Mataku terus memperhatikan situasi di luar. Melihat orang-orang yang sedang asik berlalu lalang.
Lalu, mataku terbelalak begitu melihat seorang lelaki dengan jaket yang
menutupi rambut, tubuh, dan tangannya berjalan melewati kaca jendela di
sampingku. Ia seperti Greyson.
Bukan masalah bahwa Ia terlihat seperti Greyson yang membuat mataku
terbelalak bahkan sampai tersedak, tetapi lelaki itu sedang menghisap
sebatang rokok yang Ia pegang sembari berjalan. Itu yang membuatku
terbelalak bahkan tersedak.
Apa Ia benar Greyson atau hanya terlihat seperti Greyson?
Aku menatapnya sekali lagi dari balik kaca. Ia sudah mulai berjalan
menjauh. Maka aku langsung bangkit dan berlari keluar, untuk mengetahui
Ia Greyson atau bukan.
Hujan masih dengan derasnya, tetapi aku terus berlari mengikuti arah
lelaki yang menyerupai Greyson itu. Karena aku sendiri berlari di
trotoar halaman pertokoan jadi tubuhku tak terkena air hujan, begitu
juga lelaki itu.
“Greyson!” Teriakku pada akhirnya begitu jarak kami hanya beberapa meter.
Lelaki itu berbalik badan, masih terus menghisap rokok yang Ia pegang.
Bola matanya langsung bertemu dengan bola mata milikku, dan dari situ
aku mengetahui bahwa Ia benar-benar Greyson.
“Gre-greyson..” Ucapku pelan. Aku sangat yakin Greyson tidak bisa
mendengar ucapanku karena petir terus menggelegar di langit. Tetapi aku
yakin bahwa Greyson mengerti apa yang ku ucapkan dari gerak mulutku.
“Ciel,”
Aku mendengar Ia menyebut namaku. Dan aku juga mendengar langkah kakinya
mendekat kepadaku yang sedang berdiri terpaku melihatnya. Greyson
lantas membuat batang rokok yang sedari tadi Ia gunakan.
“Ciel, kamu ngapain?”
Aku masih diam terpaku. Mataku menatap kedua bola mata miliknya. Bola
mata cokelat yang terlihat sangat jernih. Sama sekali tidak
menggambarkan sosok aslinya yang ternyata liar.
“I thought, you were a good boy...” Ucapku pada akhirnya. Aku sempat
menunduk sejenak sebelum kembali menatapnya yang berada di hadapanku.
“...but I was wrong, Greyson.”
“Ciel..” Panggilnya lembut. Nafas hangatnya disela-sela hujan sangat
terasa menerpa tubuhku. Aku suka kehangatan itu. Tetapi begitu menyadari
bahwa bau rokok itu masih terdapat di dalam nafasnya, aku segera
mendorong tubuhnya menjauh.
“Selamat malam, bad boy.”
Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Kemudian, aku pun pergi
berlalu setelah menampilkan sebuah tatapan sinis kepadanya.
Sebenarnya sangat ingin untuk pergi berlari secepat mungkin menembus
hujan, tetapi kakiku tidak sanggup. Kakiku tidak sanggup untuk berlari.
Bahkan rasanya seperti sebuah bola besi menimpa badanku. Rasanya seperti
bukan air hujan.
“Ciel!”
Aku berbalik. Melihat tubuh Greyson yang berlari mendekat. Aku pun
memaksakan diri untuk berlari di tengah hujan walaupun sebenarnya tidak
sanggup. Yang ku ingin saat ini hanyalah tidak menatap wajahnya dan
tidak menghirup aroma dari nafasnya. Hanya itu.
Tetapi salah, seharusnya aku tidak memaksakan diri. Pandanganku semakin
lama semakin kabur, kakiku semakin lemas, nafas ku terasa amat sesak,
dan badanku terasa membeku.
Aku tahu, seharusnya aku tidak memaksakan diri untuk berlari.
