Monday, December 31, 2012

Skyfall ( Part 5 )



Aku berjalan ke ujung bebatuan, kemudian menunduk melihat ombak laut yang memecah dinding tebing tempat kami berada. Cukup mengerikan, tetapi pemandangan dari atas sini terlihat sangat indah dipadu dengan langit yang sudah mulai menggelap.



Aku kembali berjalan ke Greyson yang sedang duduk di sebuah batu, lalu duduk di sebuah batu tepat di sisinya.



“Pemandangannya indah,” ucapku.



“Ya, oleh sebab itu aku mengajakmu ke sini. Dulu, aku suka pergi ke sini untuk menyaksikan matahari terbenam.”



“Dulu?”



“Ya, aku jarang ke sini lagi.”



“Kenapa?”



“Akan ku ceritakan padamu suatu saat nanti.”



Aku hanya mengangguk pelan, “Akan ku tunggu.” Balasku.



Ku perhatikan hamparan laut luas di hadapan kami juga dengan matahari yang semakin bergerak turun diikuti oleh sinarnya yang membuat bumi menggelap. Aku menoleh ke Greyson. Pandangannya lurus ke depan, dari wajahnya terlihat serius sekali seperti sedang memikirkan sesuatu, dan akupun tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.



Ku ambil ponsel yang berada di sakuku, sekedar mengecek jika ada sebuah pesan masuk untukku. Tetapi sayangnya tidak ada satupun pesan yang masuk. Ku sadari bahwa baterai ponselku mulai habis, maka sengaja ku matikan.



“Bisakah kita berhitung mundur sekarang?” suaranya cukup mengagetkanku yang sedang menatap kosong layar ponsel.



Aku menoleh ke arahnya, lalu mengangguk pelan. “Ku rasa bisa. Mau dimulai dari berapa?” tanyaku.



Ia bangkit dari batu tempatnya duduk, lalu duduk di sebuah batu yang lebih dekat denganku. “Bagaimana kalau dimulai di angka sepuluh? Matahari sudah mendekati garis laut.” sarannya.



Aku menggumam sejenak seraya memperhatikan matahari yang memang mulai mendekati garis pembatas laut dan langit.



“Baiklah, akan ku mulai.” Ku ambil batu kecil di sisiku, lalu berjalan ke tepi tebing. “Sepuluh,” ucapku sambil melempar batu kecil itu ke laut.



“Sembilan,”



Sebuah batu melayang ke hamparan laut di bawah. Ah, ternyata Greyson meniruku.



Aku membungkuk, mengambil beberapa buah batu. “Delapan,” teriakku diselingi lemparan sebuah batu.



“Tujuh,”



“Enam,”



“Lima,”



“Empat,”



“Tiga,”



“Dua,”



Aku melirik ke Greyson karena sekarang gilirannya untuk melempar batu dan mengucapkan angka terakhir, yaitu satu.



Greyson tersenyum, lalu menunduk, dan beberapa saat kemudian kembali menatapku.



“Ku rasa, batu terakhir untuk matahari terbenam lebih baik kita lempar bersama.” Usul Greyson.



Aku membalas tatapannya yang dalam, lalu senyum mengembang di wajahku, dan sebuah anggukan pelan ku lakukan. “Baiklah,” jawabku lalu memegang batu yang berada di genggamannya yang otomatis membuat tanganku lagi-lagi ada di genggamannya.



“Siap?”



“Ku rasa,”



Kami sempat saling melirik hingga akhirnya,



“Satu!”



Batu itu pun terlempar dan jatuh ke dalam air laut, dan di saat itu juga matahari sepenuhnya tenggelam yang membuat sekitar kami gelap.



“Can I get a sunset hug?” Tanya Greyson yang sempat membuatku sedikit kaget. Tetapi, seperti ada yang menyihirku dengan senyuman yang Ia lemparkan. Aku memeluknya. Tepat di saat matahari terbenam, menenggelamkan dirinya.



