, tetapi akhirnya Ia mengerti dan sebelum pendonoran itu berlangsung aku meminta izin untuk menulis surat ini dan memintanya untuk mendonorkan mataku untuk Aly jika aku pergi.

Alasanku mendonorkan mata ini ke Aly adalah agar kamu masih bisa melihat bola mata kesayanganmu ini walaupun jasadku sudah pergi. Aku ingin kamu masih bisa melihat cahaya terang itu.

Greyson, if you miss me just look at her eyes.

Cause this is what I called,
The Power of Eyes.

From,
Alfia ♥

P.s.: ku kembalikan kotak musik yang kamu beri sehabis prom itu karena ada tulisan 'AL-' di bawahnya, mungkin maksud kamu ALy bukan ALfia :) lebih baik jika berikan kotak musik itu ke Aly.”


Kini tangisku benar-benar pecah.
Badanku bergetar kuat karena tangisan itu.
Tanganku tak sanggup lagi memegang kertas ini.
Jantungku berdegup sangat amat cepat.
Pikiranku memutar sekelebat memori yang ku alaminya selama ini.

***

Ku parkir mobilku di depan rumah sederhana ini, lalu keluar dari mobil dan menghampiri sosok perempuan berambut hitam panjang yang sedang duduk di kursi taman depan rumahnya dengan tangannya yang menggenggam setangkai bunga mawar merah segar itu.

Matanya menyorotku yang baru saja melangkah masuk ke dalam halaman rumahnya.
Bola mata cokelat terang itu, ya Tuhan.
Aku merindukan pemilik asli bola mata itu.

”Hai, Greyson.” Sapanya lembut.

”Hai.” Balasku menyapanya.

Ia bangkit dari kursi, lalu menghampiri ku yang masih berdiri.

”Mau kemana kita? Kata kamu mau jelasin semuanya hari ini.”

”Ayo, kita langsung masuk ke mobil aja.” Jelasku.

***

Ia menggenggam tanganku erat selama menyusuri hamparan gundukan rumput yang luas.

”Untuk apa kita kesini?” Tanyanya.

”Nanti akan ku jelaskan, Aly.” Jawabku.

Ku hentikan langkahku begitu sampai di sebuah gundukan tanah yang sudah ditutupi rerumputan hijau lembut.

Kini wajahnya tergambar di benakku dan tanpa ku sadari air mata terus menerus tumpah ke pipi. Menggambarkan betapa rindunya aku dengan senyum, tawa, tatapan, dan tingkah konyolnya yang setahun terakhir ini sudah hilang ditelan gundukan tanah di depanku.

”Grey..” Aly mengusap punggungku pelan.

Ku usap air mata yang membasahi pipiku, lalu menatap Aly yang ada di sisiku, dengan matanya yang menyorotku dalam.

”Dia Alfia. Pemilik mata yang ada di wajah kamu.” Jelasku.

”Dia? Memang dulu aku..?”

”Kamu buta, dulu kamu buta, Aly. Tetapi Alfia datang dan dengan baiknya memberikan mata miliknya untuk kamu.”

”Tapi aku nggak ingat apa-apa..”

”Itu semua karena kamu amnesia. Sudah dua kali kamu mengalami kecelakaan. Kecelakaan pertama kamu alami bersama pacar kamu, di kecelakaan itu kamu kehilangan penglihatan dan pacar kamu kehilangan nyawanya.”

”Pacar? Siapa namanya?”

”Adrian.”

”Lalu kecelakaan kedua?”

”Kecelakaan kedua terjadi setahun yang lalu, kamu kehilangan banyak darah dan memori otakmu. Di hari itu Alfia datang mendonorkan darah dan matanya untukmu.”

Ku dapati Ia menunduk.

”Aly?” Tanyaku pelan.

”Alfia terlalu baik. Aku berhutang banyak padanya, Grey.” ujarnya diiringi isakan tangis.

Aku ikut menunduk dan mengangguk pelan, ”Dia memang baik dan kamu beruntung mendapatkan bola mata yang sangat indah miliknya itu.”

”Aku berhutang banyak pada Alfia, Grey. Gimana cara bayar itu semua?”

Ku tatap wajah Aly atau lebih tepat menatap bola mata itu, bayangan Alfia kembali datang karena mata itu.

Lagi-lagi air mataku tumpah.

Andai bisa ku gapai tubuhnya lembut saat ini dan berbisik menyampaikan betapa menyesal dan cintaku padanya.
Andai bisa ku gapai rambut panjang hitamnya lagi.
Andai bisa ku tatap matanya lagi.
Untuk kali ini saja, ku mohon, Alfia.
Aku merindukanmu.

***

Aku masuk ke dalam mobil begitu juga Aly. Langsung ku ambil selembar tisu untuk menghapus air mataku yang telah tumpah.

Aly menatapku lembut, maka ku balas juga tatapan lembutnya dengan senyum walaupun hatiku sama sekali tidak bisa tersenyum saat ini.

Ku teringat dengan kotak musik yang saat itu ingin ku berikan kepada Aly untuk hadiah ulangtahunnya yang malah berujung ku berikan ke Alfia. Aku juga teringat dengan surat pemberian Alfia sebelum Ia pergi. Maka ku ambil kotak musik yang ada di jok belakang mobil dan memberinya kepada Aly.

”Grey ini untuk apa?” Tanyanya setelah ku beri kotak musik itu.

”Ini dari Alfia untuk kamu.” Jawabku.

Aly menghapus air mata yang baru saja mengalir melewati pipinya. ”Ya Tuhan, dia begitu baik.”

”Aku tahu itu. Ia sangat amat baik dan juga cantik.”

”Oiya, Grey. Tadi di pemakaman ku dengar suara perempuan yang berbisik kepadaku dan berkata kepadaku agar menjagamu dan menjaga mata yang ada di wajahku saat ini. Apa menurutmu itu Alfia?”

Aku sempat terdiam mendengarnya, tetapi senyum simpul muncul di wajahku dan berkata, ”ya, itu pasti Alfia.”


***

Finally this story end! <3
Thanks for everyone who always be there to read my story. Laffyaaah<3
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

The Power of Eyes ( Part 32 )

Ku buka pintu toko ini dan terciumlah semerbak wangi berbagai macam bunga. Kaki ku langsung melangkah menuju berbagai macam flower crown yang dipajang.

Ku ambil flower crown yang dihiasi oleh bunga mawar berwarna merah muda itu, melihat bentuknya yang manis, dan tanpa pikir panjang ku bawa flower crown itu ke kasir untuk membelinya.


***


Aku masuk ke mobil dengan tas kertas yang berisi flower crown yang baru saja ku beli itu.


Baru saja ingin menancapkan gas untuk pulang, ponselku berbunyi.


”Ya, Alfia?” Ucapku setelah tersambung dengannya melalui telepon.


”Um, kamu lagi sibuk nggak?” Sambutnya.


”Enggak kok, kenapa?”


”Kebetulan aku lagi di cafe dekat rumah kamu, mungkin kamu bisa mampir?”


”Oh, aku bisa kok. Tunggu ya, sepuluh menit lagi aku ada di belakang kamu!”


”ih horror banget sih, Grey.”


”Haha,”


”Oke, I'll wait. Bye.”


”Bye.”


Setelah sambungan telepon terputus, langsung ku kendalikan mobil menuju cafe tempat Alfia berada saat ini.


***


Pintu cafe terbuka begitu ku dorong pelan bersamaan dengan suara gemercing yang bersumber dari sebuah lonceng kecil di atas pintu ini. Membuat suara setiap kali pintu terbuka.


Mataku langsung tertuju kepada seorang perempuan di pojok cafe yang sedang melambaikan tangannya ke arahku dengan senyum yang khas.


