Tuesday, January 29, 2013

Skyfall (Part 12)


Di dinding ruangan ini terdapat beberapa lemari buku kecil yang berisi banyak sekali buku tebal. Saat aku perhatikan dari dekat, ternyata buku-buku itu kebanyakan adalah novel. Tunggu, jadi Greyson suka membaca novel? Ini fenomena yang sangat jarang ku temui bahwa ada lelaki yang senang membaca novel.

Ia benar-benar bisa menjadi orang yang berbeda di setiap saat.

***

Canggung. Hanya suara televisi yang terdengar. Jam sudah mulai menunjukkan pukul empat sore yang ditandai oleh matahari yang sudah tidak berada di puncaknya lagi.

Greyson. Ia sedang duduk di sampingku kini sambil memainkan ponsel layar sentuhnya. Kami memang belum berbicara sama sekali sejak kejadian di kamar tadi. Kecanggungan memang sedang menyelimuti kami.

Aku yang sedari tadi menatap layar televisi langsung menoleh saat mendengar Greyson menaruh ponselnya kencang di atas meja. Membuatku sedikit kaget karena gertakan itu.

Kemudian Greyson kembali menyender di sofa dan menutup kedua matanya dengan tangan. Aku hanya memperhatikannya sekilas dan kembali memperhatikan layar televisi.

Selang lima menit, sepuluh menit, dan lima belas menit kami belum juga memulai pembicaraan. Aku sendiri bingung mengapa situasi canggung seperti ini bisa terjadi. Padahal dari tadi pikiranku terus berputar mencari bahan pembicaraan untuk mencairkan suasana. Tetapi tetap, aku tidak menemukan bahan pembicaraan apapun.

“Ciel,” suaranya tiba-tiba terdengar. Aku berucap syukur dalam hati karena panggilannya itu, berharap agar suasana kecanggungan ini mencair.

“Ya?” Aku menoleh ke arahnya yang masih bersender di sofa. Pandangannya kini mengarah kepadaku.

“Kok canggung gini, ya?” Tanyanya dilanjut kekehan. Aku ikut terkekeh pelan dan menggeleng.

“Nggak tahu. Aku juga bingung kenapa jadi canggung gini.”

“Kau mau pulang? Sudah sore, aku nggak mau buat kakakmu khawatir lagi.”

Aku sadar begitu melihat jam di pergelangan tanganku. Waktu memang sudah sore dan ku rasa perkataan Greyson benar. Aku harus kembali ke Hotel sebelum Kakak mengkhawatirkanku. Lagipula, malam nanti aku bisa kembali bertemu dengan Greyson.

“Ya, ku rasa. Aku harus pulang sekarang hehe.” Balasku terkekeh. Greyson tersenyum lalu bangkit dari senderannya.

Aku ikut bangkit dan mengambil tas kecilku yang berada di atas meja, lalu kembali duduk sembari mengecheck ponsel.

“Ayo.”

Aku menoleh dan mengalihkan pandanganku dari ponsel ke dirinya yang sedang berdiri di depanku. Tiba-tiba aku tersenyum begitu melihat wajahnya. Hingga akhirnya Greyson menyadarkanku dan mengajakku ke luar rumahnya.

“Kita naik sepeda lagi, ya.” Kekehnya sembari menaruh kedua tangannya di saku celana. Aku yang mendengarnya langsung menatap matanya tajam. Bahkan rasa sakit akibat duduk di gagang sepedanya tadi pagi pun masih terasa. Tidak, aku tidak mau duduk di besi itu lagi. Walaupun di lain sisi aku menyukai kupu-kupu yang datang akan sentuhan itu.

“Kau gila.” Balasku masih menatapnya tajam.

“Kenapa? Bukannya kamu suka?” Ia terkekeh. Aku balas memutar bola mata. Lalu kembali berjalan melangkah lebih dahulu darinya, hingga sebuah tangan merangkul pundakku yang membuatku sedikit tersentak tetapi kembali berjalan.

Greyson melepas rangkulannya dan mengambil sebuah sepeda. Kedua tanganku dilipat tepat di dada. Aku terus menerus mendengus kesal mempersiapkan diriku yang akan menerima sebuah siksaan kecil karena duduk di besinya.

“Ayo,”

Aku yang sedari tadi menunduk, melihat ke sosoknya yang sudah berada di jok sepeda. Bibirku yang sedari tadi mencibir kesal terdiam begitu melihat bahwa sepeda yang sedang Ia naiki berbeda dengan sepeda yang tadi pagi. Sepeda yang saat ini memiliki jok belakang.

Tanpa ba-bi-bu, langsung ku duduki jok belakang yang pastinya untukku. Kedua tanganku sempat ingin melingkar di pinggangnya, tetapi aku tersadar dan menaruh tanganku kembali ke dalam saku.

“Hey, siapa yang menyuruhmu duduk di situ?” Tanya Greyson.