***



Ku buka pintu kamar hotel yang ternyata kosong. Kakak belum ada di dalam kamar, apa mungkin Ia masih sibuk? Atau..



“Oh, tidak!”



Aku berlari ke sebuah meja kecil di sisi tempat tidur, lalu membuka lacinya dan mengambil charger ponselku. Ku nyalakan ponsel begitu sudah terhubung dengan charger untuk mengisi baterai, dan firasatku benar. Tiga belas pesan singkat dari kakak.



“Ciel, kamu dimana?”



“Ciel, kakak sebentar lagi sudah selesai.”

“Kamu kok nggak bales pesan kakak?”



“Ciel, kenapa ponselnya dimatikan? Kakak telfon nggak nyambung.”



“Kamu dimana?”



“Ciel, serius. Kakak khawatir.”



“Kakak sudah pesan meja di restaurant untuk kita.”



“Ciel, kakak cari kamu kemana-mana nggak ada.”



“Kamu kemana, sayang?”



“Kakak telfon berkali-kali nggak nyambung.”



“Ya, Tuhan. Kamu kemana? Di pantai nggak ada.”



“Kakak khawatir, Ciel.”



“Kakak lagi nyari kamu. Kalau ternyata kamu sudah ada di hotel, ada cokelat hangat di meja dan jangan lupa langsung kirimi kakak pesan.  Je t’aime, sayang.



Langsung ku tepuk jidadku dan buru-buru mengetik pesan balasan untuk kakak.



“Aku ada di hotel, kak. Maaf udah buat kakak khawatir. Ciel baik-baik aja, kakak cepat ke hotel ya. Je t’aime, Kak. Maaf ya <3”



Send.



Ku taruh ponsel di atas meja, lalu menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Tak lama, ponselku bergetar dan aku sangat mengharapkan itu dari kakak.



“Syukurlah. Iya, kakak lagi di jalan. Kamu tunggu, ya.”



Sebuah senyum mengembang di wajahku begitu membaca pesan darinya, menyadari betapa beruntungnya aku mempunya seorang kakak lelaki seperti dirinya. Kakak memang seseorang yang sangat perhatian, Ia selalu mengirimiku pesan singkat setiap kali aku sedang tidak bersamanya. Tetapi, bukan berarti kami tidak pernah bertengkar. Bahkan, kami sering sekali bertengkar walaupun itu tidak lama. Biasanya setiap kali bertengkar kakak selalu mengajakku ke kedai ice cream untuk merayuku. He’s the best.



 Beberapa menit berlalu, pintu kamar hotel terbuka dan muncul kakak dengan jaket tebalnya dibalik pintu.



“Kamu kemana?” Tanya kakak dan langsung memelukku yang sedang duduk di bibir kasur.



“Maaf, aku sudah melanggar larangan kakak.” Aku melepas pelukannya pelan, kini Ia sedang menatapku bingung. “Tadi, aku pergi dengan lelaki yang baru ku kenal di galeri.” Ujarku. Seketika, wajah kakak berubah bertambah bingung.



“Tapi tenang, kak. Dia orang baik, bahkan dia penggemar karya kakak! Dia datang dari Amerika ke Bali untuk melihat pameran yang kakak selenggarakan. Bahkan, dia punya foto lukisan-lukisan kakak dari tahun lalu di kameranya.”



Kakak menatapku curiga, dan tak lama kemudian Ia berdiri dan meminum secangkir cokelat hangat di atas meja.



“Lain kali, jangan mudah percaya dengan orang yang baru dikenal dan jika ingin berpergian hubungi kakak dulu.”



Aku mengangguk mantap. “Baiklah, kak.”



***



Hari ketiga di Bali.





“Jangan seperti kemarin. Hubungi atau kirimi kakak pesan singkat setiap dua jam sekali. Kakak nggak mau khawatir seperti kemarin, okay?  Je  t’aime, sayang.”

