Tuesday, January 29, 2013

Skyfall (Part 10)


***

Mereka mulai mendekatiku jika biji-bijian yang ku tebar mulai habis, maka ku tebar lagi yang membuat mereka langsung berebutan.

Aku terkekeh melihat kelakuan mereka, dan tak lama sebuah sinar blits kamera menerpaku.

Aku menoleh, dan sudah ada Greyson dengan kameranya mengarah padaku. Senyum manis terpampang di wajahnya.

Menyadari senyum yang Ia berikan, aku ikut balas tersenyum. Greyson berjalan mendekat, lalu bersiap memfokuskan kamera miliknya ke arahku. Aku tersipu malu melihat tingkahnya, sekaligus merasa canggung harus berpose apa.
Akhirnya ku putuskan untuk tersenyum semanis mungkin menghadap ke lensa kameranya, dan tak lama kemudian blits kamera menyambarku.

Greyson menurunkan kameranya, lalu berjalan masuk ke dalam kerumunan burung di sekelilingku. Tangannya langsung menyambar pinggangku yang membuat diriku tertarik ke dekatnya.
Mata kami bertemu satu sama lain dan aku bisa merasakan nafas hangatnya membelai wajahku.
Bisa kurasakan kupu-kupu yang mulai kembali datang dan mengacaukan kendaliku. Berkali-kali aku menelan ludah, harus ku akui aku merasa canggung, senang, dan bingung harus melakukan apa.

Tak lama blits kamera menyambar kami yang masih saling bertatapan.
Oh, tidak. Ternyata sedari tadi tangan kiri Greyson memegang kamera dan mengarahkannya ke kami berdua.

Aku tiba-tiba menggeleng tanpa sebab dan melepas tatapannya.

Ini kah yang namanya salah tingkah?

Ku tutup wajahku menggunakan tangan. Menahan rasa malu yang ku alami, dan ku yakin pasti saat ini pipiku sudah sangat merah.

Ya Tuhan, apa yang baru ku alami sampai bisa membuatku salah tingkah seperti ini?

Ku buka jemari-jemari tanganku sedikit yang bisa menjadi celah untuk melihat Greyson. Dan, tidak ada Greyson di hadapanku.

Langsung ku buka tangan yang sedari tadi menutupi wajahku dan berbalik hingga tiba-tiba blits kamera menerpaku tepat saat aku berbalik.

“Greyson!!” Teriakku. Greyson balas tertawa sambil berlari meninggalkan. Aku mengejarnya berlari, dan di saat aku berlari Greyson lagi-lagi mengarahkan kameranya kepadaku yang menampilkan blits kamera.

Aku masih tertawa sambil mengejarnya hingga akhirnya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Greyson pun berhenti dan mendekat ke arahku.

“You okay?” Tanyanya lalu berlutut di depanku.

“Aneh. Kau sendiri liat kan kalau aku terjatuh, mana mungkin aku baik-baik saja, huh.” Balasku.

Greyson terkekeh, “aku kan hanya berpura-pura perhatian haha.” Ucapnya yang membuatku langsung berkenyit kening.

“Kau jahat.” Balasku lalu berdiri dan membersihkan lukaku.

“Hey, itu berdarah.” Ujar Greyson. Aku mendesah.

“Aku tahu itu, Grey.”

“Kau yakin tidak apa?”

“Tentu. Ini hanya luka biasa, kan.”

Greyson mengangguk, “tapi kau harus cepat-cepat membasuh luka itu dengan air, jangan sampai ada kuman yang masuk.” Ucapnya lalu meraih tangan kananku. “Akan ku antar kau ke suatu tempat indah untuk membasuh luka itu.” Lanjutnya.

Aku mengernyit, lalu tersenyum, dan hanya mengangguk mengikuti arahnya membawaku.

Ia bersikap manis.

***

“Menakjubkan.”

Satu kata terlontar dari mulutku begitu sampai di tempat yang Greyson maksud tadi. Aku menoleh ke arahnya yang sedang tersenyum.

“Ayo, cepat kita basuh lukamu!” Serunya sambil menarik tanganku untuk berjalan. Tetapi aku berhenti mendadak yang membuatnya bertanya.

“Kita?” Tanyaku mengoreksi perkataannya.

Greyson terlihat gugup dengan menggaruk lehernya yang tidak gatal itu, “um maksudku..um kan aku yang bikin kamu jatuh jadi um..ya aku harus ikut basuh luka kamu.” Jawabnya. Aku terkekeh lalu menepuk lengannya pelan.

Greyson membantuku untuk duduk di pinggir danau, lalu mengambil sebuah tissu dari sakunya. Bahkan aku bingung lelaki sepertinya membawa tissu dan ditaruh di sakunya.

“Pelan-pelan, Grey.” Ucapku begitu tissu yang sudah Ia basahi menyentuh lukaku.

“Tenang, aku tahu kalau ini perih.” Balasnya lalu tersenyum. Aku ikut tersenyum melihatnya yang masih membasuh lukaku.

Greyson merogoh sakunya lagi, lalu mengeluarkan sebuah plester luka, dan menempelkannya di lutut tepat lukaku berada.

“Sakumu seperti saku ajaib saja.” Ucapku diselingi tawa. Greyson ikut tertawa.

“Aku tidak mau kejadian masa lalu terjadi lagi, jadi aku selalu membawa benda-benda tadi kemana pun aku berada.”

“Kejadian masa lalu? Kejadian apa?” Tanyaku pelan.

