Tuesday, January 29, 2013

Skyfall (Part 12)


Di dinding ruangan ini terdapat beberapa lemari buku kecil yang berisi banyak sekali buku tebal. Saat aku perhatikan dari dekat, ternyata buku-buku itu kebanyakan adalah novel. Tunggu, jadi Greyson suka membaca novel? Ini fenomena yang sangat jarang ku temui bahwa ada lelaki yang senang membaca novel.

Ia benar-benar bisa menjadi orang yang berbeda di setiap saat.

***

Canggung. Hanya suara televisi yang terdengar. Jam sudah mulai menunjukkan pukul empat sore yang ditandai oleh matahari yang sudah tidak berada di puncaknya lagi.

Greyson. Ia sedang duduk di sampingku kini sambil memainkan ponsel layar sentuhnya. Kami memang belum berbicara sama sekali sejak kejadian di kamar tadi. Kecanggungan memang sedang menyelimuti kami.

Aku yang sedari tadi menatap layar televisi langsung menoleh saat mendengar Greyson menaruh ponselnya kencang di atas meja. Membuatku sedikit kaget karena gertakan itu.

Kemudian Greyson kembali menyender di sofa dan menutup kedua matanya dengan tangan. Aku hanya memperhatikannya sekilas dan kembali memperhatikan layar televisi.

Selang lima menit, sepuluh menit, dan lima belas menit kami belum juga memulai pembicaraan. Aku sendiri bingung mengapa situasi canggung seperti ini bisa terjadi. Padahal dari tadi pikiranku terus berputar mencari bahan pembicaraan untuk mencairkan suasana. Tetapi tetap, aku tidak menemukan bahan pembicaraan apapun.

“Ciel,” suaranya tiba-tiba terdengar. Aku berucap syukur dalam hati karena panggilannya itu, berharap agar suasana kecanggungan ini mencair.

“Ya?” Aku menoleh ke arahnya yang masih bersender di sofa. Pandangannya kini mengarah kepadaku.

“Kok canggung gini, ya?” Tanyanya dilanjut kekehan. Aku ikut terkekeh pelan dan menggeleng.

“Nggak tahu. Aku juga bingung kenapa jadi canggung gini.”

“Kau mau pulang? Sudah sore, aku nggak mau buat kakakmu khawatir lagi.”

Aku sadar begitu melihat jam di pergelangan tanganku. Waktu memang sudah sore dan ku rasa perkataan Greyson benar. Aku harus kembali ke Hotel sebelum Kakak mengkhawatirkanku. Lagipula, malam nanti aku bisa kembali bertemu dengan Greyson.

“Ya, ku rasa. Aku harus pulang sekarang hehe.” Balasku terkekeh. Greyson tersenyum lalu bangkit dari senderannya.

Aku ikut bangkit dan mengambil tas kecilku yang berada di atas meja, lalu kembali duduk sembari mengecheck ponsel.

“Ayo.”

Aku menoleh dan mengalihkan pandanganku dari ponsel ke dirinya yang sedang berdiri di depanku. Tiba-tiba aku tersenyum begitu melihat wajahnya. Hingga akhirnya Greyson menyadarkanku dan mengajakku ke luar rumahnya.

“Kita naik sepeda lagi, ya.” Kekehnya sembari menaruh kedua tangannya di saku celana. Aku yang mendengarnya langsung menatap matanya tajam. Bahkan rasa sakit akibat duduk di gagang sepedanya tadi pagi pun masih terasa. Tidak, aku tidak mau duduk di besi itu lagi. Walaupun di lain sisi aku menyukai kupu-kupu yang datang akan sentuhan itu.

“Kau gila.” Balasku masih menatapnya tajam.

“Kenapa? Bukannya kamu suka?” Ia terkekeh. Aku balas memutar bola mata. Lalu kembali berjalan melangkah lebih dahulu darinya, hingga sebuah tangan merangkul pundakku yang membuatku sedikit tersentak tetapi kembali berjalan.

Greyson melepas rangkulannya dan mengambil sebuah sepeda. Kedua tanganku dilipat tepat di dada. Aku terus menerus mendengus kesal mempersiapkan diriku yang akan menerima sebuah siksaan kecil karena duduk di besinya.

“Ayo,”

Aku yang sedari tadi menunduk, melihat ke sosoknya yang sudah berada di jok sepeda. Bibirku yang sedari tadi mencibir kesal terdiam begitu melihat bahwa sepeda yang sedang Ia naiki berbeda dengan sepeda yang tadi pagi. Sepeda yang saat ini memiliki jok belakang.

Tanpa ba-bi-bu, langsung ku duduki jok belakang yang pastinya untukku. Kedua tanganku sempat ingin melingkar di pinggangnya, tetapi aku tersadar dan menaruh tanganku kembali ke dalam saku.

“Hey, siapa yang menyuruhmu duduk di situ?” Tanya Greyson.

Mataku membulat mendengar ucapannya. Maksud Greyson apa? Memintaku untuk kembali duduk di besi penyiksa itu?

“Hah? Lalu aku duduk di besi seperti pagi tadi?” Balasku bertanya.

Tawanya tak lama terdengar, lalu menoleh ke arahku yang berada di belakangnya. “Just kidding.”

Aku mendengus kesal, sedangkan Greyson masih tertawa sembari mengayuh pedal sepedanya.

“Pegangan, nanti jatuh.” Kekeh Greyson.

“Modus.” Balasku.

“Siapa yang modus sih? Bilang aja mau tapi malu.”

“Dasar.” Aku mendengus kesal. Masih mempertahankan tanganku untuk tidak melingkar di pinggangnya, walaupun guncangan jalan yang tidak rata menerpa.

Tiba-tiba Greyson menghentikan kayuhannya, lalu menoleh ke arahku.

“Kau mau pegangan atau tidak?” Tanyanya.