Mataku membulat mendengar ucapannya. Maksud Greyson apa? Memintaku untuk kembali duduk di besi penyiksa itu?

“Hah? Lalu aku duduk di besi seperti pagi tadi?” Balasku bertanya.

Tawanya tak lama terdengar, lalu menoleh ke arahku yang berada di belakangnya. “Just kidding.”

Aku mendengus kesal, sedangkan Greyson masih tertawa sembari mengayuh pedal sepedanya.

“Pegangan, nanti jatuh.” Kekeh Greyson.

“Modus.” Balasku.

“Siapa yang modus sih? Bilang aja mau tapi malu.”

“Dasar.” Aku mendengus kesal. Masih mempertahankan tanganku untuk tidak melingkar di pinggangnya, walaupun guncangan jalan yang tidak rata menerpa.

Tiba-tiba Greyson menghentikan kayuhannya, lalu menoleh ke arahku.

“Kau mau pegangan atau tidak?” Tanyanya.

Keningku mengernyit. Pertanyaan macam apa ini?

“Tidak.” Jawabku.

“Baiklah, tapi persiapkan dirimu ya.”

Aku mengangguk. Greyson mulai mengayuh dengan kecepatan yang tinggi hingga ku rasakan degup jantungku bertambah cepat begitu merasakan turunan jalanan yang memaksaku untuk melingkarkan tangan di pinggangnya.

“HOLY CRAPPPP!!!” Teriak kami bersamaan saat sepeda bergerak di turunan yang cukup terjal. Tanganku erat melingkar di pinggangnya dan tubuhku semakin mendekat ke dirinya sambil memejamkan mata.

Degupan jantungku makin cepat setelah melewati turunan itu. Dan Greyson sengaja menambah kecepatan kayuhannya yang membuatku terpaksa mengeratkan pegangan di pinggangnya.

Akhirnya roda sepeda ini berhenti berputar dan suara tawa Greyson terdengar sangat amat kencang. Rasanya ingin sekali aku memukul lengannya dengan kencang karena aksi gila di turunan tadi. Tetapi rasanya tidak sanggup, tubuhku terasa sangat lemah dengan keadaan tanganku yang belum lepas melingkar di pinggangnya.

“Ciel, kita sudah sampai di depan hotel.” Ujarnya. Aku mengangguk pelan. Badanku masih terasa lemah yang aku sendiri pun tidak tahu mengapa bisa seperti ini.

Aku bangkit berdiri dari jok belakang sepedanya, sedangkan Greyson menyandarkan sepedanya itu.

“You okay? You look pale.” Tanyanya. Aku menggeleng pelan.

Tiba-tiba dadaku terasa amat sangat sakit. Rasanya seperti ada yang meninjuku tepat di dada. Sakit, perih, dan menyiksa.

“You okay?” Tanyanya lagi. Bibirku ingin bergerak mengucap 'I'm okay', tetapi sesaat kemudian ku rasa badanku jatuh terhempas ke bawah. Pikiranku melayang, dan suara Greyson menyerukan namaku berkali-kali terdengar sebelum akhirnya aku benar-benar tak sadarkan diri.

***

Cahaya kecil terlihat saat mataku mulai membuka pelan. Pandangan di depanku masih kabur, maka ku kerjapkan mataku berkali-kali hingga seseorang dengan senyum tipisnya terlihat di hadapnku.

“Greyson?” Tanyaku begitu menyadari bahwa senyum tipis itu miliknya. Aku bangkit duduk tepat di atas kasur. “Bagaimana bisa?” Tanyaku. Ku sadari kini diriku sudah berada di kamar hotel.

“Kau tadi kenapa, hah? Membuat khawatir saja.” Tanyanya balik.

Keningku mengernyit dan mengingat hal tadi saat tubuhku jatuh tanpa sadar.

“Apa tadi aku pingsan?” Tanyaku. Greyson mengangguk.

“Kau aneh, ya.” Ledeknya. Aku mendengus kesal. “Saat bermain di pantai, kau tiba-tiba jatuh tersungkur ke bawah karena tidak kuat berlari. Berjalan jauh saja kau tidak sanggup. Ditambah lagi saat bersepeda tadi. Kau memang aneh. Ku ralat, sangat aneh.”

Aku terdiam, menunduk ke bawah. Melihat diriku yang terbalut selimut.

“Seaneh itu kah?” Tanyaku. Greyson mengangguk.

Tak lama sebuah senyum terbentuk di bibirku. “Being normal is boring, that's why I love being weird.” Balasku santai.

Greyson tersenyum, lalu menaruh tangannya di atas kepalaku, dan mengacak rambutku pelan.

“That's right. Being normal is boring.” Ujarnya menyetujuiku. Aku balas tersenyum.

