Tetapi, jantungku langsung terasa seperti berhenti berdetak begitu
mengetahui dan menyadari bahwa ada Alfia di depanku dengan tangis yang
ada di pipinya.
Alfia melihatku dan Aly.
Spontan, ku lepas peluk ini dan langsung berdiri tegap berhadapan dengan Alfia.
Jantungku berdegup cepat bahkan sangat amat kencang, bibirku kaku, pikiranku kalut, sedangkan Alfia terus menerus meneteskan air mata yang lalu Ia usap dengan kedua tangannya.
Kecanggungan yang sekarang sedang ku rasa. Aly terus menerus menyerukan namaku, tetapi mataku terus menerus menatap bola mata Alfia yang lembab dan tergenangi oleh air mata.
Alfia langsung berlari meninggalkanku dengan isak tangis yang terdengar, spontan langsung ku tarik tangannya yang membuatnya berhenti. Kini tangannya berada di dalam genggamanku, Ia menunduk, dan terus menerus ku lihat air mata jatuh ke rerumputan taman.
Alfia mendongakkan kepalanya, ”Kamu pembohong, Grey. Pembohong!” Matanya menyorotku tajam, bahkan mampu menyayat hatiku hanya dengan tatapan itu. Perih, itu yang ku rasa.
”Tiga bulan yang lalu kita pegang janji itu, Grey. Di sini, di tempat ini, tapi kenapa kamu hancurkan janji itu di sini, di tempat yang sama saat kita memegang janji itu? Kenapa?”
”a..aku sama dia nggak ada apa-apa.”
”Aku dengar semuanya, aku ada di sini udah dari tadi. Aku dengar semuanya, aku dengar saat kamu balas tiga kata kecil itu. Aku juga lihat waktu kamu peluk tubuh dia, aku lihat waktu kamu makein dia flower crown. Aku lihat itu semua, dan apa mungkin kalau kamu dan dia nggak ada apa-apa?”
Aku menunduk.
Ini semua sulit dijelaskan.
Semua ini terjadi dalam waktu yang amat singkat.
Seminggu yang lalu, ku temui sosoknya di kursi taman ini di mana awal mulanya aku dekat dengannya.
Ini semua terjadi tanpa disengaja, tanpa ada yang meminta. Tuhan yang mengehendaki ini semua terjadi, mengehendaki untuk mempertemukanku dan Alyssa di saat ku punya Alfia di sisiku.
Satu hal yang terus menerus berkecambuk di benakku saat ini,
Apa tujuan Tuhan melakukan ini semua?
Aku kembali menatap sosok Alfia yang berada di hadapanku masih dengan tangisnya yang mengalir deras.
Ku tarik nafas panjang sebelum menjelaskan semuanya kepada Alfia, mungkin ini saat yang tepat.
”Dia cuman gadis buta yang ku temui sosoknya seminggu yang lalu di taman ini, nggak lebih.”
Kalimat itu dengan mulusnya terlontar dari mulutku, tanpa menyadari bahwa kalimat itu sangat menyakitkan untuk didengar.
Aku masih menunduk, menatap hamparan rumput hijau yang sudah terkena tumpahan air mataku. Bayangan Alfia yang tadinya ada di depanku bergerak pergi entah kemana, ku putuskan untuk tetap terdiam dan menunduk di sini, pikiranku terlalu kusut untuk mencerna semuanya.
”Lo cuma cewe buta yang nggak tau diri! Greyson cowo gue! Gila lo! Buta aja belagu!”
Aku tersentak begitu mendengar kalimat itu yang sudah pasti terlontar dari mulut Alfia. Maka langsung ku berlari menuju kursi tempat Aly berada dengan sosok Alfia di depannya.
”Berhenti, Alfia! It's not funny at all!”
”Kamu sendiri yang bilang kalau dia cuman gadis buta yang kamu temuin di taman ini, kan?! Emang udah takdir dia aja yang buta! Cacat mata!”
”Shut up!” Bentakku dan tanpa disadari ku layangkan tanganku ke pipi Alfia. Ku lakukan itu dengan spontan, tanpa adanya perintah dari otakku.
Langsung ku balikkan badan untuk menemui Aly dan meminta maaf atas segala yang telah Alfia katakan padanya.