”Hai,” sapaku hangat seraya menggapai tubuhnya lembut.


”Hai, miss you.” Sapanya balik.


Aku duduk di seberangnya, ”miss you too.” Balasku. ”Jadi, ada apa?”


”Nothing, cuman kangen aja.” Ucapnya. Alfia pun meneguk pelan kopi hangat miliknya, begitu juga aku meneguk kopi hangat yang Ia pesankan untukku sedari tadi. Setelah itu kami pun berbincang-bincang bersama, menghabiskan malam ini berdua.


***


Setelah menyikat gigi dan membersihkan tubuh, aku beranjak ke kasur untuk tidur dan mimpi indah. Tetapi, baru saja ingin menutup mata dan memasuki dunia mimpi, ponselku berbunyi menandakan ada pesan masuk.


From: Alfia

Text: ”Sweet dreams ;)x”

Aku tersenyum sembari mengetik beberapa deret kalimat di ponselku.


To: Alfia

Text: ”sweet dreams too babe ;)♥ omg lol, you must be dream bout me this night.”

Send.


Ponselku bergetar lagi,


From: Alfia

Text: ”oh really? ;p”

Aku tertawa kecil, lalu mulai mengetik lagi.


To: Alfia.

Text: ”ofc yes ;p”

Send.


Ku taruh ponsel di sisiku, kemudian berbaring sejenak dengan kedua tangan yang ku lipat di bawah kepala.


Senyum muncul di wajahku tanpa sebab.

Entah, apa yang membuatku tersenyum.
Intinya tadi aku tersenyum karena suatu hal spesial, walaupun aku sendiri tidak menyadari hal apa itu.

***


Ku buka mataku perlahan. Mencoba perlahan mengatur sinar matahari yang masuk menembus selaput mataku dan sesaat kemudian mataku sudah membulat alias nyawa yang ada di tubuhku sudah terkumpul semua.


Ku sibak gorden yang menutupi pintu kaca yang membatasi kamar dan balkon, membiarkan sinar matahari masuk dengan bebasnya ke dalam kamar, memberikan kehangatan bagi siapapun yang ada di dalamnya.


Ku geser pintu kaca ini dan langsung merasakan hangatnya cahaya matahari yang meresap ke tubuhku perlahan, menaikkan suhu tubuhku.


Burung-burung asik bertengger dan bernyanyi dengan riang di atas ranting-ranting pohon, membiarkan semua orang mendengar suara mereka yang merdu, dan membangunkan orang-orang yang masih tertidur pulas agar bisa bangun dan mendengar mereka bernyanyi.


Tiba-tiba seekor burung terbang dari ranting pohon ke pagar pembatas balkon, lalu menghafapkan wajahnya ke arahku.


Burung itu menatapku lembut masih dengan kakinya yang bertengger di pagar besi ini. Sesaat kemudian, Ia pindah ke tanganku. Mendaratkan kaki mungilnya di jemariku.


Burung itu kemudian menggeserkan badannya dua langkah mendekat, lalu menunduk seperti memberikan isyarat bahwa Ia ingin dielus bulunya, tetapi di saat ingin mendaratkan jemariku di bulunya Ia langsung pergi, dan terbang kembali ke ranting pohon tempatnya semula.


Aku terheran melihat tingkah burung itu dan entah tiba-tiba terbesit di benakku bahwa burung itu seperti ingin menyampaikan suatu pesan tersirat.


***


Ku berhentikan mobilku di depan rumah yang seminggu lalu masih sangat asing di mataku, tetapi sekarang rumah itu adalah segalanya karena di sana tinggal seseorang yang telah memberiku banyak pelajaran tentang arti hidup yang sebenernya, dan tentang rasa syukur yang harus ku ucapkan setiap saat atas segala macam yang telah ku terima di dunia selama ini.


Tadi, ku putuskan untuk pergi menemui Aly sejenak pagi ini karena kebetulan aku tidak memiliki acara apapun dengan Alfia. Maka, setelah mandi dan sarapan langsung ku tancap gas menuju rumah ini.


”Pagi, Carmel.” Sapaku hangat kepada sosok yang sedang menyiram tanaman miliknya yang terawat dengan baik.


”Oh, pagi, Greyson!” Sapanya balik lalu merangkulku sejenak. ”Ada apa ke sini pagi-pagi?”


”Cuman mau ketemu Aly aja, boleh kan?”


”Tentu boleh, Grey. Aly ada di dalam, kamu boleh temui dia.”


Aku mengangguk lalu berjalan ke dalam rumah sederhana ini untuk mencari sosok perempuan yang memiliki banyak kenangan dengan bunga mawar itu.


Akhirnya ku dapati sosoknya sedang duduk di bibir kasur, dengan kedua tangannya yang menggenggam erat setangkai bunga mawar yang masih terlihat segar dan mencium wanginya yang semerbak. Seketika, aku jadi teringat tentang segala hal yang Carmel katakan tentang Aly dan bunga mawar.


”Hai,” sapaku lembut seraya berjalan dan ikut duduk di sampingnya. ”Pagi, Aly.”


”Grey?”


”Ya, itu aku.”


”Oh, ya pagi juga. Ada apa pagi-pagi sudah datang?”


”Aku cuman mau ngajak kamu jalan aja. Udara di luar segar sayang kalau hanya dihabiskan dengan duduk termenung sendiri di dalam kamar, kan?”


Aly terdiam sejenak, lalu menurunkan tangannya yang tadinya berpapasan dengan wajahnya untuk mencium aroma semerbak bunga itu.


”Yang ku hirup di dalam kamar ini juga segar kok,” ucapnya lembut.


Aly menjalankan tangannya ke samping, mencari-cari keberadaan tanganku. Begitu menemukan tanganku, langsung Ia taruh bunga mawar yang sedari tadi ada di genggamannya menjadi di atas telapak tanganku.


”Bunga mawar ini masih cantik dan segar, loh. Baru dipetik Kak Carmel tadi.”


Aku mendangak untuk menatap wajahnya, melihat ekspresinya yang datar walaupun dengan senyum tipis yang mengembang di wajahnya.


”Kamu benar, tetapi ada satu mawar lagi yang lebih cantik dan segar daripada mawar ini.”


”Mawar mana?”


”Mawar yang ada di sampingku. Alyssa Catherina Roses. Mawar yang paling cantik dan berbeda dari mawar-mawar lain.”


***


”Oke, Grey. Jadi kamu ajak aku ke taman lagi? Dan kamu nyuruh aku untuk ngelakuin ini lagi?” Gerutu Aly di saat ku pinta Ia untuk menebak kami sedang berada di mana hanya dengan menggunakan telapak kakinya.


Aku tertawa kecil mendengar gerutuannya, lalu menuntunnya untuk duduk di rerumputan taman.


Aku memang sengaja mengajaknya ke taman hanya untuk sekedar bersantai dan bermain bersama.


Kami sama-sama menghempaskan diri di atas hamparan rumput hijau. Kedua tangan ku lipat dan ku taruh di bawah kepala sebagai penumpu.


”Apa yang sekarang sedang kamu lihat?” Tanyaku pada Aly.


”Hah,” Ia tahan ucapannya. ”Aku buta, Grey. Kamu tahu itu, kan.”


”A-aku tahu,” ku hentikan ucapanku sejenak. ”Aku tidak bertanya tentang apa yang mata kamu lihat, Aly. Tetapi, aku bertanya tentang apa yang hati kamu lihat saat ini. Kamu boleh buta mata, tetapi tidak dengan hati kamu, kan?”


Tidak ada balasan.

Hening.
Aly tidak menjawab pertanyaanku sama sekali.