“Ciel, ku rasa aku harus kembali ke rumah.” Pamitnya. Aku bangkit dari kasur, lalu mendampinginya berjalan menuju pintu.

“Bye.” Ujarnya sambil berjalan menjauhiku, tetapi pandangannya masih mengarah kepadaku.

“Bye.” Balasku. “Jangan lupa untuk datang ke penutupan pameran Kakak nanti malam, ya!” Lanjutku.

Greyson mengangguk. Sosoknya kemudian menekan tombol lift. Aku masih melihatnya dari pintu kamar, tetapi sesaat kemudian aku berlari menghampirinya yang sedang memasuki Lift.

“Tunggu!” Teriakku sambil masuk ke dalam Lift.

“Ada apa?” Tanyanya.

Aku menggeleng. “Tidak ada, hanya ingin mengantarmu sampai bawah saja.” Jawabku. Ia tersenyum lalu menekan tombol untuk ke bawah. Pintu Lift pun mulai tertutup dan di dalam sini hanya ada kami berdua yang sempat menimbulkan sebuah kecanggungan kecil. Tetapi untung saja pintu Lift kembali terbuka begitu sampai di lantai dasar.

“I go.” Ujarnya sambil duduk di atas jok sepeda.

“Tunggu,” sela ku. Aku berjalan mendekat dan memutar bola mataku kesana kemari sebelum menanyakan sesuatu yang bagiku sangat penting.

“Apa?” Tanyanya.

Aku menghembus nafas pelan. “Can I have your phone number?” Tanyaku dengan sedikit gugup. Greyson tersenyum.

“You already got a text from me.” Ujarnya. Aku sempat bingung dengan perkataannya, hingga aku kembali teringat dengan sebuah pesan singkat yang ku terima tadi pagi.

“Are you that bad boy?” Tanyaku. Greyson terkekeh dan mengangguk.

“Kau dapat nomerku darimana?” tanyaku lagi.

Greyson menaikkan alisnya sebelah, lalu memberiku sebuah senyuman yang menurutku nakal. “I'm a bad boy. I can get your number easily.” Jawabnya lalu pergi meninggalkanku dengan mengayuh sepedanya.

“Bye, weird girl!” Teriaknya sambil melambaikan tangan. Aku menelan ludah dan membatin dalam hati. “He's such a bad boy.”

***

Kini tubuhku sudah dibaluti sebuah dress selutut berwarna biru laut yang lembut. Penutupan pameran Kakak memang akan diselenggarakan setengah jam lagi, jadi aku harus mulai mempersiapkan diri.

Diriku kini duduk di bibir kasur sambil memegangi ponsel. Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, rasanya ingin sekali mengirimi Greyson pesan untuk sekedar mengingatkan agar datang. Tetapi gengsi ku terlalu kuat.

“Ciel terlihat manis.”

Ku buyarkan lamunanku, lalu menatap Kakak yang sedang merapikan pakaiannya di depan kaca. Pantulan wajahnya yang menampilkan senyum di cermin mengarah kepadaku.

“Kakak juga terlihat keren.” Balasku.

Kakak memang terlihat keren dengan balutan kemeja dan celana panjangnya itu. Bola mata cokelat jernih miliknya bisa menarik beribu-ribu wanita ke dalam dekapannya. Sama persis seperti bola mata Ayah yang berhasil menarik hati bola mata biru milik Ibu.

Wajah Kakak yang merupakan perpaduan antara Indonesia-Perancis menambah nilai ketampanannya.
Ia memang terlihat hampir sempurna seperti Ayah. Banyak wanita yang dengan mudahnya jatuh hati kepada Kakak.

Bayangkan saja, seorang lelaki yang pandai melukis dengan bola mata cokelat jernih, hidung yang mancung layaknya orang Eropa, dan kulitnya yang berwarna kuning langsat seperti orang Asia, pasti dengan hal-hal yang seperti itu wanita mudah sekali jatuh hati, kan? Apalagi Kakak sangat ahli dalam bidang menabuh drum.
Mungkin orang-orang akan menganggapku sebagai adik yang paling beruntung.

“Sudah bilang Greyson, kan?” Tanya Kakak. Aku mengangguk dan kembali menatap layar ponselku. Berharap ada sebuah pesan singkat dari Greyson.

Doaku terkabul. Akhirnya sebuah pesan singkat datang menghiasi layar ponselku.

“I'll tell you how I get your number this night. At the beach :)x”

Senyum mengembang di wajahku dan dengan cepat langsung ku ketik beberapa deret kalimat balasan.

“Aw okay. Cant wait :)x”

Send. Lagi-lagi aku tersenyum, hingga akhirnya Kakak menyadarkanku dan mengajakku untuk cepat-cepat pergi ke acara penutupan pameran Kakak yang akan diselenggarakan di pantai. Ku rasa acara ini akan menjadi seperti sebuah pesta pantai yang mengasikkan.


No comments:

Post a Comment