Tuesday, January 29, 2013

Skyfall (Part 11)


Setelah memukul sofa itu, Greyson menjatuhkan dirinya ke lantai kayu ini. Aku yang melihatnya seperti itu langsung membantunya menyender di dinding. Ku rangkul tubuhnya yang menegang, berharap rangkulanku bisa membuatnya sedikit tenang.

Tangan Greyson masih mengepal dan berkali-kali memukul lantai. Aku hanya bisa memegang tangannya yang berkeringat erat, mengelusnya pelan, dan membuatnya sedikit tenang. Tak lama, Greyson mulai tenang dan kepalanya kini bersandar di bahuku. Degupan jantungnya yang cepat bisa ku dengar. Kini matanya mulai terpejam masih bersandar di bahuku.

“I hate this life.” Ujarnya pelan.

Aku mendesah, “me too. But we should love and live this life for a while, cause in one day we will leave this life.” Balasku.

Greyson membuka matanya perlahan, lalu melirik ku sekilas. “I love how you make me feel better.” Ucapnya.

Saat itu juga, pipiku memanas. Degup jantungku menambah kecepatannya, binatang kecil itu kembali datang dan bermain di perutku. Mengapa Greyson mudah sekali melakukan hal ini?

“Thank you.” Balasku dengan tersenyum pelan. Greyson ikut tersenyum lalu kembali memejamkan matanya. Kepalaku perlahan bergerak bersender di kepalanya yang berada di bahuku. Entah, aku merasa nyaman dengan posisi seperti ini. Tenang.

Aku melirik ke dirinya yang masih terpejam, kemudian melihat ke tangannya yang masih mengepal. Ya ampun, tangannya bengkak.

“Greyson, tanganmu.” Ujarku pelan sambil memegang tangan kanannya itu. Greyson kembali membuka matanya, lalu melihat tangan kanannya yang bengkak.

“It’s okay.” Balasnya ringan lalu kembali memejamkan mata.

“No, it’s not. How can you say you okay? See?” Ku perlihatkan tangannya yang bengkak akibat memukul lantai tadi. Greyson tidak menjawab ucapanku, Ia hanya membuang nafasnya berat.

“Kau punya persediaan P3K?” tanyaku lalu bangkit berdiri. Greyson mengangguk pelan, lalu menunjuk kotak yang berada di dalam sebuah lemari kecil. Maka langsung ku berjalan cepat untuk mengambil kotak itu dan membawanya kepada Greyson.

“Argh..” erang Greyson saat aku membasuh lukanya pelan. Aku tidak membalas dan lanjut memberinya perawatan kecil.

“Is it hurts?” tanyaku pelan saat membalut tangannya dengan perban.

Greyson mengangguk pelan, “Yeah, but I’m strong enough .” balasnya disambut tawa kecil. Aku hanya menggeleng mendengar ucapannya.

“Done.” Ujarku setelah selesai membalut tangan Greyson. Ku masukkan perban itu kembali ke kotaknya, dan menaruh ke lemari seperti semula. Aku kembali berjalan mendekat kepada Greyson yang masih menyender di tembok. Sorotan matanya kini mengarah kepadaku, bibirnya pun juga menyunggingkan seulas senyum.

“Kau berbakat menjadi seorang dokter sepertinya.” Ucapnya begitu aku duduk kembali di sisinya.

Aku terkekeh pelan. “Benarkah? Itu cita-citaku.” Balasku.

“Oh, baiklah Dokter.” Ujarnya. Keningku mengernyit mendengar panggilannya untukku. “Kalau kau yang jadi dokternya, mungkin aku akan terus menerus membiarkan diriku sakit agar bisa kamu rawat.”

Pipiku memanas dan tidak bisa kupungkiri itu. “Kau aneh dan kau harus tahu itu, oke?”

“Aku tahu itu, Dokter.”

Aku tertawa mendengar perkataannya. Sebenarnya bukan tertawa karena ada sesuatu yang lucu, tetapi tawa ini hanya untuk menutupi pipiku yang memerah akibat setiap perkataannya.

Aku bangkit dari duduk. “Kau tidak ingin beristirahat?” tanyaku kepada Greyson yang masih menyender di tembok. Ia mendesah, lalu menjulurkan tangannya ke arahku. Pandangannya membersi sorotan manja. Aku balas mendesah lalu menggapai tangannya dan menarik tubuhnya untuk berdiri. “Thank you, Doctor.”

Aku tersipu malu, lalu membalas “very welcome.”.

Kini Greyson duduk di sofa tepat berada di depan televisi. Aku pun ikut duduk di sebelahnya.

“Wanna?” tawar Greyson sambil memperlihatkan beberapa CD Film Harry Potter. Aku mengangguk mantap karena aku memang sangat menyukai film yang diperankan oleh Daniel itu. Film pun mulai terputar dan Greyson tidak mengalihkan pandangannya dari televisi. Ia tampak begitu serius menyaksikan adegan demi adegan yang terputar.