”Maaf, lupakan saja pertanyaan bodohku tadi.”


”Tidak, Grey. Aku diam bukan karena aku tidak suka dengan pertanyaan yang kamu lontarkan, tetapi aku diam untuk mencoba mendeskripsikan apa yang hatiku lihat saat ini.”


”Lalu, apa yang hati kamu lihat?”


”Terang.”


”Terang?”


”Sebuah cahaya terang yang berasal dari suatu benda yang tidak ku ketahui pasti apa itu.” Aly menahan ucapannya. ”Mungkin, cahaya terang itu kamu. Itu kamu, Grey.”


***


Ku pasang earphone di telingaku, kemudian memasangkan earphone yang satunya di telinga kanan Aly.


”Untuk apa?” Tanya Aly.


”Tunggu,” ku buka file voice note saat aku meng-cover lagu U Smile, lalu menekan tombol play.


”Ini suara kamu, Grey?”


”Iya, kenapa?”


”Bagus.”


”Makasih, Aly.”


Aku pamit untuk ke mobil sebentar.


Begitu sampai di dalam mobil langsung ku ambil flower crown yang ku beli semalam. Flower crown mawar berwarna merah muda yang ku belikan khusus untuknya.


Aku berjalan ke kursi tempat di mana Aly berada dengan flower crown ini di genggaman tanganku.


”I have something for you!” seruku selagi duduk di sampingnya.


”Apa?”


”Coba tebak.”


”Oh, no. Aku benci menebak.” Aly menahan ucapannya, ”um ayolah beri tahu aku, Grey.”


Aku tidak membalas perkataannya. Lalu ku pasang flower crown ini di atas kepalanya dengan senyum yang entah mengapa selalu mengembang di pipiku.


”Grey..”


”Flower crown. Maaf, cuma ini yang bisa aku kasih untuk ulangtahun kamu kemarin.” Ku tarik nafas panjang. ”Gimana, kamu suka?”


Tangis mengalir lembut menyusuri pipinya, isak tangis perlahan terdengar tetapi langsung ku redam cepat dengan peluk ini.


”Dont cry, okay.” Ucapku lembut sembari menyusuri rambut panjangnya dengan jemariku.


”Thanks for everythings,” ujarnya dengan getaran di tiap kata.


”Welcome,”


”I love you, Grey. I love you so much.”


”I lo-” ucapanku terputus.


Lidahku terasa kaku dengan tiba-tiba. Bibirku kelu untuk melontarkan kata-kata yang baru saja ingin ku lontarkan. Nafasku sesak. Entah, mengapa itu semua bisa terjadi dengan tiba-tiba.


Aku terdiam sejenak, lalu menarik nafas panjang.


”I love you too.” Ucapku pada akhirnya sambil terus memeluk Aly lembut.


Ku pejamkan mata sejenak dan muncul wajah Alfia di benakku yang membuatku langsung membuka mata dengan cepat.


Tetapi, jantungku langsung terasa seperti berhenti berdetak begitu mengetahui dan menyadari bahwa ada Alfia di depanku dengan tangis yang ada di pipinya.


Alfia melihatku dan Aly.



***
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Sunday, November 11, 2012

The Power Of Eyes ( Part 31 )


***

Ternyata taman itu mengandung banyak sekali arti, menyimpan banyak sekali memori, dan menyaksikan berbagai macam peristiwa berharga seperti di saat Aly bertemu dengan Adrian, di saat mereka berdua berpacaran, dan taman itu juga merupakan salah satu tempat favorite ku dan Alfia.

Aku menunduk. Menatap gundukan rumput di depanku ini yang di bawahnya berisi tubuh seseorang yang sama sekali tidak ku kenal. Tanganku tiba-tiba mengelus gundukan rumput ini lembut, meresapi kesedihan pemilik makam ini akibat kepergiannya sebelum memberikan hadiah berharga itu pada kekasihnya. Meresapi kesedihan Carmel akibat ditinggal oleh adiknya. Meresapi kesedihan Aly saat harus menerima  kenyataan hidupnya bahwa kekasihnya pergi, dan penglihatannya juga pergi di waktu yang sama.

Ku seka air mata yang jatuh dari mataku, kemudian kembali menatap ke Carmel yang masih terus menerus menjatuhkan air matanya.

Aku teringat akan kejadian minggu lalu di saat aku tidak menemukan Aly di dalam rumahnya, dan tiba-tiba seorang wanita paruh baya berada di depan pintu bersama Aly yang katanya sedang berada di pemakaman, jadi saat itu Aly pergi ke makam ini untuk menemui kekasihnya yang telah pergi.

***

Jarum jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul dua belas tepat.
Matahari sedang berada di puncaknya saat ini, menampilkan kegagahannya di langit luas, dan memberikan kehangatan kepada bumi atau mungkin kehangatan yang lebih dari batasnya.

Ku hentikan mobil atas permintaan Carmel yang duduk manis di sebelahku, dan tepatnya ku berhentikan mobil di taman yang ternyata menyimpan beribu kenangan bagi pengunjungnya, tak terkecuali aku.

Aku menoleh ke Carmel yang masih terus menyeka air matanya dengan tissue, masih terus merasakan rasa sakit dan perih mendalam yang Ia rasakan, memutar kembali kenangan yang pernah Ia rasakan, dan kenangan itu mungkin tidak akan pernah terjadi kembali di dalam hidupnya.

“Ayo, kita turun, Grey.” Ucap Carmel masih dengan suaranya yang serak akibat tangis itu. Aku menunduk, lalu keluar dari mobil bersamanya.

“Ayolah, Carmel. Simpan air matamu.” Pintaku sambil merangkulnya lembut, dan mencoba membuatnya tenang.

“Aku nggak bisa, Grey. Seberapa banyak pun air mata yang keluar nggak akan pernah bisa membayar kesakitan ini, nggak akan pernah bisa menghilangkan rasa perih ini. Nggak akan pernah bisa.”

Tangis Carmel pecah, maka langsung ku peluknya lembut, dan membiarkan air matanya jatuh ke kaus yang ku kenakan. Yang terpenting saat ini adalah membuatnya tenang.

“Aku masih nggak bisa menerima ini semua, Grey. Adikku satu-satunya telah pergi meninggalkanku setahun yang lalu, I just can’t believe that. I can’t.”

“Aku tahu pasti sulit untuk menerimanya, tetapi ini semua jalan Tuhan, pasti Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang manis di balik ini semua, Carmel.”

“Tapi kapan sesuatu yang manis itu akan datang?”

“God and time will answer your questions.”

Carmel melepas pelukannya, “God and time will answer your questions? Aly pernah berbicara seperti itu kepadaku, kata Aly itu adalah kalimat favoritnya dari semua kalimat bijak yang kamu lontarkan kepadanya selama ini.” Carmel tersenyum kecil di akhir kalimatnya, begitu juga aku.

“Makasih, aku memang pernah berbicara seperti itu kepada Aly.” Balasku.

***

Dua kaleng soda berada di genggaman tanganku, kemudian ku berikan satu kepada Carmel yang duduk di salah satu kursi taman atau tepatnya kursi di saat aku bertemu Aly untuk yang pertama kalinya, dan juga kursi yang sama di saat aku memegang janji kepada Alfia. Janji untuk tidak mencintai siapapun selain dirinya.

Carmel meneguk soda itu, lalu mulai menarik nafas panjang. Biar ku tebak, pasti Ia ingin menyampaikan sesuatu lagi?

“Kamu bawa album foto itu, Grey?”

“Album foto? Oh, maksudmu album milik Adrian itu. Aku bawa.”

