“Kau ada
masalah apa dengannya?” Tanyaku. Kini Greyson mengalihkan pandangannya ke
wajahku. Tak lama ku sadari setetes air mata jatuh yang langsung Ia hapus
sendiri.
Greyson
menarik nafas panjang, lalu menatapku lagi dengan tatapan lebih dalam.
“Kau yakin
ingin mendengarnya?”
Aku
mengangguk mantap. “Tentu. Aku akan mendengarkan masalahmu. Mungkin, aku bisa
membantumu.”
Greyson
mengalihkan pandangannya dari wajahku.
“Tetapi,
aku belum sanggup untuk bercerita. Bukan sekarang waktu yang tepat, Ciel.”
Aku
menepuk bahunya pelan. “Baiklah, jangan dipaksa.”
Sesaat
kemudian sebuah senyum timbul di wajahnya.
“I love
your blue sky eyes, it reminds me of someone.”
Aku
tersenyum begitu mendengar pujiannya walaupun sedikit terenyak begitu mendengar
bahwa bola mata milikku ini mengingatkannya akan seseorang. Rasanya seperti ada
yang mengganjal di dadaku. Seperti ada sesuatu yang menepuk dadaku dengan
kencang dari belakang, sesak, dan perih.
Apakah
hatinya sudah terisi oleh seseorang yang memiliki bola mata sepertiku? Pikirku
dalam hati.
Tunggu,
ini bodoh.
Untuk
apa aku berfikir seperti itu? Toh, aku dan Greyson baru kenal beberapa hari
yang lalu.
“Mengingatkan
siapa?” Tanyaku memberanikan diri. Mataku menatapnya hati-hati.
Lalu
Greyson menatapku dengan kerutan yang Ia buat di dahinya, tak lama Ia kembali
menatap hamparan laut luas di depan kami. Tatapan kosong, Ia seperti sedang
menerawang dunia lain. Dunia yang tidak bisa ku terawang.
“Sekarang
jam berapa?” Tanyanya kemudian. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang ku
lontarkan, bahkan Ia malah balik bertanya.
Aku
mencoba untuk mengerti. Mungkin pertanyaanku tadi sedang tidak ingin Ia jawab,
atau mungkin pertanyaan itu sangat pribadi di matanya. Aku tidak tahu, aku hanya
akan mencoba untuk mengerti. Seiring waktu berjalan, Ia pasti akan
menjelaskannya. Aku yakin akan hal itu.
“Empat.
Sudah jam empat sore, ada apa?” Jawabku.
Greyson
hanya membalas dengan gumaman 'mmm'nya. Sedangkan kakinya bergerak memecah
ombak kecil yang mendekati kami. Menciptakan sebuah gemericik air.
“Kau
tinggal dimana?” Tanyaku memecah keheningan.
Greyson
menoleh yang lalu disambung dengan kekehan lembutnya. “Sangat ingin tahu?”
Wajahku
berubah menjadi murung, walaupun itu hanya sekedar buatan untuk bercanda.
Greyson meninju lenganku pelan begitu melihat ekspresi yang ku buat.
“Kau
ingin berkunjung?” Tanyanya. Aku mengangguk mantap. Greyson menepuk punggungku
pelan yang dilanjut tawa kecilnya.
“Jangan
sekarang,” ujarnya. Wajahku memurung lagi. “Hehe, bagaimana kalau esok? Dimana
hotel mu? Biar besok bisa ku jemput, kau tidak perlu menungguku di pantai dan
menulis tentang diriku di buku itu lagi.”
Aku
tersentak mendengar ucapannya yang kelewat percaya diri. Sampai sebuah tinjuan
kecil melayang di punggung lengannya, lumayan untuk membalas tinjuannya sedari
tadi.
“Lain
kali, jangan terlalu percaya diri, Greyson. Bisa-bisa kau jatuh.” Balasku.
“Kau
akan menangkapku kan bila terjatuh?” Ujarnya. Entah, ucapannya membuat
jantungku berdegup lebih kencang, darahku berdesir dengan cepat, dan kupu-kupu
terasa bertebangan di dadaku. Ya Tuhan, Greyson mudah sekali membuatku seperti
ini.
Ku
tutupi kupu-kupu yang sedang berterbangan di perutku ini dengan sebuah tawa
yang cukup kencang. Membiarkan agar Greyson tidak menyadari apa yang sedang
melanda jantung, darah, dan perutku.
“Kau itu
berat, kau lelaki, mana mungkin aku menangkapmu? Kau aneh, Greyson.”