Kakak mengecup puncak kepalaku pelan. Aku mengangguk mantap. “Siap, kapten!” balasku lalu berjinjit dan merangkulnya. “Je t’aime, kakak.”



Kakak mengedipkan matanya sebelah, lalu berlari memasuki galeri tempat diadakan pamerannya sampai dua hari kedepan.



Aku berjalan kaki santai menuju Pantai Kuta dengan kamera yang terkalung di leherku dan buku diary yang ku beli di Jakarta dari gadis cilik di lampu merah itu. Tanganku sesekali menangkap dan menyimpan pemandangan yang ada di sekitar dengan kamera ini.



Aku duduk di atas pasir begitu sampai di Pantai Kuta. Ku ambil posisi duduk senyaman mungkin, lalu mulai mengambil pulpen yang sedari tadi berada di saku dan membuka halaman kedua di buku ini.



“Dear, skyfall..



Hari ini adalah hari ketiga ku di Bali, dan maaf kau belum ku isi tentang banyak hal karena kemarin aku tidak sempat mengisimu. Padahal banyak sekali yang harus ku ceritakan padamu.



Dua hari yang lalu, aku melihat sosok lelaki yang sedang membaca novel tepat di saat matahari sedang terbenam. Lelaki itu sesekali menggerakkan tangannya seperti sedang menghapus air mata. Kau tahu, Ia membuatku penasaran. 

Aku pun terus memperhatikannya yang berkali-kali mengusap pipinya, hingga akhirnya Ia menoleh ke arahku hingga membuat mata kami bertemu. Di saat itu aku merasa ada gejolak di hatiku yang aku sendiri pun tak tahu apa itu. Mungkin, karena aku gelagapan saat mata kami bertemu satu sama lain.

Di hari itu, aku menganggapnya aneh karena tingkah lakunya.



Lalu kemarin, aku mengunjungi galeri tempat pameran kakak diadakan. Kakak dan aku pun harus berpisah karena Ia harus sibuk dengan urusannya sendiri. Aku berjalan menyusuri galeri sendiri bersama kamera yang ku kalungi untuk memotret beberapa lukisan kakak, hingga akhirnya aku berhenti tepat di sebuah lukisan yang menggambarkan suatu keluarga. Aku sangat mengerti apa maksud lukisan itu, aku sangat mengerti mengapa kakak melukis lukisan itu, aku sangat mengerti jelas apa maksudnya.



Aku terus berdiam di depan lukisan itu hingga blits kamera dari seseorang di belakang menyilaukanku. Setelah berhasil memotret lukisan itu, Ia turunkan kameranya yang sedari tadi menutupi wajahnya. Dan kau tahu, Skyfall? Ia lelaki yang ku perhatikan di pantai itu.



Saat itu aku sangat berharap agar Ia tidak mengenali wajahku, tetapi sialnya Ia mengenali wajahku walaupun aku telah berusaha untuk bohong. Setelah itu Ia sempat mengajakku untuk berbincang-bincang  mengelilingi galeri hingga akhirnya Ia mengajakku untuk makan ice cream bersama. Kau tahu, aku sangat menyukai ice cream. Aku tidak bisa menolak tawarannya apalagi dengan senyum manis yang Ia keluarkan saat mengajakku.

Di saat itu, aku menganggapnya baik.



Setelah itu, Ia mengajakku ke pantai dan kami berkeliling menyusuri pinggir pantai yang tiada habisnya. Ia sempat menceritakanku tentang kehidupan air yang baginya sama seperti kehidupan manusia. Di setiap kata yang Ia lontarkan tentang kehidupan itu, aku merinding. Aku menyadari bahwa ucapannya itu sangat benar, dan aku tidak menyangka bahwa Ia memiliki pemikiran yang bijak tentang kehidupan.

Di saat itu, aku menganggapnya mengagumkan.