***
Ku buka mataku perlahan. Jemari tanganku juga ikut bergerak meraih
selimut yang memelukku dan melepasnya. Ku kedipkan mataku berkali-kali
untuk memperjelas pandanganku, dan kini aku menyadari bahwa sudah berada
di atas kasur hotel.
“Kakak?”
Berkali-kali ku serukan namanya, tetapi batang hidungnya tak juga
muncul. Sampai ku temui secarik kertas di atas meja yang ditempelkan di
gelas berisikan susu hangat.
“Bonjour! Maaf kakak pagi ini sudah pergi meninggalkan mu sendiri. Hari
ini kan pameran terakhir kakak untuk tahun ini, jadi kakak harus bersiap
di galeri sejak pagi. Tak apa, kan? Lagipula besok kakak sudah bebas,
bisa menemanimu berlibur. Je t'aime, sayang :]”
Aku tidak terlalu terkejut lagi. Ini sudah terjadi berulang kali
belakangan ini. Aku tahu bahwa Ia memang sangat sibuk dengan
pekerjaannya.
Ku raih segelas susu hangat itu, lalu meneguknya cepat. Setelah gelas
itu habis tak tersisa, ku raih ponsel yang tepat di samping gelas tadi.
1 pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
“Bonjour :) -bad boy”
Aku mengernyitkan dahi.
Bad boy?
Otakku terus berfikir, sampai akhirnya aku menyadari apa yang sudah terjadi malam tadi.
Greyson. Ya, bad boy. Tetapi kami tidak pernah bertukar nomor ponsel. Jika benar Greyson, darimana Ia mendapatkan nomorku?
Aku mencoba untuk membiarkan pesan singkat itu. Bersikap tak peduli. Padahal dalam hati aku sangat bertanya-tanya siapa dia.
Biarlah, daripada lelah berfikir hanya karena pesan itu, lebih baik aku pergi membersihkan diri.
Setelah mandi, aku hanya memakai sebuah kaus dan celana pendek yang
nyaman hanya untuk bermalasan di kamar. Kemudian kembali membuka
Skyfall.
“Dear, Skyfall..
Hari ini adalah hari keempat ku di Bali, dan ada cukup banyak hal yang harus ku ceritakan padamu.
Kau tahu, kemarin saat aku sedang menulismu di pantai Ia datang begitu
saja dan membaca kalimat terakhir yang ku tuliskan di atasmu. Dan dengan
pedenya Ia berkata bahwa aku menuliskan tentang dirinya.
Skyfall, apa menurutmu kepedeannya itu benar?
Ya ya, aku mengakui bahwa kemarin memang aku menulis berbagai macam
tentang dirinya. Karena memang hanya objek tentang dirinya yang bisa ku
tulis, tidak ada yang lain.
Menuliskan tentang kakak? Tidak mungkin.
Aku tidak menghabiskan waktu bersamanya belakangan ini. Dan nyatanya memang hanya Greyson lah satu-satunya objek yang ku punya.
Kau tahu, kemarin Greyson mengajakku pergi ke kedai ice cream. Ternyata
Ia punya kegemaran yang sama sepertiku yaitu memakan ice cream. Ia juga
sempat bilang bahwa tantenya mempunyai sebuah kedai ice cream di sana,
dan Ia suka memakan ice cream di kedai tantenya secara diam-diam. Licik,
ya?
Oiya, kami juga sempat membuat suatu perjanjian yaitu “tiada hari tanpa
foto”. Aku tidak tahu mengapa Greyson bisa berfikir seperti itu. Tetapi
saat ku tanya, Ia menjawab bahwa foto itu untuk kenang-kenangan.
Menurutku, janji itu sepertinya asik.
Tetapi ada satu hal yang membuatku kecewa padanya. Kemarin ku temui
dirinya sedang menghisap sebatang rokok sambil berjalan. Ku kira Ia
lelaki yang baik, tetapi aku salah. Ia liar.