Keningku mengernyit. Pertanyaan macam apa ini?

“Tidak.” Jawabku.

“Baiklah, tapi persiapkan dirimu ya.”

Aku mengangguk. Greyson mulai mengayuh dengan kecepatan yang tinggi hingga ku rasakan degup jantungku bertambah cepat begitu merasakan turunan jalanan yang memaksaku untuk melingkarkan tangan di pinggangnya.

“HOLY CRAPPPP!!!” Teriak kami bersamaan saat sepeda bergerak di turunan yang cukup terjal. Tanganku erat melingkar di pinggangnya dan tubuhku semakin mendekat ke dirinya sambil memejamkan mata.

Degupan jantungku makin cepat setelah melewati turunan itu. Dan Greyson sengaja menambah kecepatan kayuhannya yang membuatku terpaksa mengeratkan pegangan di pinggangnya.

Akhirnya roda sepeda ini berhenti berputar dan suara tawa Greyson terdengar sangat amat kencang. Rasanya ingin sekali aku memukul lengannya dengan kencang karena aksi gila di turunan tadi. Tetapi rasanya tidak sanggup, tubuhku terasa sangat lemah dengan keadaan tanganku yang belum lepas melingkar di pinggangnya.

“Ciel, kita sudah sampai di depan hotel.” Ujarnya. Aku mengangguk pelan. Badanku masih terasa lemah yang aku sendiri pun tidak tahu mengapa bisa seperti ini.

Aku bangkit berdiri dari jok belakang sepedanya, sedangkan Greyson menyandarkan sepedanya itu.

“You okay? You look pale.” Tanyanya. Aku menggeleng pelan.

Tiba-tiba dadaku terasa amat sangat sakit. Rasanya seperti ada yang meninjuku tepat di dada. Sakit, perih, dan menyiksa.

“You okay?” Tanyanya lagi. Bibirku ingin bergerak mengucap 'I'm okay', tetapi sesaat kemudian ku rasa badanku jatuh terhempas ke bawah. Pikiranku melayang, dan suara Greyson menyerukan namaku berkali-kali terdengar sebelum akhirnya aku benar-benar tak sadarkan diri.

***

Cahaya kecil terlihat saat mataku mulai membuka pelan. Pandangan di depanku masih kabur, maka ku kerjapkan mataku berkali-kali hingga seseorang dengan senyum tipisnya terlihat di hadapnku.

“Greyson?” Tanyaku begitu menyadari bahwa senyum tipis itu miliknya. Aku bangkit duduk tepat di atas kasur. “Bagaimana bisa?” Tanyaku. Ku sadari kini diriku sudah berada di kamar hotel.

“Kau tadi kenapa, hah? Membuat khawatir saja.” Tanyanya balik.

Keningku mengernyit dan mengingat hal tadi saat tubuhku jatuh tanpa sadar.

“Apa tadi aku pingsan?” Tanyaku. Greyson mengangguk.

“Kau aneh, ya.” Ledeknya. Aku mendengus kesal. “Saat bermain di pantai, kau tiba-tiba jatuh tersungkur ke bawah karena tidak kuat berlari. Berjalan jauh saja kau tidak sanggup. Ditambah lagi saat bersepeda tadi. Kau memang aneh. Ku ralat, sangat aneh.”

Aku terdiam, menunduk ke bawah. Melihat diriku yang terbalut selimut.

“Seaneh itu kah?” Tanyaku. Greyson mengangguk.

Tak lama sebuah senyum terbentuk di bibirku. “Being normal is boring, that's why I love being weird.” Balasku santai.

Greyson tersenyum, lalu menaruh tangannya di atas kepalaku, dan mengacak rambutku pelan.

“That's right. Being normal is boring.” Ujarnya menyetujuiku. Aku balas tersenyum.

“Ciel, ku rasa aku harus kembali ke rumah.” Pamitnya. Aku bangkit dari kasur, lalu mendampinginya berjalan menuju pintu.

“Bye.” Ujarnya sambil berjalan menjauhiku, tetapi pandangannya masih mengarah kepadaku.

“Bye.” Balasku. “Jangan lupa untuk datang ke penutupan pameran Kakak nanti malam, ya!” Lanjutku.

Greyson mengangguk. Sosoknya kemudian menekan tombol lift. Aku masih melihatnya dari pintu kamar, tetapi sesaat kemudian aku berlari menghampirinya yang sedang memasuki Lift.

“Tunggu!” Teriakku sambil masuk ke dalam Lift.

“Ada apa?” Tanyanya.

Aku menggeleng. “Tidak ada, hanya ingin mengantarmu sampai bawah saja.” Jawabku. Ia tersenyum lalu menekan tombol untuk ke bawah. Pintu Lift pun mulai tertutup dan di dalam sini hanya ada kami berdua yang sempat menimbulkan sebuah kecanggungan kecil. Tetapi untung saja pintu Lift kembali terbuka begitu sampai di lantai dasar.

“I go.” Ujarnya sambil duduk di atas jok sepeda.

“Tunggu,” sela ku. Aku berjalan mendekat dan memutar bola mataku kesana kemari sebelum menanyakan sesuatu yang bagiku sangat penting.

“Apa?” Tanyanya.

Aku menghembus nafas pelan. “Can I have your phone number?” Tanyaku dengan sedikit gugup. Greyson tersenyum.

“You already got a text from me.” Ujarnya. Aku sempat bingung dengan perkataannya, hingga aku kembali teringat dengan sebuah pesan singkat yang ku terima tadi pagi.

“Are you that bad boy?” Tanyaku. Greyson terkekeh dan mengangguk.

“Kau dapat nomerku darimana?” tanyaku lagi.

