Thursday, January 3, 2013

Skyfall ( Part 7 )

Aku menatap Greyson yang sedang menatap lurus ke depan. Matanya tampak berkaca-kaca dan redup. Tidak seperti biasa yang selalu menampilkan cahaya disela-sela bola mata cokelat itu.



“Kau ada masalah apa dengannya?” Tanyaku. Kini Greyson mengalihkan pandangannya ke wajahku. Tak lama ku sadari setetes air mata jatuh yang langsung Ia hapus sendiri.



Greyson menarik nafas panjang, lalu menatapku lagi dengan tatapan lebih dalam.



“Kau yakin ingin mendengarnya?”



Aku mengangguk mantap. “Tentu. Aku akan mendengarkan masalahmu. Mungkin, aku bisa membantumu.”



Greyson mengalihkan pandangannya dari wajahku.



“Tetapi, aku belum sanggup untuk bercerita. Bukan sekarang waktu yang tepat, Ciel.”



Aku menepuk bahunya pelan. “Baiklah, jangan dipaksa.”



Sesaat kemudian sebuah senyum timbul di wajahnya.



“I love your blue sky eyes, it reminds me of someone.”



Aku tersenyum begitu mendengar pujiannya walaupun sedikit terenyak begitu mendengar bahwa bola mata milikku ini mengingatkannya akan seseorang. Rasanya seperti ada yang mengganjal di dadaku. Seperti ada sesuatu yang menepuk dadaku dengan kencang dari belakang, sesak, dan perih.



Apakah hatinya sudah terisi oleh seseorang yang memiliki bola mata sepertiku? Pikirku dalam hati.



Tunggu, ini bodoh.

Untuk apa aku berfikir seperti itu? Toh, aku dan Greyson baru kenal beberapa hari yang lalu.



“Mengingatkan siapa?” Tanyaku memberanikan diri. Mataku menatapnya hati-hati.



Lalu Greyson menatapku dengan kerutan yang Ia buat di dahinya, tak lama Ia kembali menatap hamparan laut luas di depan kami. Tatapan kosong, Ia seperti sedang menerawang dunia lain. Dunia yang tidak bisa ku terawang.



“Sekarang jam berapa?” Tanyanya kemudian. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang ku lontarkan, bahkan Ia malah balik bertanya.



Aku mencoba untuk mengerti. Mungkin pertanyaanku tadi sedang tidak ingin Ia jawab, atau mungkin pertanyaan itu sangat pribadi di matanya. Aku tidak tahu, aku hanya akan mencoba untuk mengerti. Seiring waktu berjalan, Ia pasti akan menjelaskannya. Aku yakin akan hal itu.



“Empat. Sudah jam empat sore, ada apa?” Jawabku.



Greyson hanya membalas dengan gumaman 'mmm'nya. Sedangkan kakinya bergerak memecah ombak kecil yang mendekati kami. Menciptakan sebuah gemericik air.



“Kau tinggal dimana?” Tanyaku memecah keheningan.



Greyson menoleh yang lalu disambung dengan kekehan lembutnya. “Sangat ingin tahu?”



Wajahku berubah menjadi murung, walaupun itu hanya sekedar buatan untuk bercanda. Greyson meninju lenganku pelan begitu melihat ekspresi yang ku buat.



“Kau ingin berkunjung?” Tanyanya. Aku mengangguk mantap. Greyson menepuk punggungku pelan yang dilanjut tawa kecilnya.



“Jangan sekarang,” ujarnya. Wajahku memurung lagi. “Hehe, bagaimana kalau esok? Dimana hotel mu? Biar besok bisa ku jemput, kau tidak perlu menungguku di pantai dan menulis tentang diriku di buku itu lagi.”



Aku tersentak mendengar ucapannya yang kelewat percaya diri. Sampai sebuah tinjuan kecil melayang di punggung lengannya, lumayan untuk membalas tinjuannya sedari tadi.



“Lain kali, jangan terlalu percaya diri, Greyson. Bisa-bisa kau jatuh.” Balasku.



“Kau akan menangkapku kan bila terjatuh?” Ujarnya. Entah, ucapannya membuat jantungku berdegup lebih kencang, darahku berdesir dengan cepat, dan kupu-kupu terasa bertebangan di dadaku. Ya Tuhan, Greyson mudah sekali membuatku seperti ini.