Tetapi Aly sudah tidak ada di kursinya. Kursi yang tadi Ia tempati sudah kosong.
Mataku membulat menjelajahi penjuru taman ini.
Akhirnya, ku dapati sosoknya sedang berlari menuju jalan raya.
Tunggu,
Jalan raya!
Aku langsung berlari cepat menuju Aly, karena kau tahu Ia buta dan aku takut hal buruk terjadi padanya.
Ku berlari mencoba sekencang mungkin, pikiranku kacau. Bisa ku rasakan bagaimana perasaan Aly saat ini begitu mendengar semua perkataan tidak mengenakkan hati yang dilontarkan Alfia.
”ALY!”
Kini semuanya terlambat.
Sosoknya telah tergeletak di pinggir jalan.
Darah segar mengalir deras dari tubuhnya.
Matanya tertutup.
Tetapi senyum tetap mengembang di wajahnya,
senyum tipis itu tetap ada di sela-sela darah itu.
Untuk saat ini dua kata,
Aku telat.
***
Satu tahun kemudian.
Kediaman Greyson.
Jakarta, Indonesia.
07.00 WIB.
Ku teguk teh hangat buatanku yang berhasil membuat tubuhku terasa sedikit hangat di tengah cuaca mendung pagi ini. Setelah itu, ku ambil sebuah amplop yang ada di atas meja kecil ini.
Surat yang ditulisnya satu tahun yang lalu sebelum pergi.
”Untuk: Greyson :)
Aku ada di alam yang berbeda di saat kamu baca surat ini. Itu pasti, karena ku buat surat ini di detik-detik sebelum kepergianku. Maka jika aku tidak pergi dan masih ada di dunia ini, itu mustahil kalau surat ini ada di tangan kamu :)
Um, mata.
Kamu pernah bilang, kalau mataku adalah hal yang paling kamu suka.
Kamu pernah bilang, kalau cahaya terang dari manapun tidak akan pernah bisa mengalahkan cahaya mataku.
Kamu pernah bilang, kalau warna cokelat dari bola mataku mengandung unsur sihir yang selalu membuatmu mau melakukan apapun demiku.
Kamu pernah bilang, kalau bola mataku ini yang membuat kamu jatuh hati kepadaku di kali pertama kita bertemu.
Kamu pernah bilang, kalau kamu mau melakukan apapun demi menjaga bola mataku ini.
Kamu juga pernah bilang, kalau bola mata ini yang akan selalu membuatmu cinta kepadaku.
Tetapi,
Jika bola mata yang sangat amat kamu cintai itu pergi dari wajahku,
Apakah kamu masih cinta kepadaku?
Apakah aku masih bisa menyihirmu?
Apakah kamu masih mau menjagaku?
Aku tahu, mungkin tidak seharusnya aku berharap lebih. Mungkin jika kedua bola mataku ini pergi, kau akan berhenti mencintaiku dan berhenti menjagaku. Bahkan, aku tidak akan pernah bisa lagi menyihirmu dengan cahaya terang bola mata itu.
Mungkin, aku bisa menerima itu semua.
Karena kepergianku ini bukan salahmu, ini semua salahku.
Ini semua salahku yang lebih memilih untuk pergi meninggalkanmu dan membuatmu jatuh ke perempuan selain diriku.
Mungkin seharusnya kita tidak perlu membuat janji konyol di taman untuk berjanji tidak mencintai siapapun selama aku pergi, karena janji itu hanya bisa diingkari yang malah menambah beban kamu.
Greyson, ini bukan salah kamu seutuhnya.
Ini salahku.
Ini salah atas kepergianku.
Karena kamu bertemu dengannya di taman itu, dan kamu ke taman itu karena merindukan AKU, kamu ingin memutar kenangan manis kita di taman itu hanya karena kamu merindukan AKU. Hingga akhirnya di taman itu kamu malah menemukan dia.
Itu bukan kesalahan kamu, karena pada dasarnya kamu bertemu dengan Aly karena AKU. AKU yang menyebabkan itu semua terjadi. Jadi, jika sekarang kamu berniat untuk minta maaf kepadaku itu tidak perlu. Karena seharusnya aku yang minta maaf kepadamu karena sudah membuatmu sedih dan bingung berada di antara aku dan dia.