Greyson menaikkan alisnya sebelah, lalu memberiku sebuah senyuman yang menurutku nakal. “I'm a bad boy. I can get your number easily.” Jawabnya lalu pergi meninggalkanku dengan mengayuh sepedanya.

“Bye, weird girl!” Teriaknya sambil melambaikan tangan. Aku menelan ludah dan membatin dalam hati. “He's such a bad boy.”

***

Kini tubuhku sudah dibaluti sebuah dress selutut berwarna biru laut yang lembut. Penutupan pameran Kakak memang akan diselenggarakan setengah jam lagi, jadi aku harus mulai mempersiapkan diri.

Diriku kini duduk di bibir kasur sambil memegangi ponsel. Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, rasanya ingin sekali mengirimi Greyson pesan untuk sekedar mengingatkan agar datang. Tetapi gengsi ku terlalu kuat.

“Ciel terlihat manis.”

Ku buyarkan lamunanku, lalu menatap Kakak yang sedang merapikan pakaiannya di depan kaca. Pantulan wajahnya yang menampilkan senyum di cermin mengarah kepadaku.

“Kakak juga terlihat keren.” Balasku.

Kakak memang terlihat keren dengan balutan kemeja dan celana panjangnya itu. Bola mata cokelat jernih miliknya bisa menarik beribu-ribu wanita ke dalam dekapannya. Sama persis seperti bola mata Ayah yang berhasil menarik hati bola mata biru milik Ibu.

Wajah Kakak yang merupakan perpaduan antara Indonesia-Perancis menambah nilai ketampanannya.
Ia memang terlihat hampir sempurna seperti Ayah. Banyak wanita yang dengan mudahnya jatuh hati kepada Kakak.

Bayangkan saja, seorang lelaki yang pandai melukis dengan bola mata cokelat jernih, hidung yang mancung layaknya orang Eropa, dan kulitnya yang berwarna kuning langsat seperti orang Asia, pasti dengan hal-hal yang seperti itu wanita mudah sekali jatuh hati, kan? Apalagi Kakak sangat ahli dalam bidang menabuh drum.
Mungkin orang-orang akan menganggapku sebagai adik yang paling beruntung.

“Sudah bilang Greyson, kan?” Tanya Kakak. Aku mengangguk dan kembali menatap layar ponselku. Berharap ada sebuah pesan singkat dari Greyson.

Doaku terkabul. Akhirnya sebuah pesan singkat datang menghiasi layar ponselku.

“I'll tell you how I get your number this night. At the beach :)x”

Senyum mengembang di wajahku dan dengan cepat langsung ku ketik beberapa deret kalimat balasan.

“Aw okay. Cant wait :)x”

Send. Lagi-lagi aku tersenyum, hingga akhirnya Kakak menyadarkanku dan mengajakku untuk cepat-cepat pergi ke acara penutupan pameran Kakak yang akan diselenggarakan di pantai. Ku rasa acara ini akan menjadi seperti sebuah pesta pantai yang mengasikkan.


http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Skyfall (Part 11)


Setelah memukul sofa itu, Greyson menjatuhkan dirinya ke lantai kayu ini. Aku yang melihatnya seperti itu langsung membantunya menyender di dinding. Ku rangkul tubuhnya yang menegang, berharap rangkulanku bisa membuatnya sedikit tenang.

Tangan Greyson masih mengepal dan berkali-kali memukul lantai. Aku hanya bisa memegang tangannya yang berkeringat erat, mengelusnya pelan, dan membuatnya sedikit tenang. Tak lama, Greyson mulai tenang dan kepalanya kini bersandar di bahuku. Degupan jantungnya yang cepat bisa ku dengar. Kini matanya mulai terpejam masih bersandar di bahuku.

“I hate this life.” Ujarnya pelan.

Aku mendesah, “me too. But we should love and live this life for a while, cause in one day we will leave this life.” Balasku.

Greyson membuka matanya perlahan, lalu melirik ku sekilas. “I love how you make me feel better.” Ucapnya.

Saat itu juga, pipiku memanas. Degup jantungku menambah kecepatannya, binatang kecil itu kembali datang dan bermain di perutku. Mengapa Greyson mudah sekali melakukan hal ini?

“Thank you.” Balasku dengan tersenyum pelan. Greyson ikut tersenyum lalu kembali memejamkan matanya. Kepalaku perlahan bergerak bersender di kepalanya yang berada di bahuku. Entah, aku merasa nyaman dengan posisi seperti ini. Tenang.

Aku melirik ke dirinya yang masih terpejam, kemudian melihat ke tangannya yang masih mengepal. Ya ampun, tangannya bengkak.

“Greyson, tanganmu.” Ujarku pelan sambil memegang tangan kanannya itu. Greyson kembali membuka matanya, lalu melihat tangan kanannya yang bengkak.

“It’s okay.” Balasnya ringan lalu kembali memejamkan mata.

“No, it’s not. How can you say you okay? See?” Ku perlihatkan tangannya yang bengkak akibat memukul lantai tadi. Greyson tidak menjawab ucapanku, Ia hanya membuang nafasnya berat.

“Kau punya persediaan P3K?” tanyaku lalu bangkit berdiri. Greyson mengangguk pelan, lalu menunjuk kotak yang berada di dalam sebuah lemari kecil. Maka langsung ku berjalan cepat untuk mengambil kotak itu dan membawanya kepada Greyson.

“Argh..” erang Greyson saat aku membasuh lukanya pelan. Aku tidak membalas dan lanjut memberinya perawatan kecil.

“Is it hurts?” tanyaku pelan saat membalut tangannya dengan perban.

Greyson mengangguk pelan, “Yeah, but I’m strong enough .” balasnya disambut tawa kecil. Aku hanya menggeleng mendengar ucapannya.