Sesekali aku menoleh memperhatikannya. Memperhatikan lekukan yang terdapat di wajahnya, melihat tingkah lakunya yang sesekali meneguk soda dan melahap makanan ringan. Greyson pun terkadang menoleh ke arahku dan memberikan sebuah senyum simpul.

“Boring?” tanyanya.

Aku menggeleng. “No, Greyson. I enjoy it.” jawabku. Greyson kembali tersenyum lalu ku rasakan tangannya bergerak menjalar di punggungku, merangkul ku pelan.

“My shoulder open for you. You can lay your head on it.” ujarnya. Aku mengangguk pelan, lalu menaruh kepalaku di bahunya dan kembali menyaksikan film.

Nafas Greyson sesekali membelai rambutku, menyajikan kehangatan yang mendalam dan menjalar ke tubuhku. Jemarinya yang merangkulku pun sesekali bergerak mengelus lenganku, menyajikan kenyamanan dan kelembutan yang mendalam. Juga senyum yang Ia berikan padaku di sela-sela film yang sedang terputar membuatku merasakan kedamaian.

Ponsel yang ada di sakuku tiba-tiba berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Aku berfirasat bahwa Kakak menghubungiku karena tidak memberinya kabar dimana aku berada, dan benar. Ia menghubungiku.

“Ya, Kak?” ucapku di awal pembicaraan.

“Ciel dimana? Kakak ke hotel nggak ada kamu.” Tanya Kakak yang nadanya terdengar panik.

“uh, um Ciel di rumah Greyson.” Jawabku jujur. Di ujung telepon ku dengar Kakak menghembuskan nafas berat. Ya ampun, aku sudah membuatnya khawatir.

“How many times I told you for not hang out with stranger?” tanyanya dengan sedikit tekanan di tiap kata.

“Greyson’s not a stranger. He’s my new friend.” Balasku membenarkan. Greyson sempat melihatku bingung di saat membawa namanya dalam sambungan telepon ini.

Terdengar lagi nafas berat yang Ia hembuskan di ujung sana. “Baiklah, terserah asal kamu baik-baik saja.”

“Aku baik-baik saja, Kakak nggak perlu terlalu khawatir.”

“Kalau begitu ajak Greyson ke penutupan pameran Kakak sore ini jam tujuh malam. Kakak ingin bertemu dengannya.”

“Oke, Kak.”

“Bye, take care.”

“Bye.”

Aku mendesah pelan dan menghembuskan nafas berat begitu sambungan telepon terputus. Greyson hanya melihatku bingung.

“Maaf kalau sudah membuat Kakak mu khawatir karena mengajakmu pergi tanpa izin.” Ujar Greyson.

Aku menggeleng pelan. “Bukan salahmu, ini salahku karena tidak meminta izin terlebih dahulu.” Balasku lalu kembali bersender di bahunya. “Nanti malam jam tujuh datang ya ke penutupan pameran Kakak, Ia ingin bertemu denganmu.”

“Benarkah?” tanyanya. Aku mengangguk mantap.

“Kau lapar?” Tanya Greyson pada akhirnya begitu film sudah terputar habis.

Aku mengangguk pelan, “Sepertinya, hehe.” Jawabku. Greyson bangkit dari sofa setelah mengacak rambutku, lalu pergi ke dapur yang masih terlihat dari ruang televisi ini. Aku bangkit lalu menyusulnya di dapur.

“Kau bisa masak?” tanyaku. Greyson yang sedang membuka lemari es menoleh ke arahku.

“Bisa.” Jawabnya singkat.

“Benarkah? Jarang loh ada lelaki yang bisa memasak. Ku kira hanya Ayah dan Kakak yang pandai dalam bidang seperti itu. Memangnya kau bisa memasak apa?”

Greyson terkekeh. “Mie instant.” Jawabnya ringan lalu mengambil dua bungkus mie instant dari dalam lemari es.

“Mie instant? Itu adalah masakan yang paling mudah kau tahu.”

“Aku tahu itu.” Balasnya lalu mulai memasak air untuk merebus mie.

“Janganlah makan mie instant terlalu banyak, itu sangat tidak baik untuk kesehatan. Dan jika ingin memakan mie instant, sebaiknya ditambahkan sayur-sayuran dan telur untuk menambah gizi.” Ucapku menasihati.

Greyson yang sedang membuka bungkus mie instant menoleh ke arahku lalu tersenyum. “Baik, Dokter.” Ujanya lalu memasukkan mie ke dalam air mendidih. Aku ikut membantu menyiapkan mangkuk, sedangkan Greyson bagian memasak. Greyson sesekali tertawa kecil tanpa sebab saat memasak. Setiap kali Ia seperti itu pasti aku bertanya apa yang membuatnya tertawa dan Greyson tidak menjawab pertanyaanku malah melainkan mengacak rambutku.

“Akhirnya!” Seru kami bersamaan saat menaruh mangkuk yang sudah berisi mie instant ini di meja tepat depan televisi.

Aku mulai mengaduk mie ini agar panasnya cepat berkurang. Sedangkan Greyson pergi mengambil air putih karena aku tidak memperbolehkannya untuk meminum soda. Soda itu sangat tidak baik untuk kesehatan.