Jadi, maaf.
Oiya, bisakah kamu sampaikan maaf ku kepada Aly? Aku sangat menyesal telah melontarkan kata-kata kasar itu dan ku harap kepergianku bisa membalas itu semua :)
Asal kamu tahu, Grey.
Di hari itu di saat aku telah membuat Aly sampai tertabrak oleh mobil karena perkataan kasarku aku sangat amat menyesal. Kata-kata itu terlontarkan begitu saja tanpa adanya persetujuan dari otakku. Ditambah lagi saat aku melihat kamu membawa Aly ke rumah sakit dengan tangis di pipi kamu, dengan darah yang mengalir lembut dari tubuh Aly yang mengotori baju kamu, itu semua membuatku rapuh. Aku bisa merasakan kesedihan kamu saat itu, padahal di lain sisi aku lah yang membuat itu semua terjadi. Tetapi sungguh aku amat sangat menyesal.
Saat di rumah sakit, mungkin kamu mengira bahwa aku tidak datang di sana. Padahal aku ada di sana, tetapi aku tidak sanggup untuk mendekatimu yang sedang shock berat dengan kejadian itu. Melihatmu menangis di depan ruang Unit Gawat Darurat dari jauh saja sudah membuat hatiku teriris secara perlahan. Apalagi di saat dokter berkata bahwa Aly kehabisan banyak darah, di saat itulah air mataku jatuh dengan amat derasnya, dan di saat itulah satu-satunya cara untuk meminta maaf kepada Aly dan kepada semuanya atas hal yang disebabkan olehku ini. Maka langsung ku temui dokter itu dan bilang bahwa aku ingin menyumbangkan darah untuk Aly. Dokter sempat berkata bahwa sekantung darah yang akan ku donorkan tidak cukup untuk menggantikan darah Aly yang sudah terlanjur banyak terbuang, dan jika aku nekat dan berniat menggantikan darah Aly dengan seberapa banyakpun darah yang ada di tubuhku dokter bilang bisa mengancam nyawaku sendiri.
Di detik itu aku terdiam.
Dan hanya ada dua pilihan saat itu,
Nyawaku atau nyawa Aly?
Karena menyadari bahwa waktu sangat singkat, ku putuskan untuk memilih nyawa Aly. Nyawa perempuan yang sudah banyak memberikanmu sekelebat pelajaran tentang arti hidup yang sebenarnya.
Dokter sempat tak yakin dengan pilihanku, tetapi akhirnya Ia mengerti dan sebelum pendonoran itu berlangsung aku meminta izin untuk menulis surat ini dan memintanya untuk mendonorkan mataku untuk Aly jika aku pergi.
Alasanku mendonorkan mata ini ke Aly adalah agar kamu masih bisa melihat bola mata kesayanganmu ini walaupun jasadku sudah pergi. Aku ingin kamu masih bisa melihat cahaya terang itu.
Greyson, if you miss me just look at her eyes.
Cause this is what I called,
The Power of Eyes.
From,
Alfia ♥
P.s.: ku kembalikan kotak musik yang kamu beri sehabis prom itu karena ada tulisan 'AL-' di bawahnya, mungkin maksud kamu ALy bukan ALfia :) lebih baik jika berikan kotak musik itu ke Aly.”
Kini tangisku benar-benar pecah.
Badanku bergetar kuat karena tangisan itu.
Tanganku tak sanggup lagi memegang kertas ini.
Jantungku berdegup sangat amat cepat.
Pikiranku memutar sekelebat memori yang ku alaminya selama ini.
***
Ku parkir mobilku di depan rumah sederhana ini, lalu keluar dari mobil dan menghampiri sosok perempuan berambut hitam panjang yang sedang duduk di kursi taman depan rumahnya dengan tangannya yang menggenggam setangkai bunga mawar merah segar itu.
Matanya menyorotku yang baru saja melangkah masuk ke dalam halaman rumahnya.
Bola mata cokelat terang itu, ya Tuhan.
Aku merindukan pemilik asli bola mata itu.
”Hai, Greyson.” Sapanya lembut.
”Hai.” Balasku menyapanya.
Ia bangkit dari kursi, lalu menghampiri ku yang masih berdiri.
”Mau kemana kita? Kata kamu mau jelasin semuanya hari ini.”