“Done.” Ujarku setelah selesai membalut tangan Greyson. Ku masukkan perban itu kembali ke kotaknya, dan menaruh ke lemari seperti semula. Aku kembali berjalan mendekat kepada Greyson yang masih menyender di tembok. Sorotan matanya kini mengarah kepadaku, bibirnya pun juga menyunggingkan seulas senyum.

“Kau berbakat menjadi seorang dokter sepertinya.” Ucapnya begitu aku duduk kembali di sisinya.

Aku terkekeh pelan. “Benarkah? Itu cita-citaku.” Balasku.

“Oh, baiklah Dokter.” Ujarnya. Keningku mengernyit mendengar panggilannya untukku. “Kalau kau yang jadi dokternya, mungkin aku akan terus menerus membiarkan diriku sakit agar bisa kamu rawat.”

Pipiku memanas dan tidak bisa kupungkiri itu. “Kau aneh dan kau harus tahu itu, oke?”

“Aku tahu itu, Dokter.”

Aku tertawa mendengar perkataannya. Sebenarnya bukan tertawa karena ada sesuatu yang lucu, tetapi tawa ini hanya untuk menutupi pipiku yang memerah akibat setiap perkataannya.

Aku bangkit dari duduk. “Kau tidak ingin beristirahat?” tanyaku kepada Greyson yang masih menyender di tembok. Ia mendesah, lalu menjulurkan tangannya ke arahku. Pandangannya membersi sorotan manja. Aku balas mendesah lalu menggapai tangannya dan menarik tubuhnya untuk berdiri. “Thank you, Doctor.”

Aku tersipu malu, lalu membalas “very welcome.”.

Kini Greyson duduk di sofa tepat berada di depan televisi. Aku pun ikut duduk di sebelahnya.

“Wanna?” tawar Greyson sambil memperlihatkan beberapa CD Film Harry Potter. Aku mengangguk mantap karena aku memang sangat menyukai film yang diperankan oleh Daniel itu. Film pun mulai terputar dan Greyson tidak mengalihkan pandangannya dari televisi. Ia tampak begitu serius menyaksikan adegan demi adegan yang terputar.

Sesekali aku menoleh memperhatikannya. Memperhatikan lekukan yang terdapat di wajahnya, melihat tingkah lakunya yang sesekali meneguk soda dan melahap makanan ringan. Greyson pun terkadang menoleh ke arahku dan memberikan sebuah senyum simpul.

“Boring?” tanyanya.

Aku menggeleng. “No, Greyson. I enjoy it.” jawabku. Greyson kembali tersenyum lalu ku rasakan tangannya bergerak menjalar di punggungku, merangkul ku pelan.

“My shoulder open for you. You can lay your head on it.” ujarnya. Aku mengangguk pelan, lalu menaruh kepalaku di bahunya dan kembali menyaksikan film.

Nafas Greyson sesekali membelai rambutku, menyajikan kehangatan yang mendalam dan menjalar ke tubuhku. Jemarinya yang merangkulku pun sesekali bergerak mengelus lenganku, menyajikan kenyamanan dan kelembutan yang mendalam. Juga senyum yang Ia berikan padaku di sela-sela film yang sedang terputar membuatku merasakan kedamaian.

Ponsel yang ada di sakuku tiba-tiba berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Aku berfirasat bahwa Kakak menghubungiku karena tidak memberinya kabar dimana aku berada, dan benar. Ia menghubungiku.

“Ya, Kak?” ucapku di awal pembicaraan.

“Ciel dimana? Kakak ke hotel nggak ada kamu.” Tanya Kakak yang nadanya terdengar panik.

“uh, um Ciel di rumah Greyson.” Jawabku jujur. Di ujung telepon ku dengar Kakak menghembuskan nafas berat. Ya ampun, aku sudah membuatnya khawatir.

“How many times I told you for not hang out with stranger?” tanyanya dengan sedikit tekanan di tiap kata.

“Greyson’s not a stranger. He’s my new friend.” Balasku membenarkan. Greyson sempat melihatku bingung di saat membawa namanya dalam sambungan telepon ini.

Terdengar lagi nafas berat yang Ia hembuskan di ujung sana. “Baiklah, terserah asal kamu baik-baik saja.”

“Aku baik-baik saja, Kakak nggak perlu terlalu khawatir.”

“Kalau begitu ajak Greyson ke penutupan pameran Kakak sore ini jam tujuh malam. Kakak ingin bertemu dengannya.”

“Oke, Kak.”

“Bye, take care.”

“Bye.”

Aku mendesah pelan dan menghembuskan nafas berat begitu sambungan telepon terputus. Greyson hanya melihatku bingung.

“Maaf kalau sudah membuat Kakak mu khawatir karena mengajakmu pergi tanpa izin.” Ujar Greyson.

Aku menggeleng pelan. “Bukan salahmu, ini salahku karena tidak meminta izin terlebih dahulu.” Balasku lalu kembali bersender di bahunya. “Nanti malam jam tujuh datang ya ke penutupan pameran Kakak, Ia ingin bertemu denganmu.”

“Benarkah?” tanyanya. Aku mengangguk mantap.

“Kau lapar?” Tanya Greyson pada akhirnya begitu film sudah terputar habis.

Aku mengangguk pelan, “Sepertinya, hehe.” Jawabku. Greyson bangkit dari sofa setelah mengacak rambutku, lalu pergi ke dapur yang masih terlihat dari ruang televisi ini. Aku bangkit lalu menyusulnya di dapur.

“Kau bisa masak?” tanyaku. Greyson yang sedang membuka lemari es menoleh ke arahku.

“Bisa.” Jawabnya singkat.

“Benarkah? Jarang loh ada lelaki yang bisa memasak. Ku kira hanya Ayah dan Kakak yang pandai dalam bidang seperti itu. Memangnya kau bisa memasak apa?”

Greyson terkekeh. “Mie instant.” Jawabnya ringan lalu mengambil dua bungkus mie instant dari dalam lemari es.