Apa kau berfikiran yang sama sepertiku, Skyfall?
Menganggapnya liar?
-Cielyta ☮”
Ku taruh pulpen di atas halaman buku. Lalu mengamati langit-langit
kamar, dan bayangan Greyson tadi malam saat sedang menghisap rokok
datang.
Aku benar-benar tak habis fikir bahwa Ia ternyata seperti itu.
Aku menghela nafas panjang, kemudian berjalan ke balkon.
Ku taruh kedua tanganku di pagar pembatas.
Rambutku melayang di udara karena terpaan angin.
Burung-burung yang sedang berterbangan di langit pun terlihat jelas dari sini.
Aku tersenyum lebar. Membayangkan jika aku bisa terbang dengan bebasnya
di langit seperti mereka. Melihat pemandangan yang ada di bawah sembari
terbang. Pasti sangat mengasikkan.
Kaki ku kembali melangkah masuk ke dalam, kemudian membaringkan diri di atas kasur.
Baru sesaat berbaring, sebuah ketukan dari luar pintu terdengar. Aku
sempat menghela nafas panjang sebelum bangkit dan membuka pintu.
Akhirnya pintu terbuka, dan tubuh seseorang yang telah mengetuk pintu tadi terlihat dengan jelas.
Spontan langsung ku tutup pintu kembali begitu mengetahui bahwa Ia lah yang mengetuk.
“Ciel, kenapa ditutup?” Teriaknya dari luar sambil mengetuk pintu.
“Kau itu liar! Ayah melarangku untuk berteman dengan orang liar
sepertimu.” Balasku tak kalah kencangnya. Badanku masih tersender di
pintu, kemudian ku dengar Ia menghela nafas.
“Iya aku memang liar. Tetapi asal kamu tahu, aku ngelakuin itu hanya jika aku sedang stress, Ciel.”
Aku terdiam sejenak. Lalu ku dengar Ia berbisik pelan, “Ciel, ayolah. Kemarin aku sedang benar-benar stress.”
Aku menelan ludah kemudian mulai berhenti bersandar di pintu.
“Jangan-jangan kau stress setiap hari.” Balasku dengan tawa yang dibuat-buat.
Ku dengar Ia menghela nafas lagi. “Kau tidak jadi berkunjung ke rumahku?” Tanyanya pelan.
Aku teringat akan janjinya kemarin yang akan mengajakku berkunjung ke kediamannya.
Akhirnya ku buka pintu, dan sosoknya kini sedang melutut di hadapanku
dengan tangan kanannya yang menggenggam segelas ice cream di arahkan
kepadaku.
“Ice cream?” Tawarnya masih berlutut. Aku hanya mengernyitkan kening dan menatapnya dengan penuh tanya.
“Ayolah, Ciel. Aku tahu kau tidak bisa menolak ini.” Tawarnya lagi dengan meninggikan salah satu alisnya.
Aku menggeleng. “Tidak, cowo liar. Segelas ice cream tidak cukup.”
Balasku tak kalah.
Padahal sejujurnya aku tidak sanggup melihat segelas
ice cream berukuran besar di genggamannya.
Greyson bangkit dan berdiri di hadapanku.
“Bagaimana kalau ditambah dengan sebuah tumpangan ke tempat yang mengagumkan?” Tawarnya.
***
“Konyol.”
Aku mengernyitkan kening, lalu memandangi sebuah sepeda yang Greyson gunakan untuk pergi mengunjungiku di hotel.
Kau tahu mengapa aku mengernyitkan kening? Karena Greyson memintaku untuk duduk di bagian depan sepedanya.
Iya aku tahu, tadi Ia sempat menawariku sebuah tumpangan ke tempat yang
mengagumkan baginya. Tetapi saat mengetahui bahwa aku ditawari tumpangan
untuk duduk dibagian depan sepedanya, aku menolak.