Ku keluarkan album foto cokelat yang terdapat bunga mawar timbul di depannya itu, lalu memberikannya ke Carmel. Ia membuka lembaran album itu.

Carmel menunjuk foto pertama di album ini, “Kursi di foto ini adalah kursi yang saat ini sedang kita tempati, Grey.” Ujarnya sambil melirik ku sekilas dan mencoba tersenyum.

Jadi, kursi ini adalah kursi tempat Aly dan Adrian pertama kali bertemu, tempatku pertama kali bertemu dengan Aly juga, dan tempatku mengucapkan janji itu kepada Alfia. Kursi yang beruntung, karena menyaksikan berbagai macam kejadian.

“Aku inget banget, dulu Adrian masih kecil dan sedang bermain di taman ini saat usia lima tahun, dan Ia tertarik untuk mengajak bermain gadis kecil yang sedang duduk di kursi ini yang tak lain tak bukan adalah Alyssa.”

Aku menunduk, dan menatap sepatu converse yang ku gunakan tanpa sebab.

“They’re too cute.” Ujar Carmel.

“Walaupun aku nggak kenal siapa itu Adrian, tetapi menurutku dia orang yang baik, perhatian, bahkan merupakan lelaki yang diidamkan gadis manapun. Aly beruntung mendapatkannya.” Ucapku dan tersenyum kepada Carmel.

“Ya, aku tahu itu.” Carmel bangkit dari kursinya. “Ke danau, yuk.”

Aku mengangguk, dan ikut berjalan di sisinya menuju danau yang berada di dekat taman ini.

Sesampainya, Carmel langsung duduk di hamparan rumput pinggir danau, kemudian mulai sibuk membuka lembar demi lembar album foto itu lagi. Aku ikut duduk di sampingnya, dan memperhatikannya.

“Foto ini. Foto ini di ambil di sini,” ujarnya seraya menunjuk foto kelima belas yang ada di buku album itu. Foto yang hanya terdapat perempuan dengan rok selututnya yang tertiup angin pelan, seraya menatap ke hamparan danau luas, membiarkan rambut panjang hitamnya yang terurai diterpa angin. Dia Alyssa.

“Dia cantik.” Ucapku.

Carmel menoleh, “Aly memang sudah terlahirkan cantik, hanya saja..” Hembusan nafas memotong perkataannya. “..hanya saja nasibnya kurang beruntung.”

“Menurutku, Aly beruntung karena memiliki Adrian yang sejak kecil sampai tumbuh besar selalu ada di sisinya. Jarang ada lelaki seperti Adrian, dan Aly beruntung mendapatkannya.” Ujarku kemudian tersenyum.

Carmel menutup buku album itu, lalu menatap hamparan danau luas yang ada di depan kami.

“Ya, jarang ada lelaki seperti adikku.”

***

Pukul 16.00 WIB

Sekarang kami sedang duduk di hamparan pasir pantai, bukan di hamparan rumput lagi karena Carmel memintaku untuk ke pantai setelah dari danau tadi.

Pasir pantai terasa hangat menyelimuti kaki ku ditambah dengan ombak kecil yang menerjangku pelan. Suara gemuruh ombak dari laut memberikan kehangatan kepada telingaku, suara itu membuatku tenang.

Carmel juga melakukan hal yang sama denganku, hanya saja jemarinya masih asik membalik lembar demi lembar album foto cokelat itu.

“Foto ini diambil di sini. Di pantai ini.” Ujar Carmel. Ia menunjuk foto kedelapan.
Foto yang berlatar belakang suasana sore pantai dengan dua anak kecil yang sedang asik dengan istana pasir buatan mereka dan mereka sama-sama menampilkan senyum ke kamera. Mereka adalah Alyssa dan Adrian.

Carmel mulai membuka lembaran buku ini lagi, dan berhenti tepat di halaman foto terakhir.

Ia menunjuk foto kesembilan belas. Foto yang terdapat Aly sedang membentangkan tangannya di tebing. “Kalau foto ini, diambil di tebing itu.” Carmel menunjuk ke tebing yang ada di sisi kanan kami.

Aku menatap tebing itu, dan teringat bahwa aku dan Alfia sering ke atas situ.

Flashback-

Tanganku menutupi kedua matanya seraya berjalan dengan hati-hati menuju tebing yang berada di pinggir laut ini. Ku tutup matanya agar Ia tidak bisa melihat apa yang ada di depannya tanpa aba-aba dariku, aku ingin ini menjadi sebuah kejutan kecil.

Ku lepas kedua tanganku yang sedari tadi menutupi matanya agar Ia bisa melihat apa yang ada di depannya. Ku jalankan tanganku ke kedua tangannya dan menggenggamnya lembut.

“Grey..”

“sstt..diam, Alfia.” Potongku lembut seraya membentangkan tangannya seperti adegan di film titanic. Ku senderkan daguku di bahunya, dan memainkan jemariku di genggaman ini.

“Close your eyes,” pintaku, Alfia pun menurutinya. Ia pejamkan matanya dan menggenggam tanganku erat, bahkan sangat erat. “Sekarang, rasakan angin yang menghempas tubuhmu..”

“Kencang, Grey. Angin laut ini menghempas tubuhku kencang.”

“Angin laut ini seperti perasaan aku ke kamu, tidak bisa dilihat hanya bisa dirasakan, dan rasa ini sangat kencang, sangat kuat.”

“Aku beruntung bisa dapetin kamu, Grey.”

“Bukan, bukan kamu yang beruntung tetapi aku.” Ucapku.

Alfia langsung membalikkan badannya menghadap ke arah ku dengan tangan kami yang masih menyatu.

“Aku, aku yang beruntung karena kamu.” Ucapku setengah berbisik sambil menatap bola mata cokelat itu, di damping suara gemuruh ombak laut yang menabrak dinding tebing.

Alfia langsung menyambar tubuhku cepat, “Thanks for make me feel perfect, Grey.”

Back-

Aku kembali menatap hamparan laut luas di depanku, lalu mengambil ponsel yang sedari tadi berada di kantung celanaku, dan mengetik beberapa deret kalimat dengan senyum tipis yang terpampang di wajahku saat mengetik kalimat itu.

To : Alfia
Text :
“Have fun with your family ;]

-your gweyson”

Setelah pesan terkirim, aku kembali menunduk dan tertawa kecil tanpa sebab.

***

Ku susuri jalanan ibukota yang tidak pernah mati dengan keramaian dari kendaraan yang berlalu lalang juga dengan lampu-lampu kota yang tidak pernah redup. Tanganku asik memegang kemudi mobil diiringi alunan lagu The Beatles yang terputar, mataku focus menatap ke depan walaupun sesekali berpaling ke toko-toko pinggir jalan yang masih terbuka. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam, wajar kalau mereka masih buka.

Aku sendiri di dalam mobil, Carmel sudah ku antar pulang setelah dari pantai, dan tadi ku sempatkan diri untuk bertemu dengan Aly sejenak untuk menemuinya.

Kesanku tadi saat bertemu Aly berbeda dengan biasanya. Mungkin, karena aku telah mengetahui segalanya, mengetahui tentang kehidupannya yang manis dan pahit, mengetahui tentang kejadian yang Ia alami setahun yang lalu yang membuatnya menjadi seperti ini tanpa penglihatan.

Pandanganku tiba-tiba menangkap beberapa flower crown yang terpajang di etalase sebuah toko, dan tiba-tiba sebuah ide muncul di otakku yang membuatku menghentikan mobil tepat di depan toko ini.

Ku buka pintu toko ini, dan terciumlah semerbak wangi berbagai macam bunga. Kaki ku langsung melangkah menuju berbagai macam flower crown yang dipajang.