“Mie instant? Itu adalah masakan yang paling mudah kau tahu.”

“Aku tahu itu.” Balasnya lalu mulai memasak air untuk merebus mie.

“Janganlah makan mie instant terlalu banyak, itu sangat tidak baik untuk kesehatan. Dan jika ingin memakan mie instant, sebaiknya ditambahkan sayur-sayuran dan telur untuk menambah gizi.” Ucapku menasihati.

Greyson yang sedang membuka bungkus mie instant menoleh ke arahku lalu tersenyum. “Baik, Dokter.” Ujanya lalu memasukkan mie ke dalam air mendidih. Aku ikut membantu menyiapkan mangkuk, sedangkan Greyson bagian memasak. Greyson sesekali tertawa kecil tanpa sebab saat memasak. Setiap kali Ia seperti itu pasti aku bertanya apa yang membuatnya tertawa dan Greyson tidak menjawab pertanyaanku malah melainkan mengacak rambutku.

“Akhirnya!” Seru kami bersamaan saat menaruh mangkuk yang sudah berisi mie instant ini di meja tepat depan televisi.

Aku mulai mengaduk mie ini agar panasnya cepat berkurang. Sedangkan Greyson pergi mengambil air putih karena aku tidak memperbolehkannya untuk meminum soda. Soda itu sangat tidak baik untuk kesehatan.

“Kehidupanku mungkin akan menjadi lebih sehat selama berada di sisimu.” Greyson tersenyum ke arahku setelah berkata seperti itu.

Aku tertawa lalu melahap makanan ini pelan. “Kau tetap harus menjaga kesehatan walaupun aku tidak berada di sisimu.”

“Baik, Dokter!” Balasnya dengan ekspresi aneh beserta tangannya yang memberi hormat. Aku hanya bisa terkekeh melihat tingkahnya.

“Biar aku saja yang mencuci mangkuknya.” Ku ambil mangkuk yang sudah berisi kosong milik Greyson dan membawanya ke dapur untuk dibersihkan.

“Terima kasih, Dokter.” Bisiknya di saat aku sedang membilas mangkuk. Senyum mengembang di wajahku.

“Terima kasih juga atas masakan yang super sulitnya itu.” Balasku terkekeh.

“Kau mengejekku, ya.”

“Tidak, aku mengatakan yang sesungguhnya kok.” Aku tertawa, Greyson juga.

Aku kembali ke ruangan televisi setelah membersihkan mangkuk-mangkuk kotor. Tetapi Greyson tidak berada di depan televisi. Aku tidak melihatnya duduk di sofa.

“Greyson?” Panggilku. Tidak ada jawaban. Tetapi tak lama sebuah nada-nada kecil terdengar dari dalam sebuah ruangan. Aku berjalan mengikuti nada itu di sekitar rumah kayu kecil ini, hingga akhirnya aku berdiri tepat di depan pintu bertuliskan “The man who can't be moved?”

Aku masih berdiri di depan pintu ini hingga sebuah suara mengagumkan terdengar melantunkan sebuah lagu.

“Going back to the corner
where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag
I'm not gonna move..”

Ku buka pintu di depanku pelan dan terlihat Greyson yang sedang memainkan jemarinya di atas tuts piano yang berada tepat di depan jendela yang membuat angin masuk dengan mudahnya dan membuat rambutnya bergerak dengan indah. Aku tertegun dan berjalan maju beberapa langkah.

“Got some words on cardboard,
got your picture in my hand
saying, if you see this girl
can you tell her where I am?"

Senyum mulai mengembang di wajahku mendengar lantunan indahnya.

“Some try to hand me money,
they don't understand
I'm not broke, I'm just a broken hearted man.
I know it makes no sense
but what else can I do?
How can I move on
when I'm still in love with you?”

Greyson berhenti sejenak lalu mengambil nafas panjang dan kembali memainkan jemarinya.

“Cause if one day you wake up and find that you're missing me
and your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinkin maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on the corner of the street
So I'm not moving, I'm not moving...”

Aku kembali maju beberapa langkah mendekat agar bisa mendengar suara indahnya lebih jelas.

“Policeman says "son you can't stay here"
I said, "there's someone I'm waiting for If it's a day, a month, a year"
Gotta stand my ground even if
it rains or snows
If she changes her mind
this is the first place she will go.”

“Cause if one day you-” lantun Greyson yang terputus begitu melihatku di sisinya.

“-wake up and find that you're missing me
and your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinkin maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on the corner of the street
So I'm not moving, I'm not moving
I'm not moving, I'm not moving” lanjutku.

Greyson tersenyum lalu kembali memainkan jemarinya.

“People talk about the guy that's waiting on a girl
ohhh..
There are no holes in his shoes but a big hole in his world
ohhh..

Maybe i'll get famous
as the man who can't be moved
Maybe you wont mean to
but you'll see me on the news
And you'll come running to the corner
cuase you'll know it's just for you
I'm the man who can't be moved
I'm the man who can't be moved...”

Greyson menghentikan permainan pianonya, lalu menatapku dalam yang sedang berada di sampingnya.

“Can I get a warm hug? For now, please?” Pintanya. Aku mengangguk dan membungkukkan badanku. Memberinya sebuah pelukan hangat.

“Sure.” Bisikku.

Greyson memelukku erat. Isakan tak lama terdengar yang membuatku mempererat tubuhku walaupun diriku sendiri tidak mengetahui apa yang membuatnya terisak. Ku putuskan untuk tidak menanyakan perihal apa yang membuatnya seperti ini.

“Terima kasih.” Ujarnya setelah melepas tubuhnya dari eratanku. Aku hanya mengangguk.

Greyson sedang menunduk seperti sedang menerawang sesuatu yang aku tidak ketahui.