Ku tutupi kupu-kupu yang sedang berterbangan di perutku ini dengan sebuah tawa yang cukup kencang. Membiarkan agar Greyson tidak menyadari apa yang sedang melanda jantung, darah, dan perutku.



“Kau itu berat, kau lelaki, mana mungkin aku menangkapmu? Kau aneh, Greyson.”



“Baiklah, bagaimana kalau aku yang menangkapmu? Aku yang akan bersedia menangkapmu di bawah jika kau terjatuh. Kau setuju?”



Lagi-lagi degupan jantungku bertambah kencang, desiran darahku menambah kecepatannya, dan kupu-kupu semakin banyak datang menghampiri dan bermain-main di perutku. Kau berhasil Greyson, kau melakukan ini dengan mudahnya.



“Setuju.”



***



“Selamat malam.”



Ia melambaikan tangan kanannya, beserta sebuah senyuman simpul di wajahnya yang mampu membuat kupu-kupu tadi hinggap lagi di perutku. Ku rasa mereka betah membuatku kacau dengan kepakan sayapnya itu.



Aku balas melambai dengan sebuah gerakan mulut “selamat malam juga” yang tidak menimbulkan suara. Lalu membuka pintu kamar hotel, dan memberi sebuah lambaian kecil kepada Greyson yang berdiri di depan pintu.



“Besok akan ku jemput di depan sini.” Ujarnya sebelum pintu ku tutup seutuhnya. Aku hanya mengangguk pelan dan membentuk jemari tanganku menjadi O.K. Kemudian menutup pintu sepenuhnya yang membuat bayangan Greyson tak terlihat lagi.



Ku senderkan badanku di depan pintu, kemudian menarik nafas panjang sembari menutup mata. Bayangan Greyson dengan kelakuannya sehari-hari ini terputar di otakku seiring ku hembuskan nafas perlahan. Candaannya, tawanya, senyumnya, semuanya terputar jelas. Bahkan, saat setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya masih terlihat jelas di pikiranku.



Mataku tiba-tiba terbuka lebar. Menyadari hal konyol yang baru saja ku lakukan.

Untuk apa aku memikirkannya? Memikirkan tingkah lakunya hari ini? Lagipula itu tidak ada untungnya sama sekali. Sangat tidak ada.



Aku berjalan dan menjatuhkan diriku di atas kasur. Menatap langit-langit kamar putih, dan tiba-tiba otakku menampilkan bayangan Greyson. Maka langsung ku tepuk jidadku berkali-kali, agar bayangan itu hilang.



Ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk. Aku bangkit dan melihat ponselku yang berada di atas meja kecil tepat di sebelah kasur.



“Kakak tidak bisa menemanimu makan malam, Ciel. Maaf ya, soalnya ada rapat untuk penutupan pameran besok. Kamu bisa ke restaurant yang ada di dekat hotel sendiri, kan?”



Aku menghela nafas.

Selalu saja ada yang menghalangi aku dan kakak untuk menghabiskan waktu bersama selama di Bali. Rasanya seperti hanya aku yang berlibur.



Ku raih ponselku lalu mengambil jaket yang tidak terlalu tebal untuk menghangatkan tubuhku. Jam memang masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, tetapi cuaca sudah terasa sangat dingin dan mendung ditambah dengan angin laut yang cukup kencang.



Ku hela nafas sekali lagi sebelum membuka pintu kamar hotel, lalu berjalan pelan dengan kedua tanganku yang dimasukkan ke dalam saku.



Akhirnya aku sampai di bawah setelah turun melalui lift. Beberapa orang yang ada di meja resepsionis menyapaku hanya untuk sekedar mengucapkan selamat malam, mereka memang sangat ramah.



Suara petir terdengar menggelegar disaat aku baru saja ingin melangkah keluar dari gedung ini. Suara itu sempat membuatku ingin mengurungkan niat untuk pergi, tetapi perutku meronta-ronta. Mengingatkan bahwa aku memang sedang sangat lapar. Maka mau tidak mau aku harus memaksakan diri melangkahkan kaki untuk mencari tempat mengisi perut terdekat.



Langit terlihat sangat gelap. Aku yakin jelas bahwa rintik-rintik air hujan akan jatuh sebentar lagi. Aku sangat yakin dalam hal itu bahkan dalam hitungan detik hal itu bisa dengan mudah bisa terjadi mengingat petir yang terus menggelegar.



Tanganku masih mengumpat di balik saku jaket. Sedangkan mataku berkeliaran mencari tempat makan terdekat.