”Ayo, kita langsung masuk ke mobil aja.” Jelasku.
***
Ia menggenggam tanganku erat selama menyusuri hamparan gundukan rumput yang luas.
”Untuk apa kita kesini?” Tanyanya.
”Nanti akan ku jelaskan, Aly.” Jawabku.
Ku hentikan langkahku begitu sampai di sebuah gundukan tanah yang sudah ditutupi rerumputan hijau lembut.
Kini wajahnya tergambar di benakku dan tanpa ku sadari air mata terus menerus tumpah ke pipi. Menggambarkan betapa rindunya aku dengan senyum, tawa, tatapan, dan tingkah konyolnya yang setahun terakhir ini sudah hilang ditelan gundukan tanah di depanku.
”Grey..” Aly mengusap punggungku pelan.
Ku usap air mata yang membasahi pipiku, lalu menatap Aly yang ada di sisiku, dengan matanya yang menyorotku dalam.
”Dia Alfia. Pemilik mata yang ada di wajah kamu.” Jelasku.
”Dia? Memang dulu aku..?”
”Kamu buta, dulu kamu buta, Aly. Tetapi Alfia datang dan dengan baiknya memberikan mata miliknya untuk kamu.”
”Tapi aku nggak ingat apa-apa..”
”Itu semua karena kamu amnesia. Sudah dua kali kamu mengalami kecelakaan. Kecelakaan pertama kamu alami bersama pacar kamu, di kecelakaan itu kamu kehilangan penglihatan dan pacar kamu kehilangan nyawanya.”
”Pacar? Siapa namanya?”
”Adrian.”
”Lalu kecelakaan kedua?”
”Kecelakaan kedua terjadi setahun yang lalu, kamu kehilangan banyak darah dan memori otakmu. Di hari itu Alfia datang mendonorkan darah dan matanya untukmu.”
Ku dapati Ia menunduk.
”Aly?” Tanyaku pelan.
”Alfia terlalu baik. Aku berhutang banyak padanya, Grey.” ujarnya diiringi isakan tangis.
Aku ikut menunduk dan mengangguk pelan, ”Dia memang baik dan kamu beruntung mendapatkan bola mata yang sangat indah miliknya itu.”
”Aku berhutang banyak pada Alfia, Grey. Gimana cara bayar itu semua?”
Ku tatap wajah Aly atau lebih tepat menatap bola mata itu, bayangan Alfia kembali datang karena mata itu.
Lagi-lagi air mataku tumpah.
Andai bisa ku gapai tubuhnya lembut saat ini dan berbisik menyampaikan betapa menyesal dan cintaku padanya.
Andai bisa ku gapai rambut panjang hitamnya lagi.
Andai bisa ku tatap matanya lagi.
Untuk kali ini saja, ku mohon, Alfia.
Aku merindukanmu.
***
Aku masuk ke dalam mobil begitu juga Aly. Langsung ku ambil selembar tisu untuk menghapus air mataku yang telah tumpah.
Aly menatapku lembut, maka ku balas juga tatapan lembutnya dengan senyum walaupun hatiku sama sekali tidak bisa tersenyum saat ini.
Ku teringat dengan kotak musik yang saat itu ingin ku berikan kepada Aly untuk hadiah ulangtahunnya yang malah berujung ku berikan ke Alfia. Aku juga teringat dengan surat pemberian Alfia sebelum Ia pergi. Maka ku ambil kotak musik yang ada di jok belakang mobil dan memberinya kepada Aly.
”Grey ini untuk apa?” Tanyanya setelah ku beri kotak musik itu.
”Ini dari Alfia untuk kamu.” Jawabku.
Aly menghapus air mata yang baru saja mengalir melewati pipinya. ”Ya Tuhan, dia begitu baik.”
”Aku tahu itu. Ia sangat amat baik dan juga cantik.”
”Oiya, Grey. Tadi di pemakaman ku dengar suara perempuan yang berbisik kepadaku dan berkata kepadaku agar menjagamu dan menjaga mata yang ada di wajahku saat ini. Apa menurutmu itu Alfia?”
Aku sempat terdiam mendengarnya, tetapi senyum simpul muncul di wajahku dan berkata, ”ya, itu pasti Alfia.”