Ku putuskan untuk duduk di bibir kasur ruangan ini yang menurutku ruangan pribadinya.

Di dinding ruangan ini terdapat beberapa lemari buku kecil yang berisi banyak sekali buku tebal. Saat aku perhatikan dari dekat, ternyata buku-buku itu kebanyakan adalah novel. Tunggu, jadi Greyson suka membaca novel? Ini fenomena yang sangat jarang ku temui bahwa ada lelaki yang senang membaca novel.

Ia benar-benar bisa menjadi orang yang berbeda di setiap saat.

http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Skyfall (Part 10)


***

Mereka mulai mendekatiku jika biji-bijian yang ku tebar mulai habis, maka ku tebar lagi yang membuat mereka langsung berebutan.

Aku terkekeh melihat kelakuan mereka, dan tak lama sebuah sinar blits kamera menerpaku.

Aku menoleh, dan sudah ada Greyson dengan kameranya mengarah padaku. Senyum manis terpampang di wajahnya.

Menyadari senyum yang Ia berikan, aku ikut balas tersenyum. Greyson berjalan mendekat, lalu bersiap memfokuskan kamera miliknya ke arahku. Aku tersipu malu melihat tingkahnya, sekaligus merasa canggung harus berpose apa.
Akhirnya ku putuskan untuk tersenyum semanis mungkin menghadap ke lensa kameranya, dan tak lama kemudian blits kamera menyambarku.

Greyson menurunkan kameranya, lalu berjalan masuk ke dalam kerumunan burung di sekelilingku. Tangannya langsung menyambar pinggangku yang membuat diriku tertarik ke dekatnya.
Mata kami bertemu satu sama lain dan aku bisa merasakan nafas hangatnya membelai wajahku.
Bisa kurasakan kupu-kupu yang mulai kembali datang dan mengacaukan kendaliku. Berkali-kali aku menelan ludah, harus ku akui aku merasa canggung, senang, dan bingung harus melakukan apa.

Tak lama blits kamera menyambar kami yang masih saling bertatapan.
Oh, tidak. Ternyata sedari tadi tangan kiri Greyson memegang kamera dan mengarahkannya ke kami berdua.

Aku tiba-tiba menggeleng tanpa sebab dan melepas tatapannya.

Ini kah yang namanya salah tingkah?

Ku tutup wajahku menggunakan tangan. Menahan rasa malu yang ku alami, dan ku yakin pasti saat ini pipiku sudah sangat merah.

Ya Tuhan, apa yang baru ku alami sampai bisa membuatku salah tingkah seperti ini?

Ku buka jemari-jemari tanganku sedikit yang bisa menjadi celah untuk melihat Greyson. Dan, tidak ada Greyson di hadapanku.

Langsung ku buka tangan yang sedari tadi menutupi wajahku dan berbalik hingga tiba-tiba blits kamera menerpaku tepat saat aku berbalik.

“Greyson!!” Teriakku. Greyson balas tertawa sambil berlari meninggalkan. Aku mengejarnya berlari, dan di saat aku berlari Greyson lagi-lagi mengarahkan kameranya kepadaku yang menampilkan blits kamera.

Aku masih tertawa sambil mengejarnya hingga akhirnya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Greyson pun berhenti dan mendekat ke arahku.

“You okay?” Tanyanya lalu berlutut di depanku.

“Aneh. Kau sendiri liat kan kalau aku terjatuh, mana mungkin aku baik-baik saja, huh.” Balasku.

Greyson terkekeh, “aku kan hanya berpura-pura perhatian haha.” Ucapnya yang membuatku langsung berkenyit kening.

“Kau jahat.” Balasku lalu berdiri dan membersihkan lukaku.

“Hey, itu berdarah.” Ujar Greyson. Aku mendesah.

“Aku tahu itu, Grey.”

“Kau yakin tidak apa?”

“Tentu. Ini hanya luka biasa, kan.”

Greyson mengangguk, “tapi kau harus cepat-cepat membasuh luka itu dengan air, jangan sampai ada kuman yang masuk.” Ucapnya lalu meraih tangan kananku. “Akan ku antar kau ke suatu tempat indah untuk membasuh luka itu.” Lanjutnya.

Aku mengernyit, lalu tersenyum, dan hanya mengangguk mengikuti arahnya membawaku.

Ia bersikap manis.

***

“Menakjubkan.”

Satu kata terlontar dari mulutku begitu sampai di tempat yang Greyson maksud tadi. Aku menoleh ke arahnya yang sedang tersenyum.

“Ayo, cepat kita basuh lukamu!” Serunya sambil menarik tanganku untuk berjalan. Tetapi aku berhenti mendadak yang membuatnya bertanya.

“Kita?” Tanyaku mengoreksi perkataannya.

Greyson terlihat gugup dengan menggaruk lehernya yang tidak gatal itu, “um maksudku..um kan aku yang bikin kamu jatuh jadi um..ya aku harus ikut basuh luka kamu.” Jawabnya. Aku terkekeh lalu menepuk lengannya pelan.

Greyson membantuku untuk duduk di pinggir danau, lalu mengambil sebuah tissu dari sakunya. Bahkan aku bingung lelaki sepertinya membawa tissu dan ditaruh di sakunya.

“Pelan-pelan, Grey.” Ucapku begitu tissu yang sudah Ia basahi menyentuh lukaku.

“Tenang, aku tahu kalau ini perih.” Balasnya lalu tersenyum. Aku ikut tersenyum melihatnya yang masih membasuh lukaku.

Greyson merogoh sakunya lagi, lalu mengeluarkan sebuah plester luka, dan menempelkannya di lutut tepat lukaku berada.

“Sakumu seperti saku ajaib saja.” Ucapku diselingi tawa. Greyson ikut tertawa.

“Aku tidak mau kejadian masa lalu terjadi lagi, jadi aku selalu membawa benda-benda tadi kemana pun aku berada.”