Kemudian, Ia mengajakku untuk menyaksikan matahari terbenam bersama di atas tebing yang cukup jauh dari Pantai Kuta dan tidak mudah untuk pergi ke atas tebing itu. Kami mulai menghintung mundur hingga akhirnya matahari terbenam tepat saat kami melempar batu yang terakhir bersama. Begitu matahari terbenam, Ia memintaku sebuah pelukan.

Di saat itu, aku menganggapnya manis.



Tetapi Skyfall, aku tidak tahu apakah hari ini aku akan bertemunya atau tidak. Karena aku tidak mempunyai nomer ponselnya, aku tidak mempunyai apa pun untuk menghubunginya lagipula jika punya aku pun tidak akan berani untuk menghubunginya duluan.



Menurutmu bagaimana? Apakah kami akan bertemu lagi hari ini?



Love,

Cielyta.”



Ku taruh pulpenku di atas halaman buku ini, dan menarik nafas panjang sambil menikmati gemuruh ombak laut yang terdengar.



“Menurutmu bagaimana? Apakah kami akan bertemu lagi hari ini?”



Aku langsung berbalik badan, melihat seseorang yang berani-beraninya membaca tulisan yang ada di buku diary ku ini.





---



That’s all about part 5 from my third story.

Thanks for read,

Tweet me your opinion here @chandatamaOP
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Thursday, December 27, 2012

Skyfall ( Part 4 )


Kini, Greyson malah tertawa begitu ku jawab pertanyaannya. “Dimana-mana, berolahraga memang membuat orang lelah. Ayahmu aneh-aneh saja.”

“Aku tahu, Greyson. Tetapi setiap ku langgar larangan Ayah, ini selalu terjadi. Badanku terasa sangat amat berat, nafasku sesak.”

“Mungkin, kau belum terbiasa berolahraga. Kapan-kapan, kita harus berolahraga bersama. Kau harus melatih jantungmu, Ciel.”

Aku hanya mengangguk. Tak lama, Greyson bangun dari tempatnya lalu menjulurkan tangannya begitu berdiri.

“Kemana?” tanyaku.

“Suatu tempat,” balasnya dengan mengedipkan mata kanannya.

***

Greyson berjalan di depanku, sesekali Ia menoleh ke belakang untuk memberiku sebuah senyum tipis kemudian kembali menatap ke depan.

“Kita mau kemana sebenarnya?” Tanyaku dengan sedikit berteriak karena Ia sudah berjalan agak jauh di depanku.

Greyson berbalik badan, lalu menghampiriku yang masih ada di belakangnya.

“Ayo, cepat jika kau ingin tahu!” ujarnya dan menggait tangan kananku. Menjadikan tanganku ada di genggamannya kini.

Kami sudah berjalan cukup jauh, tetapi masih sama-sama menyusuri Pantai Kuta ini. Kami berjalan mengikuti garis pantai yang entah aku sendiri pun tidak tahu dimana ujungnya. Hingga akhirnya bebatuan karang mulai terlihat di pinggir laut.

Greyson menoleh ke arahku, lalu menampilkan senyum di wajahnya.

“Ayo,” ajaknya.

“Kemana?” tanyaku yang masih belum terlalu mengerti dengan maksudnya.

“Menikmati air laut,” Ia berjalan ke beberapa batu di laut yang bisa dijadikan sebuah jalan di tengah air laut. Baru satu langkah berjalan di atas bebatuan, Ia berhenti dan menoleh ke arahku yang masih berdiri di atas pasir pantai. “Mau kau dulu yang berjalan atau aku?” tanyanya. Aku tidak menjawab, melainkan hanya menatap kedua bola matanya itu.

“Ayolah, lebih baik lady first.” Ujarnya lagi yang kemudian menggamit tangan kananku, menuntunku ke bebatuan itu.

“Aku berjalan di belakangmu, tenang saja.” Ucapnya.