Ku ambil flower crown yang dihiasi oleh bunga mawar berwarna merah muda itu, melihat bentuknya yang cantik, dan tanpa pikir panjang ku bawa flower crown itu ke kasir untuk membelinya.


***
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Tuesday, November 6, 2012

The Power Of Eyes ( Part 30 )

***

Aku keluar dari kamar Aly begitu Ia tertidur pulas setelah ku temani.

“Grey,” panggil Carmel yang sedang duduk di salah satu sofa.

“Ya, Carmel?”

Aku duduk di dekat Carmel. “Ada apa?”

Carmel menunduk sejenak, lalu menarik nafas panjang. “Ada banyak yang ingin ku jelaskan padamu,” Ia menoleh ke arahku. “..tentang Alyssa. Tentang yang sebenarnya.”

Langsung ku tatap mata Carmel tajam begitu mendengar kalimat ‘tentang Alyssa. Tentang yang sebenarnya.’. Memang selama ini ada yang belum ku ketahui? Ada kebenaran yang belum ku ketahui?

“Tentang yang sebenarnya? Jadi selama ini ada yang nggak aku ketahui tentang Aly?”

Carmel mengangguk pelan. Tak lama kemudian setetes air mata jatuh dari bola matanya yang langsung Ia tepis.

“Aly bukan adik kandungku,” ucapnya dengan bibir yang bergetar. Aku masih menatapnya dengan tatapan penuh tanya, sedangkan Carmel masih terus menerus menepis air matanya yang terus jatuh.

“Lalu kamu siapanya Aly?”

“a..aku,” Ia gantungkan ucapannya lalu menarik nafas panjang. “Ceritanya cukup panjang, Grey.”

“Tell me, Carmel. Sepanjang apapun ceritanya pasti aku dengar.”

Ia tarik nafas panjang lagi, kemudian menunduk. “Tahun lalu adalah tahun yang mengubah segalanya.” Ujar Carmel yang tak lama kemudian bangkit dari sofa dan langsung pergi menaiki tangga, meninggalkanku dengan berbagai macam pertanyaan dari kalimat demi kalimat yang diucapkannya.

Aku masih di tempat yang sama, masih duduk di sofa dengan ditemani pertanyaan-pertanyaan dari setiap kata yang diucapkan Carmel tadi dan mencoba untuk mencerna kalimat itu, mencari maknanya.

Kalimat yang baru diucapkan Carmel terputar lagi di otakku,

“Tahun lalu adalah tahun yang mengubah segalanya.”

Itu yang diucapkan Carmel sebelum berlari menaiki tangga, dan kini aku tiba-tiba teringat dengan kertas yang ku temukan di saat ingin mengambil air untuk membersihkan luka di tangan Aly.

“Don’t be like last year, please.”

Itu yang tertera di kertas yang ku injak tadi, dan berdasarkan bentuk tulisan yang tidak teratur aku yakin itu tulisan Aly, aku yakin itu.

Dan dua kalimat itu mempunyai suatu makna yang sama. Sama-sama membahas tentang tahun lalu. Kata Carmel tahun lalu adalah tahun yang mengubah segalanya dan kata Aly Don’t be like last year, jangan seperti tahun lalu. Itu sama-sama memiliki makna bahwa tahun lalu memiliki kejadian luar biasa bagi mereka yang tidak ku ketahui.

Terlihat Carmel turun dari tangga dengan sebuah buku dan beberapa benda yang Ia rangkul. Carmel kembali duduk di sampingku lalu menaruh benda-benda  yang ternyata terdiri dari sebuah album foto dan tiga buah bingkai foto yang tak lain tak bukan adalah tiga bingkai foto yang ku lihat setelah siuman waktu itu.

Carmel menoleh ke arahku sejenak, “Siap untuk mendengar semuanya?” tanyanya.

Aku mengangguk mantap dengan hati yang berdebar-debar karena aku sama sekali tidak tahu apa yang ingin Ia bicarakan.

Carmel mengalihkan pandangannya ke album foto berwarna cokelat yang terdapat gambar tibul setangkai mawar mewar tepat di tengahnya.

Carmel mulai membuka buku album itu, dan di halaman pertama terdapat dua foto beserta keterangan di bawahnya.

Foto pertama.
Seorang gadis kecil sedang duduk di salah sebuah kursi taman dengan rambut hitam lurusnya sebahu, dan tidak jauh dari kursi itu seorang anak lelaki sebayanya sedang memperhatikan gadis itu.

Note:
“The first time I met you, on that park :) Remember?”

Foto kedua.
Masih di tempat yang sama, masih dengan orang yang sama yaitu gadis kecil dan lelaki kecil itu, tetapi sepertinya di hari yang berbeda karena mereka memakai baju yang berbeda dengan foto pertama. Di foto ini, gadis kecil itu sedang duduk menyila di atas kursi taman sedangkan lelaki kecil itu sedang berdiri di depannya dengan bunga yang Ia umpatkan di balik tubuh mungilnya.
Note:
“The flowers hihi :]”

Aku menoleh ke Carmel yang sedang mengusap air matanya.

“Grey, sudah mau jam dua belas kau tidak pulang?”

“Tapi kau bilang mau memberitahuku yang sebenarnya tentang Aly kan?”

“Ya, tapi ini sudah malam. Apa orangtuamu tidak mencarimu?”

Aku berfikir sejenak, benar juga kata Carmel. Pasti orangtuaku akan cemas jika sampai larut malam seperti ini aku belum pulang.

“Kau boleh bawa ini pulang, Grey.”  Carmel memberiku buku album itu. “Kau bisa datang lagi besok, kan?”

Aku mengangguk.

“Kau buka saja semua yang ada di album foto itu, lalu besok akan ku jelaskan semuanya padamu.”

Aku mengangguk lagi, “Serius ini aku bawa?” tanyaku memastikan.

Carmel mengangguk, “Mungkin beberapa pertanyaan yang ada di otakmu akan dijawab oleh buku itu dan pertanyaan lainnya akan ku jawab besok dari penjelasanku.”

Ku ambil album foto ini, lalu menutupnya.

“Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu.” Ujarku seraya berjalan didampingi Carmel ke depan rumahnya untuk mengambil mobil dan kembali ke rumah.

***

Ku tutup pintu kamar dan langsung menguncinya rapat-rapat, jam sudah hampir menunjukkan pukul dua belas malam dan untungnya Mama tidak marah dan bertanya bertele-tele mengapa aku baru pulang tengah malam begini.

Langsung ku jatuhkan tubuhku di atas kasur masih dengan album foto cokelat ini di tanganku. Ku ambil posisi nyaman di atas kasur lalu mulai melanjutkan melihat isi album foto ini walaupun hari sudah larut malam.

Foto ketiga.
Hanya lelaki kecil ini yang muncul dengan setangkai bunga mawar yang Ia genggam.
 
Note:
“ Rose <3”

Foto keempat.
Tak lain tak bukan masih dengan wajah yang sama seperti foto kedua dan ketiga, tetapi sepasang anak kecil ini sudah mulai tumbuh besar dan di foto ini mereka mengenakan seragam putih merah alias seragam Sekolah Dasar.

Note:
“Elementary school we’re cominggg <3 heheh”


Aku tertawa kecil saat melihat foto yang keempat. Tak lama kemudian ku dengar langkah kaki menaiki tangga, begitu mendengar itu langsung ku tutup album foto ini dan menaruhnya di bawah bantal lalu berpura-pura mengambil posisi tidur.

Ku pejamkan mataku untuk mengelabuhi siapapun yang masuk ke dalam kamarku. Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka dan terdengar langkah kaki mendekat kasurku.