***
Finally this story end! <3
Thanks for everyone who always be there to read my story. Laffyaaah<3
Alfia melihatku dan Aly.
Spontan, ku lepas peluk ini dan langsung berdiri tegap berhadapan dengan Alfia.
Jantungku berdegup cepat bahkan sangat amat kencang, bibirku kaku, pikiranku kalut, sedangkan Alfia terus menerus meneteskan air mata yang lalu Ia usap dengan kedua tangannya.
Kecanggungan yang sekarang sedang ku rasa. Aly terus menerus menyerukan namaku, tetapi mataku terus menerus menatap bola mata Alfia yang lembab dan tergenangi oleh air mata.
Alfia langsung berlari meninggalkanku dengan isak tangis yang terdengar, spontan langsung ku tarik tangannya yang membuatnya berhenti. Kini tangannya berada di dalam genggamanku, Ia menunduk, dan terus menerus ku lihat air mata jatuh ke rerumputan taman.
Alfia mendongakkan kepalanya, ”Kamu pembohong, Grey. Pembohong!” Matanya menyorotku tajam, bahkan mampu menyayat hatiku hanya dengan tatapan itu. Perih, itu yang ku rasa.
”Tiga bulan yang lalu kita pegang janji itu, Grey. Di sini, di tempat ini, tapi kenapa kamu hancurkan janji itu di sini, di tempat yang sama saat kita memegang janji itu? Kenapa?”
”a..aku sama dia nggak ada apa-apa.”
”Aku dengar semuanya, aku ada di sini udah dari tadi. Aku dengar semuanya, aku dengar saat kamu balas tiga kata kecil itu. Aku juga lihat waktu kamu peluk tubuh dia, aku lihat waktu kamu makein dia flower crown. Aku lihat itu semua, dan apa mungkin kalau kamu dan dia nggak ada apa-apa?”
Aku menunduk.
Ini semua sulit dijelaskan.
Semua ini terjadi dalam waktu yang amat singkat.
Seminggu yang lalu, ku temui sosoknya di kursi taman ini di mana awal mulanya aku dekat dengannya.
Ini semua terjadi tanpa disengaja, tanpa ada yang meminta. Tuhan yang mengehendaki ini semua terjadi, mengehendaki untuk mempertemukanku dan Alyssa di saat ku punya Alfia di sisiku.
Satu hal yang terus menerus berkecambuk di benakku saat ini,
Apa tujuan Tuhan melakukan ini semua?
Aku kembali menatap sosok Alfia yang berada di hadapanku masih dengan tangisnya yang mengalir deras.
Ku tarik nafas panjang sebelum menjelaskan semuanya kepada Alfia, mungkin ini saat yang tepat.
”Dia cuman gadis buta yang ku temui sosoknya seminggu yang lalu di taman ini, nggak lebih.”
Kalimat itu dengan mulusnya terlontar dari mulutku, tanpa menyadari bahwa kalimat itu sangat menyakitkan untuk didengar.
Aku masih menunduk, menatap hamparan rumput hijau yang sudah terkena tumpahan air mataku. Bayangan Alfia yang tadinya ada di depanku bergerak pergi entah kemana, ku putuskan untuk tetap terdiam dan menunduk di sini, pikiranku terlalu kusut untuk mencerna semuanya.
”Lo cuma cewe buta yang nggak tau diri! Greyson cowo gue! Gila lo! Buta aja belagu!”
Aku tersentak begitu mendengar kalimat itu yang sudah pasti terlontar dari mulut Alfia. Maka langsung ku berlari menuju kursi tempat Aly berada dengan sosok Alfia di depannya.
”Berhenti, Alfia! It's not funny at all!”
”Kamu sendiri yang bilang kalau dia cuman gadis buta yang kamu temuin di taman ini, kan?! Emang udah takdir dia aja yang buta! Cacat mata!”
”Shut up!” Bentakku dan tanpa disadari ku layangkan tanganku ke pipi Alfia. Ku lakukan itu dengan spontan, tanpa adanya perintah dari otakku.
Langsung ku balikkan badan untuk menemui Aly dan meminta maaf atas segala yang telah Alfia katakan padanya.
Tetapi Aly sudah tidak ada di kursinya. Kursi yang tadi Ia tempati sudah kosong.