Aku mengangguk pelan, lalu mulai melangkahkan kakiku di atas bebatuan laut ini dengan hati-hati. Sesekali, Greyson memperingatkanku untuk melangkah dengan hati-hati, dan Ia pun dengan mudahnya menangkap tubuhku jika ingin jatuh. Kini, bebatuan yang ku jadikan pijak sudah tidak ada. Batu yang sedang ku pijak adalah batu yang berada paling ujung.



Greyson memegang kedua lenganku, dan membantuku untuk berbalik badan menghadap ke wajahnya.

“Ayo, duduk pelan-pelan.” Pintanya.

Ia membantuku untuk duduk dengan menggenggam kedua tanganku, dan akhirnya aku berhasil duduk di bebatuan ini dengan aman. Kini, kaki kami berdua sudah dibalut oleh air laut sore yang hangat. Beberapa kali ombak menghantam bebatuan ini yang menciptakan cipratan air kepada kami berdua, dan di setiap cipratan itu kami tertawa.

“Kau mengajak ku kesini hanya untuk menikmati cipratan air dari ombak?” tanyaku diselingi tawa.

Greyson balas tertawa, lalu menatap ke bawah. “Bisa dibilang seperti itu,” jawabnya lalu tertawa lagi.

Aku hanya terkekeh pelan, kemudian menggerakkan kakiku di air yang juga menciptakan cipratan kecil yang mengenai tubuh kami.

“Apa menurutmu tentang air?” tanyanya yang kemudian menolehkan wajahnya ke arahku.

Aku menunduk, menatap jemari-jemari kakiku yang berada di dalam air. “Terkadang bisa menjadi teman, terkadang bisa menjadi lawan.” Jawabku, kemudian menghadap ke arahnya. “Kalau menurutmu?”

Greyson terkekeh pelan, lalu menghairflip rambutnya. “Mereka sama seperti manusia.” Jawabnya.

Mataku menyipit menandakan aku tidak mengerti dengan apa yang Ia maksud, dan lagi-lagi Ia terkekeh pelan lalu mengambil sedikit air yang Ia tadang di kedua tangannya.

“Ya, mereka sama seperti kita. Mereka terus mengalir mengikuti arus yang membawanya, dan mereka pun tidak tahu kemana mereka akan pergi. Ke sungai yang indah dan bersih atau sungai yang kotor, mau tidak mau mereka harus menerima sungai itu dengan segala keadaannya. Mereka tidak bisa menolak karena hanya bisa mengikuti arus, hingga pada akhirnya mereka sampai di laut luas yang akan membuatnya menguap menjadi awan di langit ketika matahari bersinar terik. Setelah itu, mereka menjadi butiran air hujan yang jatuh membasahi bumi dan mereka pun hanya bisa menuruti di belahan bumi mana mereka akan jatuh dan menjalani kehidupan mereka seperti yang sebelumnya. Mengalir hingga sampai ke laut dan kembali ke atas. Sama seperti kehidupan manusia, kan?” jelasnya yang diakhiri oleh sebuah senyuman.

Aku ikut membalas dengan senyum. Greyson memperbaiki posisi duduknya, lalu memainkan tangannya di air.

“Hidup manusia juga seperti air, terus mengalir, dan kita sendiri pun tidak tahu arus itu akan membawa kita ke kehidupan yang baik atau buruk. Kita hanya harus terus mengalir, hingga bermuara di laut luas yang dipenuhi oleh ikan-ikan dan terumbu karang yang indah, sampai akhirnya kita harus kembali ke atas. Bersatu menjadi sekumpulan awan,” Greyson berhenti memainkan tangannya di dalam air. “Itulah kehidupan. Tetapi, di lain sisi kita juga harus berusaha untuk mencapai yang terbaik. Tidak boleh hanya mengandalkan arus kehidupan.”

Ku tepuk kedua tanganku dan tersenyum lebar begitu mendengar penjelasan dari Greyson. Sedangkan, Greyson hanya tersipu malu karena pipinya memerah.