Masih memejamkan mata, lalu ku rasakan sebuah kecupan hangat mendarat di dahiku dan terdengar sebuah kalimat dari mulut orang yang mengecupku itu.

“My lil boy sudah tumbuh besar.” Ucapnya lalu mengelus rambutku lembut dan aku tahu bahwa itu suara Mama.

Tak lama kemudian langkah kaki Mama terdengar menjauhi kasurku dan suara pintu menutup terdengar. Ku buka mataku untuk memastikan bahwa Mama sudah pergi dan mengambil album foto yang ku umpatkan di bawah bantal itu.

Ku buka lembaran berikutnya, untuk melihat kelanjutan foto itu yang kata Carmel mungkin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

Foto kelima.
Tidak seperti foto yang sebelumnya, karena hanya terdapat lelaki kecil itu di foto ini yang sedang duduk manis di depan piano dengan kedua tangannya yang berada di tuts piano dan wajahnya yang menghadap ke kamera. Tersenyum.

Note:
“First melody, for you ;}”


Foto keenam.
Kali ini mereka berdua muncul lagi di foto ini. Mereka duduk manis di depan piano berdua, dengan tangan lelaki kecil ini berada di atas tangan sang perempuan kecil seperti sedang mengajarkan cara bermain piano.

Note:
“cute, isn’t it? ;b”

Ku lirik sekelilingku sejenak lalu kembali membuka lembaran berikutnya.

Foto ketujuh.
Di foto ini mereka sedang menaiki sebuah sepeda bersama, dengan tawa yang terpasang di wajah mereka masing-masing. Wajah mereka masih imut, kalau diperkirakan sepertinya mereka masih berumur delapan tahun.

Note:
“The laugh, the smile , the love <3”

Foto kedelapan.
Foto ini berlatar belakang suasana sore pantai. Kedua anak kecil ini sedang asik dengan istana pasir buatan mereka dan mereka sama-sama menampilkan senyum ke kamera.

Note:
“my castle better than yours ;p”

Senyum tampil di wajahku dengan tiba-tiba, lalu disambut dengan mulutku yang menguap dan ku akui aku sudah ngantuk saat ini. Tetapi dari delapan foto yang sudah ku lihat, itu semua belum menjawab segala macam pertanyaan yang terus berputar di pikiranku. Ada niat untuk membuka lembaran selanjutnya, tetapi ku rasa mata ini sudah tidak sanggup lagi dan akhirnya ku putuskan untuk menutup dan menaruh buku ini lalu memejamkan mata untuk tidur.

Besok, akan ku lanjutkan untuk melihat isi buku itu.

***

Aku terbangun.
Bukan, bukan karena cahaya matahari yang menyilaukanku.
Bukan, bukan karena kicauan burung bernyanyi.
Tetapi karena bunyi panggilan masuk dari ponsel yang ku taruh di meja kecil dekat kasurku.

Alfia, menelfonku.

“Ya, Alfia?”

“Grey, maaf kita nggak bisa jalan hari ini. Mama dan Papa ngajak aku pergi, jadi kita nggak bisa jalan hari ini. Maaf ya, maaf banget.”

“Oh, yaudah nggak apa-apa kok. Lagipula pasti orangtua kamu kangen sama kamu, Fi. Dan mereka butuh waktu sama kamu.”

“Hehe, iya kan berbulan-bulan yang lalu aku pergi ninggalin mereka.”

“Iya, aku ngerti kok.”

“Yaudah deh kalo gitu maaf banget ya, kita bisa hang out besok kan?”

“Bisa kok, tenang aja.”

“Yaudah deh kalo gitu. Bye, Gwey.”

“Bye, sweetheart.”

Alfia menutup sambungan telepon ini. Aku pun kembali menaruh ponsel ku di atas meja dan melihat jam yang tertempel di dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Aku beranjak dari kasur untuk mencuci muka dan sikat gigi. Setelah membersihkan diri, aku berjalan ke meja belajar untuk mengambil album foto yang dipinjamkan Carmel kembali.

Ku bawa buku itu ke atas kasur dan mengambil posisi nyaman untuk melihat buku album itu.


Foto kesembilan.
 Masih seperti foto-foto sebelumnya, kedua perempuan dan lelaki yang sama muncul.
Kali ini mereka menggunakan baju putih-merah SD, tetapi kemeja putih mereka dipenuhi dengan berbagai macam coretan warna warni.

Note:
“Junior high school we’re coming ;D”


Foto kesepuluh.
Foto kesepuluh ini menampilkan mereka yang sedang bergaya di depan kamera dengan seragam putih-birunya. Mereka saling merangkul satu sama lain.
Di foto ini aku baru menyadari bahwa perempuan itu terlihat seperti Aly. Atau mungkin Ia memang Aly, tetapi di foto ini Ia tidak buta.
Dan lelaki itu adalah lelaki yang ada di bingkai foto di saat aku siuman setelah pingsan.

Note:
“Junior high school yey! <3”

Aku terdiam sejenak, menatap langit-langit kamarku tanpa sebab, kemudian kembali menunduk.

Apa foto kesepuluh ini sumber dari semua yang tidak ku ketahui?

Aku menggeleng pelan, mengaruk kepalaku yang tidak gatal dan membiarkan pertanyaan ini terus terputar di kepalaku, karena kata Carmel buku ini mungkin akan menjawab beberapa hal yang tidak ku ketahui. Maka jika aku membuka lembaran demi lembaran selanjutnya, semua pertanyaan itu akan terjawab.

Foto kesebelas.
Di foto ini mereka masih memakai seragam putih-biru, dan mereka sedang duduk di bawah pohon rindang dengan lidah mereka yang sama-sama dijulurkan ke luar mulut.
Lelaki itu juga menjulurkan tangannya mendekat ke kamera, dan di telapak tangannya tertulis, “bestfriend →” tanda panah itu menuju ke perempuan di sampingnya.

Note:
“Besfriend → girlfriend? <3”

Foto kedua belas.
Masih orang yang sama dari foto pertama. Di foto kedua belas ini, mereka saling merangkul satu sama lain membelakangi kamera dengan pakaian olahraga basket yang mereka pakai. Nomer punggung yang lelaki 18 dan yang perempuan 2.

Note:
“2 & 18 <3 hehe”

Foto ketiga belas.
Mereka memakai baju putih-biru dengan atasan putih yang dipenuhi coretan warna-warni, hampir sama seperti foto sebelumnya dengan seragam putih-merah dengan kemeja putihnya yang dicoret juga.

Note:
“GUESS WHAT? DONE WITH JUNIOR HIGH SCHOOL YOHOOOO”

Foto keempat belas.
Sekarang mereka sudah tidak memakai baju putih-biru lagi melainkan seragam putih-abu abu yang sangat pas dengan postur tubuh mereka yang sudah terlihat sangat remaja.

Note:
“HIGH SCHOOL! WE’RE ON HIGH SCHOOLLL! Time flies so fast!”


Foto kelima belas.
Hanya perempuan itu yang ada di foto ini dengan rok selututnya yang tertiup angin pelan, perempuan itu menatap ke hamparan danau luas, membiarkan rambut panjang hitamnya yang terurai diterpa angin.

Note:
“you’re beautiful, babe :)x”

Foto keenam belas.
Kembali seperti semula, mereka muncul bersama-sama di foto ini. Di foto ini mereka sama-sama menunjukkan cincin yang melingkar di jari manis mereka yang sepertinya terbuat dari ranting pohon.

Note:
“the rings babe ;)x”

Foto ketujuh belas.
Di foto ini yang lelaki sedang mencium pipi perempuan itu yang sedang membawa kue ulangtahun ber-angka 16.

Note:
“16 days ago, on my 16th birthday ;}”

Aku terdiam, lalu kembali menatap foto kedelapan belas ini lebih dekat.