Mataku membulat menjelajahi penjuru taman ini.
Akhirnya, ku dapati sosoknya sedang berlari menuju jalan raya.
Tunggu,
Jalan raya!
Aku langsung berlari cepat menuju Aly, karena kau tahu Ia buta dan aku takut hal buruk terjadi padanya.
Ku berlari mencoba sekencang mungkin, pikiranku kacau. Bisa ku rasakan bagaimana perasaan Aly saat ini begitu mendengar semua perkataan tidak mengenakkan hati yang dilontarkan Alfia.
”ALY!”
Kini semuanya terlambat.
Sosoknya telah tergeletak di pinggir jalan.
Darah segar mengalir deras dari tubuhnya.
Matanya tertutup.
Tetapi senyum tetap mengembang di wajahnya,
senyum tipis itu tetap ada di sela-sela darah itu.
Untuk saat ini dua kata,
Aku telat.
***
Satu tahun kemudian.
Kediaman Greyson.
Jakarta, Indonesia.
07.00 WIB.
Ku teguk teh hangat buatanku yang berhasil membuat tubuhku terasa sedikit hangat di tengah cuaca mendung pagi ini. Setelah itu, ku ambil sebuah amplop yang ada di atas meja kecil ini.
Surat yang ditulisnya satu tahun yang lalu sebelum pergi.
”Untuk: Greyson :)
Aku ada di alam yang berbeda di saat kamu baca surat ini. Itu pasti, karena ku buat surat ini di detik-detik sebelum kepergianku. Maka jika aku tidak pergi dan masih ada di dunia ini, itu mustahil kalau surat ini ada di tangan kamu :)
Um, mata.
Kamu pernah bilang, kalau mataku adalah hal yang paling kamu suka.
Kamu pernah bilang, kalau cahaya terang dari manapun tidak akan pernah bisa mengalahkan cahaya mataku.
Kamu pernah bilang, kalau warna cokelat dari bola mataku mengandung unsur sihir yang selalu membuatmu mau melakukan apapun demiku.
Kamu pernah bilang, kalau bola mataku ini yang membuat kamu jatuh hati kepadaku di kali pertama kita bertemu.
Kamu pernah bilang, kalau kamu mau melakukan apapun demi menjaga bola mataku ini.
Kamu juga pernah bilang, kalau bola mata ini yang akan selalu membuatmu cinta kepadaku.
Tetapi,
Jika bola mata yang sangat amat kamu cintai itu pergi dari wajahku,
Apakah kamu masih cinta kepadaku?
Apakah aku masih bisa menyihirmu?
Apakah kamu masih mau menjagaku?
Aku tahu, mungkin tidak seharusnya aku berharap lebih. Mungkin jika kedua bola mataku ini pergi, kau akan berhenti mencintaiku dan berhenti menjagaku. Bahkan, aku tidak akan pernah bisa lagi menyihirmu dengan cahaya terang bola mata itu.
Mungkin, aku bisa menerima itu semua.
Karena kepergianku ini bukan salahmu, ini semua salahku.
Ini semua salahku yang lebih memilih untuk pergi meninggalkanmu dan membuatmu jatuh ke perempuan selain diriku.
Mungkin seharusnya kita tidak perlu membuat janji konyol di taman untuk berjanji tidak mencintai siapapun selama aku pergi, karena janji itu hanya bisa diingkari yang malah menambah beban kamu.
Greyson, ini bukan salah kamu seutuhnya.
Ini salahku.
Ini salah atas kepergianku.
Karena kamu bertemu dengannya di taman itu, dan kamu ke taman itu karena merindukan AKU, kamu ingin memutar kenangan manis kita di taman itu hanya karena kamu merindukan AKU. Hingga akhirnya di taman itu kamu malah menemukan dia.
Itu bukan kesalahan kamu, karena pada dasarnya kamu bertemu dengan Aly karena AKU. AKU yang menyebabkan itu semua terjadi. Jadi, jika sekarang kamu berniat untuk minta maaf kepadaku itu tidak perlu. Karena seharusnya aku yang minta maaf kepadamu karena sudah membuatmu sedih dan bingung berada di antara aku dan dia.
Jadi, maaf.