Tak terasa tetes demi tetes air hujan mulai membasahi tubuhku. Aku mendangak, memandangi langit gelap yang sedang menangis, dan kini aku kembali teringat akan dirinya.



Apakah dirinya di atas sana sedang menangis dan air matanya jatuh membasahi bumi?



Aku menelan ludah, lalu memandang taman rerumputan kecil yang berada di sisi kananku. Sebuah taman di pinggir jalan yang indah.



Kini, mataku menerawang tentang kehidupanku di masa lalu. Kehidupan di beberapa tahun yang lalu.



---



Aku merengkuh di dalam pelukan hangatnya, sedangkan jemari tangannya menyusuri rambut panjangku.



“Langit malam ini indah.” Ujarku. Masih merengkuh dan bermalasan di dalam dekapannya. Merengkuh di atas permadani hijau dengan sinar bulan yang menghangatkan kami.



Ia membalas tersenyum, semakin mengeratkan dekapannya, lalu jemari telunjuknya menunjuk ke atas. Ke hamparan langit gelap di atas kami.



“Langit memang sangat indah apalagi ditambah oleh kerlipan bintang-bintang yang menambah pesona kecantikannya.”



Aku mengangguk, menyetujui ucapannya, dan bergerak mempererat rengkuhan ini lagi.



“Langit itu hebat, loh. Ia selalu menyaksikan kita di atas, memperhatikan tingkah laku kita. Bahkan, langit bisa membawa dan mengingatkan kita berjuta-juta memori atau kenangan yang terlupa.”



Aku menatapnya, memberikan perhatian terhadap apa yang sedang Ia jelaskan.



“Langit selalu menyaksikan kita saat sedang menangis, tertawa, dan tersenyum sekalipun. Ia tidak akan pernah pergi, karena Ia akan selalu menemani.”



Aku mengangguk pelan, masih merengkuh di dekapannya.



“Mau tahu sebuah rahasia kecil?” Tawarnya.



Aku mengangguk mantap. Ia pun mendekatkan bibirnya ke telingaku.



“Langit bisa menghubungkan seseorang yang sedang tidak bersama kita dengan diri kita sendiri.” Bisiknya tepat di telingaku.



Aku termenung sejenak, “benarkah?” Tanyaku memastikan.



Ia balas mengangguk.



---



Aku menggeleng, mencoba menyadarkan diriku yang sedang asik menerawang masa lalu. Kini ku sadari tubuhku mulai basah, maka langsung ku berlari mencari tempat untuk berteduh secepatnya.



Aku berteduh di depan sebuah restaurant cepat saji. Ku gosokkan kedua telapak tanganku agar menimbulkan kehangatan sebelum masuk ke dalam restaurant yang ku yakin menggunakan fasilitas pendingin ruangan.



Kakiku mulai melangkah masuk, dan benar dinginnya udara dalam ruangan menusuk tulangku. Tetapi lagi-lagi perutku meronta mengingatkan.



Ku langkahkan kaki menuju meja yang berada di pojok ruangan tepat di sebelah jendela beserta sebuah burger, kentang goreng, dan segelas soda tertadang di nampan yang ku bawa. Langsung ku taruh nampan itu di atas meja dan duduk tepat di pojok ruangan. Meja yang berada di pojok memang selalu istimewa di mataku. Rasanya meja itu selalu menyajikan kenyamanan yang berlebih, apabila ditambah dengan jendela kaca yang memudahkan untuk melihat situasi di luar.



Aku mulai melahap makanan milikku dan sesekali meminum soda untuk memudahkan proses masuknya makanan.



Mataku terus memperhatikan situasi di luar. Melihat orang-orang yang sedang asik berlalu lalang.



Lalu, mataku terbelalak begitu melihat seorang lelaki dengan jaket yang menutupi rambut, tubuh, dan tangannya berjalan melewati kaca jendela di sampingku. Ia seperti Greyson.



Bukan masalah bahwa Ia terlihat seperti Greyson yang membuat mataku terbelalak bahkan sampai tersedak, tetapi lelaki itu sedang menghisap sebatang rokok yang Ia pegang sembari berjalan. Itu yang membuatku terbelalak bahkan tersedak.



Apa Ia benar Greyson atau hanya terlihat seperti Greyson?





---



That's all about part 7!

Hope you guys love it!

Dont be a secret reader, guys ;)

Thanks for read, chanda.

No comments:

Post a Comment