Ini foto yang ada di bingkai foto setelah aku siuman waktu itu,

Jadi apa perempuan itu Alyssa seperti dugaanku sebelumnya?

Dan siapa lelaki itu? Kekasihnya atau siapa?

Aku menggeleng lagi pelan, mencoba mengusir pertanyaan yang berputar di kepalaku saat ini dan kembali membuka lembaran selanjutnya.


Foto kedelapan belas.
Ada tiga orang di foto ini. Dua lelaki dan satu perempuan. Mereka saling merangkul satu sama lain dengan senyum ke kamera.

Tunggu, lelaki di sebelah kanan perempuan itu adalah Frans. Tidak salah lagi ini adalah foto yang terdapat di dompet Frans. Foto yang Frans tunjukkan di prom night itu.

 
Foto kesembilan belas.
Foto ini berlatar hamparan laut luas dengan perempuan ini yang membuka kedua tangannya layaknya ingin terbang seperti burung-burung di angkasa.
 
Note:
“Fly like you never fall. Cause I will catch you if you fall <3”

Foto kedua puluh.
Mereka berdua sama-sama muncul di foto ini. Mereka berbaring di atas rerumputan hijau, sama-sama tersenyum menatap ke kamera, dan di antara mereka terdapat setangkai bunga mawar merah merekah.

Note:
“Yes the rose is between us. Rose = love ;)”

Aku membuka lembaran berikutnya lagi, tetapi sayang di lembaran berikut nya sudah tidak terdapat foto lagi, yang ada hanya sebuah amplop berwarna merah muda dengan motif mawar di sekitarnya.

Ku ambil amplop tersebut, ingin sekali membukanya dan melihat apa isinya, tetapi di lain sisi aku ingat bahwa Carmel tidak bilang apa-apa tentang amplop yang ada di buku ini. Aku takut amplop ini berisikan sesuatu yang penting dan aku tidak berhak untuk membacanya tanpa izin.

Ku taruh amplop merah muda ini kembali ke sela-sela lembaran buku dan menutupnya.

Ku raih ponsel yang tergeletak di meja kecil dekat kasur, dan mulai mengetik dengan cepat deretan kalimat kepada seseorang yang saat ini benar-benar ku butuhkan.

To : Carmel
Text:
“Can we meet? your café at 10? I need to talk.

-greyson”

Ku jatuhkan ponselku pelan di atas kasur lalu berbaring.

Carmel, buku itu tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Buku itu hanya membuatku makin bingung dan bertanya-tanya.

 ***

Green café, Jakarta.
11.00 WIB.

Seseorang dengan rambut keriting khasnya muncul dari balik pintu café dan berlari mendekat ke diriku yang duduk di pojok café dekat jendela.

“11 o’clock! Maaf aku telat satu jam, Grey.  Yang menjaga Aly baru saja datang jadi aku harus menunggunya.” Ujar Carmel dengan raut wajah penuh bersalah.

“Gapapa kok, aku juga baru datang.” Balasku.

“Jadi gimana, buku itu udah jawab semua pertanyaan kamu?” Tanya Carmel sambil duduk di hadapanku.

Aku menggeleng. “Buku itu malah membuatku makin bingung.” Jawabku.

“Aku bisa tebak itu.” Ia menghela nafasnya panjang.

“Carmel, aku menemukan ini.” Ucapku sambil menunjukkannya amplop merah muda itu. “Belum aku buka, aku takut itu bukan hak ku untuk membukanya tanpa izin.”

Carmel mengambil amplop merah muda itu lalu menatapku sejenak sebelum membuka amplop itu pelan.

Muncullah kertas yang terlipat berwarna merah muda sama seperti amplopnya. Carmel melirikku lagi, lalu membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca tulisan yang ada di dalamnya, sedangkan aku hanya menatapnya serius menanti kata-kata yang akan keluar dari mulutnya setelah membaca surat itu.

Tak lama kemudian, Ia jatuhkan kertas itu di atas meja, dan menunduk. Menempelkan dahinya di permukaan meja. Badannya bergetar, isak tangispun terdengar. Aku yang melihat hal itu langsung bangkit dari kursi dan berjalan ke kursi yang ada di sebelah Carmel.

“Carmel, ada apa?” Ku rangkul tubuhnya pelan. Ia mendangak, lalu cepat-cepat menghapus air mata yang jatuh dengan deras ke pipinya.

“Semuanya terlalu manis,” Ucapnya lirih, masih menumpahkan air matanya. “tetapi terlalu pahit untuk menerima kenyataannya.” Lanjutnya.

“Segala sesuatu pasti punya sisi yang manis dan yang pahit.” Ucapku.

“Aku tahu, Grey. Aku tahu itu.” Balasnya.

Carmel mengambil kertas merah muda itu lagi, membacanya lagi dan memberikannya kepadaku.

“Baca ini,” pinta Carmel sambil memberikan kertas itu kepadaku.

Aku mengangguk pelan lalu menerima kertas merah muda itu, dan mulai membacanya dalam hati.

“To : my rose :)
 
 Ayo tebak ini tanggal berapa?! Yep tanggal 2 November. Dan tebak apa yang terjadi di tanggal 2 November 16 tahun yang lalu? Kalau kamu nggak tahu mending aku aja yang kasih tahu ya (;

Here’s the story..

16 tahun yang  lalu, tepat di tanggal 2 november seorang puteri cantik lahir ke dunia ini. Ia lahir dengan kulit yang masih merah, hidung yang mancung dan bibir yang semerah mawar mungkin?

Orangtua puteri cantik itu begitu bahagia saat melihat anak pertamanya lahir, sangat-sangat  bahagia, dan mereka menamakan puteri pertamanya itu Alyssa Catherina Roses. Karena puteri pertamanya itu memiliki bibir yang merah semerah bunga mawar.

Di usia ke lima tahun, di saat sedang bermain di taman dekat rumahnya sang puteri bertemu dengan seorang pangeran berambut hitam. Mereka pun bermain bersama di taman itu, bahkan setiap hari mereka sama-sama datang ke taman itu untuk bermain bersama lagi.

Puteri dan Pangeran itu semakin hari pun semakin dekat, dan di usia enam tahun mereka mulai masuk sekolah dan ternyata mereka satu sekolah. Jadi setiap hari mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama.

Mereka habiskan masa kekanakan mereka bersama, bermain bersama, tertawa bersama, tersenyum bersama, menangis bersama, marah bersama dan banyak hal lain yang mereka lakukan bersama lagi.

Di usia Sembilan tahun, mereka sudah sama-sama bisa memainkan alat musik piano karena mengikuti kursus bersama juga. Awalnya hanya sang Pangeran yang mengikuti kursus,  tetapi setelah melihat sang Pangeran bermain piano sang Puteri pun tertarik untuk mengikuti kursus juga.

Puteri dan Pangeran itu tumbuh dengan cepat, sampai akhirnya mereka masuk SMP. SMP yang sama juga. Mungkin Tuhan ingin menempatkan Puteri dan Pangeran ini bersama lagi, mungkin Tuhan ingin mereka bersatu menjadi sahabat yang kekal dari kecil sampai tumbuh besar, atau mungkin Tuhan punya jalan lain yang menginginkan mereka menjadi pasangan hidup sampai akhir?

Di usia 14 tahun mereka mulai tumbuh menjadi remaja, dan di usia ini mereka baru menyadari bahwa ada suatu hal yang tidak mereka sadari selama ini. Hal itu, cinta.