“Baiklah,
bagaimana kalau aku yang menangkapmu? Aku yang akan bersedia menangkapmu di
bawah jika kau terjatuh. Kau setuju?”
Lagi-lagi
degupan jantungku bertambah kencang, desiran darahku menambah kecepatannya, dan
kupu-kupu semakin banyak datang menghampiri dan bermain-main di perutku. Kau
berhasil Greyson, kau melakukan ini dengan mudahnya.
“Setuju.”
***
“Selamat
malam.”
Ia
melambaikan tangan kanannya, beserta sebuah senyuman simpul di wajahnya yang
mampu membuat kupu-kupu tadi hinggap lagi di perutku. Ku rasa mereka betah
membuatku kacau dengan kepakan sayapnya itu.
Aku
balas melambai dengan sebuah gerakan mulut “selamat malam juga” yang tidak
menimbulkan suara. Lalu membuka pintu kamar hotel, dan memberi sebuah lambaian
kecil kepada Greyson yang berdiri di depan pintu.
“Besok
akan ku jemput di depan sini.” Ujarnya sebelum pintu ku tutup seutuhnya. Aku
hanya mengangguk pelan dan membentuk jemari tanganku menjadi O.K. Kemudian
menutup pintu sepenuhnya yang membuat bayangan Greyson tak terlihat lagi.
Ku
senderkan badanku di depan pintu, kemudian menarik nafas panjang sembari
menutup mata. Bayangan Greyson dengan kelakuannya sehari-hari ini terputar di
otakku seiring ku hembuskan nafas perlahan. Candaannya, tawanya, senyumnya,
semuanya terputar jelas. Bahkan, saat setetes air mata jatuh dari pelupuk
matanya masih terlihat jelas di pikiranku.
Mataku
tiba-tiba terbuka lebar. Menyadari hal konyol yang baru saja ku lakukan.
Untuk
apa aku memikirkannya? Memikirkan tingkah lakunya hari ini? Lagipula itu tidak
ada untungnya sama sekali. Sangat tidak ada.
Aku
berjalan dan menjatuhkan diriku di atas kasur. Menatap langit-langit kamar
putih, dan tiba-tiba otakku menampilkan bayangan Greyson. Maka langsung ku
tepuk jidadku berkali-kali, agar bayangan itu hilang.
Ponselku
bergetar menandakan ada pesan masuk. Aku bangkit dan melihat ponselku yang
berada di atas meja kecil tepat di sebelah kasur.
“Kakak
tidak bisa menemanimu makan malam, Ciel. Maaf ya, soalnya ada rapat untuk
penutupan pameran besok. Kamu bisa ke restaurant yang ada di dekat hotel
sendiri, kan?”
Aku
menghela nafas.
Selalu
saja ada yang menghalangi aku dan kakak untuk menghabiskan waktu bersama selama
di Bali. Rasanya seperti hanya aku yang berlibur.
Ku raih
ponselku lalu mengambil jaket yang tidak terlalu tebal untuk menghangatkan
tubuhku. Jam memang masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, tetapi
cuaca sudah terasa sangat dingin dan mendung ditambah dengan angin laut yang
cukup kencang.
Ku hela
nafas sekali lagi sebelum membuka pintu kamar hotel, lalu berjalan pelan dengan
kedua tanganku yang dimasukkan ke dalam saku.
Akhirnya
aku sampai di bawah setelah turun melalui lift. Beberapa orang yang ada di meja
resepsionis menyapaku hanya untuk sekedar mengucapkan selamat malam, mereka
memang sangat ramah.
Suara
petir terdengar menggelegar disaat aku baru saja ingin melangkah keluar dari
gedung ini. Suara itu sempat membuatku ingin mengurungkan niat untuk pergi,
tetapi perutku meronta-ronta. Mengingatkan bahwa aku memang sedang sangat
lapar. Maka mau tidak mau aku harus memaksakan diri melangkahkan kaki untuk
mencari tempat mengisi perut terdekat.
Langit
terlihat sangat gelap. Aku yakin jelas bahwa rintik-rintik air hujan akan jatuh
sebentar lagi. Aku sangat yakin dalam hal itu bahkan dalam hitungan detik hal
itu bisa dengan mudah bisa terjadi mengingat petir yang terus menggelegar.
Tanganku
masih mengumpat di balik saku jaket. Sedangkan mataku berkeliaran mencari
tempat makan terdekat.