“Perkataanmu benar, sangat benar. Karena pada akhirnya kita semua akan kembali ke atas, meninggalkan dunia, kan?”

Greyson kembali mengangguk. “Jam berapa sekarang?” tanyanya.

Ku lihat jam tangan yang melingkar, kemudian kembali menatapnya. “Hampir jam setengah lima, ada apa?”

“Kau ingin melihat matahari terbenam di tempat yang istimewa?” tanyanya dengan mengkedipkan sebelah matanya lagi.

***

Aku berjalan di sampingnya, masih menyusuri pantai tetapi sepertinya kami sudah berjalan cukup jauh dari tempat sebelumnya. Jika dibandingkan dengan Pantai Kuta mungkin kami sudah berjalan sangat jauh.

Ku ambil ponsel yang sedari tadi ada di saku ku. Tidak ada pesan dari kakak, padahal biasanya Ia selalu mengirimi ku pesan singkat setiap kali aku sedang pergi. Mungkin Ia masih sibuk, pikirku.

Aku menatap Greyson yang sedang berjalan di sampingku dengan pandangannya ke depan. Kini aku bingung, mengapa dengan mudahnya aku mau diajak oleh lelaki yang baru ku kenal identitasnya tadi pergi menyusuri pantai yang tidak ada habisnya.

Pantai terputus. Kini di depanku sudah tidak ada hamparan pasir pantai lagi, melainkan seperti sebuah tebing yang tidak terlalu tinggi.

Aku menoleh ke arah Greyson yang ternyata juga sedang menoleh ke arahku, tak lama sebuah senyum muncul mengembang di wajahnya. Lalu Ia mulai melangkahkan kakinya menaiki bebatuan menuju tebing. Aku hanya memperhatikan tingkahnya. Begitu berhasil berada  di atas batu besar itu, Ia menjulurkan tangannya.

Aku hanya terdiam menatap tangan miliknya yang dijulurkan ke arahku.

“Ayo, cepat. Aku tahu kau tidak akan bisa menaiki bebatuan ini tanpa bantuan.” Ujarnya. Tangan miliknya yang cukup besar itu masih terus dijulurkan. Akhirnya, ku taruh tanganku di atas telapak tangannya dan di saat itu juga Greyson membantuku naik ke bebatuan.

Ku bersihkan debu yang menempel di celana begitu berhasil naik ke atas, lalu juga membersihkan sikutku yang tergesek bebatuan. Aku berdiri, Greyson sudah berjalan di depanku ingin memanjat sebuah batu besar lagi. Aku berlari pelan dengan hati-hati, kemudian langsung menyambar tangan Greyson dan naik ke atas batu besar itu lagi. Berulang kali, aku naik ke bebatuan besar hingga akhirnya di sebuah tempat yang cukup tinggi jika diukur dari dasar pasir pantai.

Aku berjalan ke ujung bebatuan, kemudian menunduk melihat ombak laut yang memecah dinding tebing tempat kami berada. Cukup mengerikan, tetapi pemandangan dari atas sini terlihat sangat indah dipadu dengan langit yang sudah mulai menggelap.

Aku kembali berjalan ke Greyson yang sedang duduk di sebuah batu, lalu duduk di sebuah batu tepat di sisinya.

“Pemandangannya indah,” ucapku.

“Ya, oleh sebab itu aku mengajakmu ke sini. Dulu, aku suka pergi ke sini untuk menyaksikan matahari terbenam.”

“Dulu?”

“Ya, aku jarang ke sini lagi.”

“Kenapa?”

“Akan ku ceritakan padamu suatu saat nanti.”

Aku hanya mengangguk pelan, “Akan ku tunggu.” Balasku.


---

That’s all about part 4 from my third story!
Wait for the next part, hope you guys love it xoxo
Thanks for read,
-chanda
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png