Oiya, bisakah kamu sampaikan maaf ku kepada Aly? Aku sangat menyesal telah melontarkan kata-kata kasar itu dan ku harap kepergianku bisa membalas itu semua :)
Asal kamu tahu, Grey.
Di hari itu di saat aku telah membuat Aly sampai tertabrak oleh mobil karena perkataan kasarku aku sangat amat menyesal. Kata-kata itu terlontarkan begitu saja tanpa adanya persetujuan dari otakku. Ditambah lagi saat aku melihat kamu membawa Aly ke rumah sakit dengan tangis di pipi kamu, dengan darah yang mengalir lembut dari tubuh Aly yang mengotori baju kamu, itu semua membuatku rapuh. Aku bisa merasakan kesedihan kamu saat itu, padahal di lain sisi aku lah yang membuat itu semua terjadi. Tetapi sungguh aku amat sangat menyesal.
Saat di rumah sakit, mungkin kamu mengira bahwa aku tidak datang di sana. Padahal aku ada di sana, tetapi aku tidak sanggup untuk mendekatimu yang sedang shock berat dengan kejadian itu. Melihatmu menangis di depan ruang Unit Gawat Darurat dari jauh saja sudah membuat hatiku teriris secara perlahan. Apalagi di saat dokter berkata bahwa Aly kehabisan banyak darah, di saat itulah air mataku jatuh dengan amat derasnya, dan di saat itulah satu-satunya cara untuk meminta maaf kepada Aly dan kepada semuanya atas hal yang disebabkan olehku ini. Maka langsung ku temui dokter itu dan bilang bahwa aku ingin menyumbangkan darah untuk Aly. Dokter sempat berkata bahwa sekantung darah yang akan ku donorkan tidak cukup untuk menggantikan darah Aly yang sudah terlanjur banyak terbuang, dan jika aku nekat dan berniat menggantikan darah Aly dengan seberapa banyakpun darah yang ada di tubuhku dokter bilang bisa mengancam nyawaku sendiri.
Di detik itu aku terdiam.
Dan hanya ada dua pilihan saat itu,
Nyawaku atau nyawa Aly?
Karena menyadari bahwa waktu sangat singkat, ku putuskan untuk memilih nyawa Aly. Nyawa perempuan yang sudah banyak memberikanmu sekelebat pelajaran tentang arti hidup yang sebenarnya.
Dokter sempat tak yakin dengan pilihanku, tetapi akhirnya Ia mengerti dan sebelum pendonoran itu berlangsung aku meminta izin untuk menulis surat ini dan memintanya untuk mendonorkan mataku untuk Aly jika aku pergi.
Alasanku mendonorkan mata ini ke Aly adalah agar kamu masih bisa melihat bola mata kesayanganmu ini walaupun jasadku sudah pergi. Aku ingin kamu masih bisa melihat cahaya terang itu.
Greyson, if you miss me just look at her eyes.
Cause this is what I called,
The Power of Eyes.
From,
Alfia ♥
P.s.: ku kembalikan kotak musik yang kamu beri sehabis prom itu karena ada tulisan 'AL-' di bawahnya, mungkin maksud kamu ALy bukan ALfia :) lebih baik jika berikan kotak musik itu ke Aly.”
Kini tangisku benar-benar pecah.
Badanku bergetar kuat karena tangisan itu.
Tanganku tak sanggup lagi memegang kertas ini.
Jantungku berdegup sangat amat cepat.
Pikiranku memutar sekelebat memori yang ku alaminya selama ini.
***
Ku parkir mobilku di depan rumah sederhana ini, lalu keluar dari mobil dan menghampiri sosok perempuan berambut hitam panjang yang sedang duduk di kursi taman depan rumahnya dengan tangannya yang menggenggam setangkai bunga mawar merah segar itu.
Matanya menyorotku yang baru saja melangkah masuk ke dalam halaman rumahnya.
Bola mata cokelat terang itu, ya Tuhan.
Aku merindukan pemilik asli bola mata itu.
”Hai, Greyson.” Sapanya lembut.
”Hai.” Balasku menyapanya.
Ia bangkit dari kursi, lalu menghampiri ku yang masih berdiri.
”Mau kemana kita? Kata kamu mau jelasin semuanya hari ini.”
”Ayo, kita langsung masuk ke mobil aja.” Jelasku.