Tak
terasa tetes demi tetes air hujan mulai membasahi tubuhku. Aku mendangak,
memandangi langit gelap yang sedang menangis, dan kini aku kembali teringat
akan dirinya.
Apakah
dirinya di atas sana sedang menangis dan air matanya jatuh membasahi bumi?
Aku
menelan ludah, lalu memandang taman rerumputan kecil yang berada di sisi
kananku. Sebuah taman di pinggir jalan yang indah.
Kini,
mataku menerawang tentang kehidupanku di masa lalu. Kehidupan di beberapa tahun
yang lalu.
---
Aku
merengkuh di dalam pelukan hangatnya, sedangkan jemari tangannya menyusuri
rambut panjangku.
“Langit
malam ini indah.” Ujarku. Masih merengkuh dan bermalasan di dalam dekapannya.
Merengkuh di atas permadani hijau dengan sinar bulan yang menghangatkan kami.
Ia
membalas tersenyum, semakin mengeratkan dekapannya, lalu jemari telunjuknya
menunjuk ke atas. Ke hamparan langit gelap di atas kami.
“Langit
memang sangat indah apalagi ditambah oleh kerlipan bintang-bintang yang
menambah pesona kecantikannya.”
Aku
mengangguk, menyetujui ucapannya, dan bergerak mempererat rengkuhan ini lagi.
“Langit
itu hebat, loh. Ia selalu menyaksikan kita di atas, memperhatikan tingkah laku
kita. Bahkan, langit bisa membawa dan mengingatkan kita berjuta-juta memori
atau kenangan yang terlupa.”
Aku
menatapnya, memberikan perhatian terhadap apa yang sedang Ia jelaskan.
“Langit
selalu menyaksikan kita saat sedang menangis, tertawa, dan tersenyum sekalipun.
Ia tidak akan pernah pergi, karena Ia akan selalu menemani.”
Aku
mengangguk pelan, masih merengkuh di dekapannya.
“Mau
tahu sebuah rahasia kecil?” Tawarnya.
Aku mengangguk
mantap. Ia pun mendekatkan bibirnya ke telingaku.
“Langit
bisa menghubungkan seseorang yang sedang tidak bersama kita dengan diri kita
sendiri.” Bisiknya tepat di telingaku.
Aku
termenung sejenak, “benarkah?” Tanyaku memastikan.
Ia balas
mengangguk.
---
Aku
menggeleng, mencoba menyadarkan diriku yang sedang asik menerawang masa lalu.
Kini ku sadari tubuhku mulai basah, maka langsung ku berlari mencari tempat
untuk berteduh secepatnya.
Aku
berteduh di depan sebuah restaurant cepat saji. Ku gosokkan kedua telapak
tanganku agar menimbulkan kehangatan sebelum masuk ke dalam restaurant yang ku
yakin menggunakan fasilitas pendingin ruangan.
Kakiku
mulai melangkah masuk, dan benar dinginnya udara dalam ruangan menusuk
tulangku. Tetapi lagi-lagi perutku meronta mengingatkan.
Ku
langkahkan kaki menuju meja yang berada di pojok ruangan tepat di sebelah
jendela beserta sebuah burger, kentang goreng, dan segelas soda tertadang di
nampan yang ku bawa. Langsung ku taruh nampan itu di atas meja dan duduk tepat
di pojok ruangan. Meja yang berada di pojok memang selalu istimewa di mataku.
Rasanya meja itu selalu menyajikan kenyamanan yang berlebih, apabila ditambah
dengan jendela kaca yang memudahkan untuk melihat situasi di luar.
Aku
mulai melahap makanan milikku dan sesekali meminum soda untuk memudahkan proses
masuknya makanan.
Mataku
terus memperhatikan situasi di luar. Melihat orang-orang yang sedang asik
berlalu lalang.
Lalu,
mataku terbelalak begitu melihat seorang lelaki dengan jaket yang menutupi
rambut, tubuh, dan tangannya berjalan melewati kaca jendela di sampingku. Ia
seperti Greyson.
Bukan
masalah bahwa Ia terlihat seperti Greyson yang membuat mataku terbelalak bahkan
sampai tersedak, tetapi lelaki itu sedang menghisap sebatang rokok yang Ia
pegang sembari berjalan. Itu yang membuatku terbelalak bahkan tersedak.
Apa Ia
benar Greyson atau hanya terlihat seperti Greyson?
---
That's
all about part 7!
Hope you
guys love it!
Dont be
a secret reader, guys ;)
Thanks
for read, chanda.
No comments:
Post a Comment