Akhirnya tepat di tanggal 20 November (18 hari setelah ulangtahun Puteri), sang Pangeran mulai menyatakan apa yang Ia rasakan belakangan ini. Jantung yang berdebar, bibir yang kaku setiap ingin bicara, dan pikirannya yang tak menentu. Ia jelaskan semuanya kepada sang Puteri di salah satu kursi taman tepat mereka pertama kali bertemu di usia 5 tahun itu, dan tanpa diduga oleh sang Pangeran ternyata sang Puteri juga merasakan hal yang sama.

Maka di tanggal 20 November mereka tidak hanya menjadi sahabat, tetapi sudah lebih.
Mungkin, ini jalan Tuhan yang menginginkan mereka bersama. Dalam ikatan persahabatan, dan juga ikatan cinta.

Dan hari ini sang Puteri sedang merayakan ulangtahunnya yang ke-16 bersama sang Pangeran, yaitu aku.

Happy 16th birthday, dear! Love you! be my first and last love k? xoxo

-Adrian <3

P.s: jumlah foto di buku ini ada 20 sama seperti tanggal kita jadian, 20 adalah hasil perjumlahan dari tanggal lahir kita, dan satu lagi buku ini itu khusus buat kamu, Aly. Sampul bunga mawar, diawali oleh foto kita berdua dengan bunga mawar, dan di akhiri dengan foto kita yang di tengahnya terdapat bunga mawa ;)x “

“Udah selesai kamu baca?” Tanya Carmel masih dengan air matanya yang sedari tadi tidak berhenti turun.

Ku tatap Carmel serius,  “Ceritakan semuanya sekarang, apapun tentang semua ini. Tentang buku album itu, tentang surat ini, tentang Aly, tentang siapa itu Adrian. ” ucapku dengan cepat dari kata ke kata. “Sekarang, Carmel. Ini semua membuatku tambah bingung, sungguh!” lanjutku lagi dengan tekanan di akhir kalimat.

Carmel mengusap air mata di pipinya, menatapku sekilas lalu bangkit dari kursinya. “Ayo, akan ku jelaskan di suatu tempat.” Ucapnya.

Aku hanya menurutinya dan berharap nanti semuanya akan jelas. Tidak ada lagi kebingungan. Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang terus menerus terputar di otakku tanpa menentu.

***

Aku berjalan di belakang Carmel. Mengikutinya langkahnya dari belakang, menyusuri hamparan rumput  hijau luas dan hamparan rumput luas ini sebagian tertutupi oleh makam-makam yang terjejer rapih. Ya, aku sedang ada di pemakaman yang entah apa sebabnya Carmel mengajakku ke sini.

Ia hentikan langkahnya begitu sampai di sebuah makam yang berada di bawah pohon teduh. Carmel mendekat ke makam  itu lalu berlutut dan mengelus batu nisan itu lembut.

“Kakak kangen kamu, dek.” Ucap Carmel lirih masih terus mengelus batu nisan dan rerumputan hijau di atas makam itu.

Ku bungkukkan badan, ikut berlutut di samping Carmel lalu mengelus bahunya pelan.

“Aly juga kangen kamu, dek. Dia sangat-sangat rindu denganmu.” Carmel menunduk, menarik nafas panjang. “Coba kamu liat siapa yang ada di samping Kakak. Namanya Greyson, dia baik, wajahnya hampir mirip dengan kamu, pandai bermain piano seperti kamu, pandai bernyanyi seperti kamu, dan sekarang dia yang menjaga Aly. Menemani Aly. Menggantikan kamu yang sudah setahun pergi, tetapi tenang, dek. Aly nggak akan pernah lupa sama kamu.”

Carmel menatapku sejenak, lalu kembali menunduk.

“Aku tahu pasti kamu bingung dengan semua ini, Grey.”

“Ya, aku sangat amat bingung. Tolong ceritakan semuanya sekarang, Carmel. Ku mohon, aku benar-benar bingung.”

Lagi-lagi Ia menarik nafas panjang, lalu menghembusnya pelan.

“Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, Alyssa bukan adik kandungku. Ia kekasih adikku.” Carmel menahan ucapannya dengan tangis. “Aly adalah perempuan yang ada di buku album foto yang ku berikan padamu tadi malam, dan yang lelaki adalah adikku. Adrian.”

“Adrian? Yang di surat itu?”

Carmel mengangguk, “Seperti yang ku bilang semalam, tahun lalu adalah tahun yang mengubah segalanya. Merubah kehidupanku, kehidupan Aly, dan kehidupan adikku Adrian…Tahun lalu di hari ulangtahun Aly yang ke-16, adikku mengajak Aly untuk pergi ke sebuah restaurant di pinggir danau untuk memberikan Aly kejutan tetapi belum sampai ke restaurant, mereka…” Isak tangis memotong perkataan Carmel.

“Carmel, ada apa? Ayo jelaskan.”

“Mereka kecelakaan. Kecelakaan itu merenggut nyawa adikku, dan merenggut penglihatan Aly.”  Tangis Carmel pecah lagi.

Aku tersentak mendengarnya. “Jadi Aly sebelumnya tidak buta? Ia mengalami buta baru setahun yang lalu?” tanyaku dengan nada yang agak tinggi.

Carmel mengangguk, masih menangis dan entah kenapa mataku ikut menumpahkan air mata juga.

“Padahal adikku dengan rajinnya mengumpulkan semua foto-fotonya saat masih kecil hanya untuk Aly, untuk mengisi album foto yang ingin Ia berikan pada Aly. Tapi sayang, semuanya percuma.”

“Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat betapa rajinnya adikku menyusun foto-foto itu setiap malam, menulis kalimat-kalimat manis di atas surat untuk pelengkap buku itu, berharap agar Aly akan senang saat membacanya. Tapi apa? Belum sempat memberi buku itu Ia sudah pergi..”

“Tapi, kenapa nggak kamu kasih buku dan kertas itu ke Aly? Ia kan masih hidup, Mel.”

“Percuma. Aly nggak bisa ngeliat semua yang ada di dalam buku itu secara langsung. Aku ingin Aly melihat itu semua secara langsung, tanpa perantara. Dan aku nggak tau kapan Aly bisa melihat itu semua secara langsung, aku nggak tahu itu kapan, atau apakah itu mungkin terjadi?”

“Itu mungkin. Tidak ada yang tidak mungkin, Carmel.”

“Aku tahu itu.”

“Kalau kamu bukan kakaknya Aly, kenapa Aly tinggal bersamamu? Bagaimana dengan keluarganya? Orangtuanya?”

“Orangtuanya sedang di USA. Bekerja dan sedang berusaha mencari donor mata untuk Aly. Karena sulit untuk mencari sepasang mata yang cocok dengannya, Aly punya tipe darah yang sulit untuk dicari.”

“Aku prihatin, Carmel.”

“Dulu sebelum kamu datang di hidup Aly, Ia selalu pergi ke makam ini sendirian hanya untuk menemui makam Adrian alias kekasihnya yang sudah lama pergi, Ia pergi sendirian ke makam ini walaupun dengan keadaannya yang buta. Sepulang dari pemakaman pasti Aly akan mampir ke taman tempat Ia dan adikku pertama kali bertemu, untuk mengenang memori mereka. Dan di taman itu juga kamu bertemu dengan Aly, kan?”

“Iya, aku bertemu dengan Aly di taman. Jadi taman itu adalah taman tempat Aly dan Adrian bertemu?”

“Iya.” Jawab Carmel lirih.

Aku terdiam.
Ternyata taman itu mengandung banyak sekali arti, menyimpan banyak sekali memori, dan menyaksikan berbagai macam peristiwa berharga seperti di saat Aly bertemu dengan Adrian, di saat mereke berdua berpacaran, dan taman itu juga merupakan salah satu tempat favorite ku dan Alfia.

***
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png