***
Ia menggenggam tanganku erat selama menyusuri hamparan gundukan rumput yang luas.
”Untuk apa kita kesini?” Tanyanya.
”Nanti akan ku jelaskan, Aly.” Jawabku.
Ku hentikan langkahku begitu sampai di sebuah gundukan tanah yang sudah ditutupi rerumputan hijau lembut.
Kini wajahnya tergambar di benakku dan tanpa ku sadari air mata terus menerus tumpah ke pipi. Menggambarkan betapa rindunya aku dengan senyum, tawa, tatapan, dan tingkah konyolnya yang setahun terakhir ini sudah hilang ditelan gundukan tanah di depanku.
”Grey..” Aly mengusap punggungku pelan.
Ku usap air mata yang membasahi pipiku, lalu menatap Aly yang ada di sisiku, dengan matanya yang menyorotku dalam.
”Dia Alfia. Pemilik mata yang ada di wajah kamu.” Jelasku.
”Dia? Memang dulu aku..?”
”Kamu buta, dulu kamu buta, Aly. Tetapi Alfia datang dan dengan baiknya memberikan mata miliknya untuk kamu.”
”Tapi aku nggak ingat apa-apa..”
”Itu semua karena kamu amnesia. Sudah dua kali kamu mengalami kecelakaan. Kecelakaan pertama kamu alami bersama pacar kamu, di kecelakaan itu kamu kehilangan penglihatan dan pacar kamu kehilangan nyawanya.”
”Pacar? Siapa namanya?”
”Adrian.”
”Lalu kecelakaan kedua?”
”Kecelakaan kedua terjadi setahun yang lalu, kamu kehilangan banyak darah dan memori otakmu. Di hari itu Alfia datang mendonorkan darah dan matanya untukmu.”
Ku dapati Ia menunduk.
”Aly?” Tanyaku pelan.
”Alfia terlalu baik. Aku berhutang banyak padanya, Grey.” ujarnya diiringi isakan tangis.
Aku ikut menunduk dan mengangguk pelan, ”Dia memang baik dan kamu beruntung mendapatkan bola mata yang sangat indah miliknya itu.”
”Aku berhutang banyak pada Alfia, Grey. Gimana cara bayar itu semua?”
Ku tatap wajah Aly atau lebih tepat menatap bola mata itu, bayangan Alfia kembali datang karena mata itu.
Lagi-lagi air mataku tumpah.
Andai bisa ku gapai tubuhnya lembut saat ini dan berbisik menyampaikan betapa menyesal dan cintaku padanya.
Andai bisa ku gapai rambut panjang hitamnya lagi.
Andai bisa ku tatap matanya lagi.
Untuk kali ini saja, ku mohon, Alfia.
Aku merindukanmu.
***
Aku masuk ke dalam mobil begitu juga Aly. Langsung ku ambil selembar tisu untuk menghapus air mataku yang telah tumpah.
Aly menatapku lembut, maka ku balas juga tatapan lembutnya dengan senyum walaupun hatiku sama sekali tidak bisa tersenyum saat ini.
Ku teringat dengan kotak musik yang saat itu ingin ku berikan kepada Aly untuk hadiah ulangtahunnya yang malah berujung ku berikan ke Alfia. Aku juga teringat dengan surat pemberian Alfia sebelum Ia pergi. Maka ku ambil kotak musik yang ada di jok belakang mobil dan memberinya kepada Aly.
”Grey ini untuk apa?” Tanyanya setelah ku beri kotak musik itu.
”Ini dari Alfia untuk kamu.” Jawabku.
Aly menghapus air mata yang baru saja mengalir melewati pipinya. ”Ya Tuhan, dia begitu baik.”
”Aku tahu itu. Ia sangat amat baik dan juga cantik.”
”Oiya, Grey. Tadi di pemakaman ku dengar suara perempuan yang berbisik kepadaku dan berkata kepadaku agar menjagamu dan menjaga mata yang ada di wajahku saat ini. Apa menurutmu itu Alfia?”
Aku sempat terdiam mendengarnya, tetapi senyum simpul muncul di wajahku dan berkata, ”ya, itu pasti Alfia.”
***
Finally this story end! <3
Thanks for everyone who always be there to read my story. Laffyaaah<3