“Kejadian masa lalu? Kejadian apa?” Tanyaku pelan.

Greyson menoleh ke arahku sekilas lalu kembali menatap ke hamparan air danau di depan. Matanya tampak mulai berkaca-kaca.

Tanganku bergerak ke punggungnya, lalu menepuknya pelan. “Tidak apa, tidak usah diceritakan. Aku mengerti keadaanmu saat ini walaupun aku tidak tahu apa yang membuat matamu berkaca-kaca seperti itu. Semua orang punya kejadian kelam masa lalu, Grey.” Ucapku.

Greyson mendesah. “Ya, aku tahu.” Balasnya.

“Life goes on.” Ujarku lagi. Greyson mengangguk pelan dan sebuah senyum kembali datang muncul di wajahnya.

“Boleh ku pinjam kameramu, Grey?” Tanyaku. Greyson mengangguk lalu mengeluarkan kamera yang sedari tadi dikalunginya.

“Terima kasih.” Balasku, Greyson hanya balas mengangguk dan tersenyum.

Aku bangkit dan berjalan ke sekeliling danau. Kemudian memotret beberapa angsa yang sedang asik bersantai di atas air. Sesekali aku menoleh ke arah Greyson yang masih di tempat semula, dan tangannya bergerak menghapus air mata yang sedari tadi mungkin sudah Ia tahan.

Aku mendesah melihatnya. Ia benar-benar bisa menjadi orang berbeda dalam hitungan detik.

Aku terus berjalan hingga bertemu dengan seorang anak lelaki yang sedang menangis dan mengarahkan pandangannya ke sebuah pohon besar. Aku pun menghampirinya.

“Halo, sayang. Kamu kenapa?” Tanyaku lembut.

Ia tidak menjawab karena nafasnya masih tidak teratur karena menangis, tetapi jemari telunjuk mungilnya mengarah ke dedaunan pohon besar itu. Oh, ternyata layang-layang miliknya tersangkut.

“Akan ku ambilkan tenang.” Ujarku lagi.

Aku bisa dibilang cukup ahli dalam bidang memanjat karena sejak kecil aku memang gemar memanjat pohon besar di depan rumah bersama kakak.

Tanganku meraih ranting terpendek, lalu bersiap untuk memanjat tetapi tiba-tiba ada tangan yang melingkar di pinggangku, dan dagunya menempel di bahuku.

“Lemme take that.” Bisiknya tepat di dekat telingaku. Aku membeku akibat nafas yang Ia lontarkan saat berbisik.

Lalu aku berbalik, dan terlihat Greyson yang sedang tersenyum sangat amat manisnya kepadaku. Kedua tangannya masih merangkul pinggangku erat dan kini mata kami bertemu.

Greyson kemudian melepas lingkarannya di pinggangku dan meraih ranting yang tadinya ku raih.

“Greyson, biar aku saja.” Pintaku. Greyson yang sudah mulai memanjat pohon menolehkan kepalanya dan menghadap ke arahku.

“No. I'm a guy.” Balasnya. Aku mendesah. Ia pikir hanya lelaki yang bisa memanjat pohon?

“Tapi aku bisa memanjat kau tahu.” Eluhku kesal. Greyson tidak membalas dan hanya melanjut memanjat pohon.

Selang waktu beberapa saat, Greyson melompat ke bawah dengan layang-layang anak tadi yang sudah berada di tangannya.

“Ah, you're good to climb my mind.” Ucap Greyson dengan tatapan matanya yang dalam padaku. Tatapan itu seketika membuatku membeku. Terdiam.

“Ini layang-layang mu.” Ujar Greyson sambil memberi layangan kepada anak tadi.

“Terima kasih, kak.” Balas anak itu.

“Sama-sama.” Greyson mengelus rambut anak lelaki itu.

“Kakak berdua terlihat lucu, cocok hihi.” Ujar anak itu sambil terkekeh. Mataku terbelalak begitu mendengar ucapan anak itu, sedangkan Greyson hanya terkekeh.

Greyson mendekat ke arahku begitu anak itu pergi. Ia memberiku tatapan flirty yang membuatku merasa sangat amat canggung, kemudian Ia mengambil sebuah pulpen dari sakunya.

Nah, benarkan saku itu seperti saku ajaib yang menyimpan berbagai macam hal.

Tangannya kemudian bergerak menulis sesuatu di telapak tangan kirinya. Setelah itu Ia kembali memasukkan pulpen ke dalam sakunya. Greyson kembali memberiku senyuman mautnya sebelum menunjukkanku kalimat yang Ia tulis tadi.




“Your hand here.” Itulah tulisan yang terdapat di telapak tangannya. Seketika desiran darahku bergerak cepat, jantungku berdegup lebih kencang, dan mungkin sekarang sudah ada ratusan kupu-kupu yang datang menghinggapi perutku.

“C'mon.” Ujarnya lagi. Aku tersenyum, lalu meraih tangannya. Greyson balas tersenyum begitu tanganku sudah berada di tempat yang Ia minta.

“I finally found my missing puzzle piece when your hand on mine.” Ucapnya berbisik. Aku hanya tersipu malu mendengar ucapannya.

***

“You must be kidding me.”

Greyson yang sudah duduk dengan nyaman di atas jok sepedanya malah tertawa, sedangkan aku hanya mengeluh karena Ia memintaku untuk duduk kembali di besi bagian depan sepedanya.

“Rumahku tidak terlalu jauh dari sini, Ciel. Tenang, tidak akan lama.” Ucap Greyson masih diselingi tawa. Aku mendengus kesal.

“Kau tidak berbohong, kan?” Tanyaku memastikan.

Greyson mengangguk mantap. “Sungguh, aku tidak bohong.”

Aku mendengus kesal lagi, lalu mulai duduk di besi bagian depan sepedanya.