“Ayolah, Ciel. Aku sudah berpengalaman dalam menaiki sepeda.” Seru Greyson yang sudah duduk dengan nyaman di atas jok sepedanya.
Aku menoleh, “ya tapi, nanti aku bisa jatuh jika harus duduk di bagian depan seperti itu.” Balasku.
Greyson meraih tanganku. “Tidak akan. Trust me, kay?” Ujarnya.
Aku terdiam, lalu menatap bola mata cokelat miliknya. Bayangan wajahku tergambar di bola mata itu.
“Aku tidak percaya dengan lelaki liar sepertimu. Lebih baik aku berjalan
kaki.” Balasku kemudian berjalan lurus. Padahal diriku sendiri tidak
tahu tempat apa yang Ia maksud.
Aku mendengar Greyson menghela nafas panjang, lalu berucap pelan. “Lihat
saja, Ciel. Kau pasti tidak sanggup berjalan, berlari sebentar saja
tidak sanggup.”
Langkahku langsung terhenti dan menoleh ke belakang. “Lihat saja nanti.” Ujarku lalu kembali berjalan.
Greyson terkekeh di belakang, “akan ku lihat.”
***
“I told ya,”
Greyson meledekku. Aku hanya mencibir ledekannya yang tidak berhenti sedari tadi.
Ya, setelah berjalan kira-kira lima menit tadi nafasku sudah tidak
beraturan. Bahkan langkah kakiku tadi sudah tergopoh-gopoh. Hingga
akhirnya aku terpaksa mengalah dan duduk di besi sepeda bagian depannya.
Cukup berbahaya memang. Tetapi mau bagaimana lagi? Sepeda milik Greyson
tidak menyediakan jok di bagian belakangnya.
“I told ya, Ciel. Kau tidak akan sanggup.”
Greyson kembali meledekku. Bahkan di akhir ucapannya Ia meniup leherku yang alhasil membuat rambutku terhempas udara mulutnya.
“Jangan ditiup! Aku gak mau asap rokokmu itu mengenai kulitku.”
“Ciel, lupakan kejadian semalam ku mohon.”
“Tidak akan, bad boy.”
“Aku tidak seliar yang kau fikir. Seperti yang sudah ku katakan sebelumnya, kemarin aku sedang stress berat.”
Aku terdiam sejenak, kemudian menolehkan kepalaku sedikit agar tidak menutupi pandangannya terhadap jalan.
“Memangnya kau stress kenapa?” Tanyaku pelan, takut jika pertanyaanku terlalu mengarah ke privasi kehidupannya.
Hening.
Greyson tidak menjawab pertanyaanku, dan aku mencoba untuk tidak
bertanya lagi. Karena aku tahu, pertanyaanku tadi mungkin memang terlalu
mengarah ke privasi hidupnya.
Greyson terus mengayuh sepedanya, dan aku masih terus duduk dengan tidak
nyamannya di besi ini. Kedua tanganku memegang erat gagang sepeda yang
membuat sesekali tanganku bertemu dengan tangan miliknya, dan Greyson
menaruh jemarinya di atas tanganku. Mengelus buku-buku jariku lembut.
Ku rasa, kupu-kupu ini datang lagi.
Selang beberapa waktu, Greyson menghentikan kayuhannya kemudian
menyuruhku turun. Kami berhenti di pinggir jalan yang membuatku
berfikir, Inikah tempat mengagumkan yang Ia maksud?
“Bukan tempat ini yang ku maksud.” Ujarnya seakan bisa membaca pikiranku.
“Lalu?” Tanyaku.
“I need to close your eyes,” Ia berjalan ke belakang, lalu menutup kedua mataku perlahan. “..it would be a little surprice.”
---
Thats all about part 8!
Oiya berhubung gue udah kelas 9 dan mau ujian, jadi kayaknya gue bakal jarang ngepost gls deh.
Jadi maaf banget ya kalo nanti bakal buat kalian nunggu lama.
But thanks for read, laffyaah♡
-chanda
No comments:
Post a Comment