“Kehidupanku mungkin akan menjadi lebih sehat selama berada di sisimu.” Greyson tersenyum ke arahku setelah berkata seperti itu.

Aku tertawa lalu melahap makanan ini pelan. “Kau tetap harus menjaga kesehatan walaupun aku tidak berada di sisimu.”

“Baik, Dokter!” Balasnya dengan ekspresi aneh beserta tangannya yang memberi hormat. Aku hanya bisa terkekeh melihat tingkahnya.

“Biar aku saja yang mencuci mangkuknya.” Ku ambil mangkuk yang sudah berisi kosong milik Greyson dan membawanya ke dapur untuk dibersihkan.

“Terima kasih, Dokter.” Bisiknya di saat aku sedang membilas mangkuk. Senyum mengembang di wajahku.

“Terima kasih juga atas masakan yang super sulitnya itu.” Balasku terkekeh.

“Kau mengejekku, ya.”

“Tidak, aku mengatakan yang sesungguhnya kok.” Aku tertawa, Greyson juga.

Aku kembali ke ruangan televisi setelah membersihkan mangkuk-mangkuk kotor. Tetapi Greyson tidak berada di depan televisi. Aku tidak melihatnya duduk di sofa.

“Greyson?” Panggilku. Tidak ada jawaban. Tetapi tak lama sebuah nada-nada kecil terdengar dari dalam sebuah ruangan. Aku berjalan mengikuti nada itu di sekitar rumah kayu kecil ini, hingga akhirnya aku berdiri tepat di depan pintu bertuliskan “The man who can't be moved?”

Aku masih berdiri di depan pintu ini hingga sebuah suara mengagumkan terdengar melantunkan sebuah lagu.

“Going back to the corner
where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag
I'm not gonna move..”

Ku buka pintu di depanku pelan dan terlihat Greyson yang sedang memainkan jemarinya di atas tuts piano yang berada tepat di depan jendela yang membuat angin masuk dengan mudahnya dan membuat rambutnya bergerak dengan indah. Aku tertegun dan berjalan maju beberapa langkah.

“Got some words on cardboard,
got your picture in my hand
saying, if you see this girl
can you tell her where I am?"

Senyum mulai mengembang di wajahku mendengar lantunan indahnya.

“Some try to hand me money,
they don't understand
I'm not broke, I'm just a broken hearted man.
I know it makes no sense
but what else can I do?
How can I move on
when I'm still in love with you?”

Greyson berhenti sejenak lalu mengambil nafas panjang dan kembali memainkan jemarinya.

“Cause if one day you wake up and find that you're missing me
and your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinkin maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on the corner of the street
So I'm not moving, I'm not moving...”

Aku kembali maju beberapa langkah mendekat agar bisa mendengar suara indahnya lebih jelas.

“Policeman says "son you can't stay here"
I said, "there's someone I'm waiting for If it's a day, a month, a year"
Gotta stand my ground even if
it rains or snows
If she changes her mind
this is the first place she will go.”

“Cause if one day you-” lantun Greyson yang terputus begitu melihatku di sisinya.

“-wake up and find that you're missing me
and your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinkin maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on the corner of the street
So I'm not moving, I'm not moving
I'm not moving, I'm not moving” lanjutku.

Greyson tersenyum lalu kembali memainkan jemarinya.

“People talk about the guy that's waiting on a girl
ohhh..
There are no holes in his shoes but a big hole in his world
ohhh..

Maybe i'll get famous
as the man who can't be moved
Maybe you wont mean to
but you'll see me on the news
And you'll come running to the corner
cuase you'll know it's just for you
I'm the man who can't be moved
I'm the man who can't be moved...”

Greyson menghentikan permainan pianonya, lalu menatapku dalam yang sedang berada di sampingnya.

“Can I get a warm hug? For now, please?” Pintanya. Aku mengangguk dan membungkukkan badanku. Memberinya sebuah pelukan hangat.

“Sure.” Bisikku.

Greyson memelukku erat. Isakan tak lama terdengar yang membuatku mempererat tubuhku walaupun diriku sendiri tidak mengetahui apa yang membuatnya terisak. Ku putuskan untuk tidak menanyakan perihal apa yang membuatnya seperti ini.

“Terima kasih.” Ujarnya setelah melepas tubuhnya dari eratanku. Aku hanya mengangguk.

Greyson sedang menunduk seperti sedang menerawang sesuatu yang aku tidak ketahui.

Ku putuskan untuk duduk di bibir kasur ruangan ini yang menurutku ruangan pribadinya.

Di dinding ruangan ini terdapat beberapa lemari buku kecil yang berisi banyak sekali buku tebal. Saat aku perhatikan dari dekat, ternyata buku-buku itu kebanyakan adalah novel. Tunggu, jadi Greyson suka membaca novel? Ini fenomena yang sangat jarang ku temui bahwa ada lelaki yang senang membaca novel.

Ia benar-benar bisa menjadi orang yang berbeda di setiap saat.

No comments:

Post a Comment