“Be ready.” Ujarnya. Aku mengangguk pelan. Tak lama jemari Greyson mulai mengelus buku-buku jemariku lagi. Aku tersenyum. Harus ku akui bahwa aku menyukai sentuhan lembut jemarinya, tetapi tetap saja besi ini membuatku tidak nyaman.

Greyson mulai mengayuh sepedanya, tetapi baru beberapa saat mengayuh Ia berhenti yang sontak membuatku menoleh ke arahnya.

“Ada apa?” Tanyaku.

Greyson menggeleng, lalu mengeluarkan kameranya dan lensanya di arahkan ke kami berdua.

“Say cheese!” Serunya. Akupun menuruti dan blits kamera kembali menerpa kami.

“Now lets do a duck face.” Pinta Greyson lagi, aku tersenyum melihat bibirnya yang sudah benar-benar seperti bebek.

“One, two, three!”

Kami tertawa setelah itu. Kemudian Greyson kembali memberiku senyum beserta tatapan dalamnya itu, aku hanya diam merasa canggung, dan tak lama Greyson menggeleng tanpa sebab.

“Ah we need to go hehe.” Ucapnya salah tingkah, ku sadari itu karena akupun juga merasakan hal yang sama.

Greyson kembali mengayuh sepeda, dan aku masih berpegangan erat pada gagangnya atau bisa dibilang aku berpegangan erat pada Greyson? Oh tidak, aku malu mengakui ini.

Greyson menghentikan sepedanya begitu sampai di sebuah rumah sederhana yang ku rasa miliknya.

“Ayo.” Greyson lagi-lagi meraih tanganku, lalu mengajakku masuk ke dalam.

Pintu pun Ia buka, dan terlihatlah kondisi dalam rumahnya yang berantakan. Aku berjalan masuk ke dalam bersama Greyson, lalu Ia mempersilahkanku untuk duduk di sofa kecil ini sedangkan Ia bilang ingin mengambil minum.

Aku melihat keadaan sekeliling rumah yang dindingnya dari kayu ini. Ada berbagai macam foto tergantung. Aku pun beranjak untuk melihat foto-foto itu. Ada foto lima orang yang menurutku adalah keluarga Greyson, ada foto Greyson yang sedang tersenyum riang menatap ke kamera bersama seorang perempuan yang ku rasa adalah kakaknya, ada foto lelaki kecil yang terlihat seperti Greyson sedang berada di atas papan selancar, dan masih banyak foto lain.

Aku bergerak makin mengelilingi ruangan ini untuk melihat foto hingga sampai di pojok ruangan. Sebuah meja kecil di tempatkan di pojok ruangan beserta sebuah bingkai yang di geletakkan dan sengaja ditutup. Karena penasaran, ku ambil bingkai itu dan melihat foto yang terdapat di dalamnya.

Seorang perempuan dengan pakaian pantainya sedang merangkul Greyson. Mereka berdua saling memegang papan selancar dan tersenyum lebar bersama.

Aku menelan ludah. Tiba-tiba rasa sesak menghampiriku, dan aku tidak mengerti hal apa yang membuatku seperti ini. Foto tadi? Tidak tidak, untuk apa aku cemburu? Ah maksudku mengapa aku sesak karena melihat foto ini?

“Ciel?” Panggil Grey. Aku berbalik dan melihatnya yang sedang menaruh secangkir teh di atas meja. Spontan ku taruh bingkai tadi di tempat semula.

Greyson mendekat ke arahku. “Kau membuka bingkai itu?” Tanyanya. Ku gigit bibir bagian bawahku karena gugup.

“Ciel, kau melihatnya?” Tanyanya lagi.

Aku mendesah, “maaf aku lantang.” Balasku.

Greyson tersenyum tipis, lalu meraih sebuah tissu dan mengelap bingkai itu. Bingkai itu kemudian Ia kembalikan berdiri tegak, dan tak lama Ia membuang nafasnya berat.

“Kau menyukai selancar?” Tanyaku. Greyson seketika menoleh dan menggeleng.

“Tidak. Aku membenci berselancar.” Jawabnya.

Keningku mengernyit, “tetapi tadi ku lihat ada fotomu sedang berselancar.”

Greyson memejamkan matanya. Kini rahangnya mengeras, urat lehernya terlihat, gertakan giginya terdengar, dan tangannya mengepal. Aku terkaget melihatnya begitu sekaligus membuatku takut. Memang aku mengatakan hal yang sangat mengundang emosinya? Ku rasa tidak atau mungkin aku tidak mengetahui hal apa yang mengundang emosinya.

“Greyson..”

“Arghhh!!” Akhirnya sebuah pukulan mendarat di sofa yang berada di sampingnya. Jantungku berdegup amat kencang begitu pukulan itu mendarat, ku pikir Ia ingin memukulku.

Setelah memukul sofa itu, Greyson menjatuhkan dirinya ke lantai kayu ini. Aku yang melihatnya seperti itu langsung membantunya menyender di dinding. Ku rangkul tubuhnya yang menegang, berharap rangkulanku bisa membuatnya sedikit tenang.

Tangan Greyson masih mengepal dan berkali-kali memukul lantai. Aku hanya bisa memegang tangannya yang berkeringat erat, mengelusnya pelan, dan membuatnya sedikit tenang. Tak lama, Greyson mulai tenang dan kepalanya kini bersandar di bahuku. Degupan jantungnya yang cepat bisa ku dengar. Kini matanya mulai terpejam masih bersandar di bahuku.

“I hate this life.” Ujarnya pelan.

Aku mendesah, “me too. But we should love and live this life for a while, cause in one day we will leave this life.” Balasku.

Greyson membuka matanya perlahan, lalu melirik ku sekilas. “I love how you make me feel better.” Ucapnya.



***
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png