Greyson menoleh ke arahku sekilas lalu kembali menatap ke hamparan air danau di depan. Matanya tampak mulai berkaca-kaca.

Tanganku bergerak ke punggungnya, lalu menepuknya pelan. “Tidak apa, tidak usah diceritakan. Aku mengerti keadaanmu saat ini walaupun aku tidak tahu apa yang membuat matamu berkaca-kaca seperti itu. Semua orang punya kejadian kelam masa lalu, Grey.” Ucapku.

Greyson mendesah. “Ya, aku tahu.” Balasnya.

“Life goes on.” Ujarku lagi. Greyson mengangguk pelan dan sebuah senyum kembali datang muncul di wajahnya.

“Boleh ku pinjam kameramu, Grey?” Tanyaku. Greyson mengangguk lalu mengeluarkan kamera yang sedari tadi dikalunginya.

“Terima kasih.” Balasku, Greyson hanya balas mengangguk dan tersenyum.

Aku bangkit dan berjalan ke sekeliling danau. Kemudian memotret beberapa angsa yang sedang asik bersantai di atas air. Sesekali aku menoleh ke arah Greyson yang masih di tempat semula, dan tangannya bergerak menghapus air mata yang sedari tadi mungkin sudah Ia tahan.

Aku mendesah melihatnya. Ia benar-benar bisa menjadi orang berbeda dalam hitungan detik.

Aku terus berjalan hingga bertemu dengan seorang anak lelaki yang sedang menangis dan mengarahkan pandangannya ke sebuah pohon besar. Aku pun menghampirinya.

“Halo, sayang. Kamu kenapa?” Tanyaku lembut.

Ia tidak menjawab karena nafasnya masih tidak teratur karena menangis, tetapi jemari telunjuk mungilnya mengarah ke dedaunan pohon besar itu. Oh, ternyata layang-layang miliknya tersangkut.

“Akan ku ambilkan tenang.” Ujarku lagi.

Aku bisa dibilang cukup ahli dalam bidang memanjat karena sejak kecil aku memang gemar memanjat pohon besar di depan rumah bersama kakak.

Tanganku meraih ranting terpendek, lalu bersiap untuk memanjat tetapi tiba-tiba ada tangan yang melingkar di pinggangku, dan dagunya menempel di bahuku.

“Lemme take that.” Bisiknya tepat di dekat telingaku. Aku membeku akibat nafas yang Ia lontarkan saat berbisik.

Lalu aku berbalik, dan terlihat Greyson yang sedang tersenyum sangat amat manisnya kepadaku. Kedua tangannya masih merangkul pinggangku erat dan kini mata kami bertemu.

Greyson kemudian melepas lingkarannya di pinggangku dan meraih ranting yang tadinya ku raih.

“Greyson, biar aku saja.” Pintaku. Greyson yang sudah mulai memanjat pohon menolehkan kepalanya dan menghadap ke arahku.

“No. I'm a guy.” Balasnya. Aku mendesah. Ia pikir hanya lelaki yang bisa memanjat pohon?

“Tapi aku bisa memanjat kau tahu.” Eluhku kesal. Greyson tidak membalas dan hanya melanjut memanjat pohon.

Selang waktu beberapa saat, Greyson melompat ke bawah dengan layang-layang anak tadi yang sudah berada di tangannya.

“Ah, you're good to climb my mind.” Ucap Greyson dengan tatapan matanya yang dalam padaku. Tatapan itu seketika membuatku membeku. Terdiam.

“Ini layang-layang mu.” Ujar Greyson sambil memberi layangan kepada anak tadi.

“Terima kasih, kak.” Balas anak itu.

“Sama-sama.” Greyson mengelus rambut anak lelaki itu.

“Kakak berdua terlihat lucu, cocok hihi.” Ujar anak itu sambil terkekeh. Mataku terbelalak begitu mendengar ucapan anak itu, sedangkan Greyson hanya terkekeh.

Greyson mendekat ke arahku begitu anak itu pergi. Ia memberiku tatapan flirty yang membuatku merasa sangat amat canggung, kemudian Ia mengambil sebuah pulpen dari sakunya.

Nah, benarkan saku itu seperti saku ajaib yang menyimpan berbagai macam hal.

Tangannya kemudian bergerak menulis sesuatu di telapak tangan kirinya. Setelah itu Ia kembali memasukkan pulpen ke dalam sakunya. Greyson kembali memberiku senyuman mautnya sebelum menunjukkanku kalimat yang Ia tulis tadi.




“Your hand here.” Itulah tulisan yang terdapat di telapak tangannya. Seketika desiran darahku bergerak cepat, jantungku berdegup lebih kencang, dan mungkin sekarang sudah ada ratusan kupu-kupu yang datang menghinggapi perutku.

“C'mon.” Ujarnya lagi. Aku tersenyum, lalu meraih tangannya. Greyson balas tersenyum begitu tanganku sudah berada di tempat yang Ia minta.

“I finally found my missing puzzle piece when your hand on mine.” Ucapnya berbisik. Aku hanya tersipu malu mendengar ucapannya.

***

“You must be kidding me.”

Greyson yang sudah duduk dengan nyaman di atas jok sepedanya malah tertawa, sedangkan aku hanya mengeluh karena Ia memintaku untuk duduk kembali di besi bagian depan sepedanya.

“Rumahku tidak terlalu jauh dari sini, Ciel. Tenang, tidak akan lama.” Ucap Greyson masih diselingi tawa. Aku mendengus kesal.

“Kau tidak berbohong, kan?” Tanyaku memastikan.

Greyson mengangguk mantap. “Sungguh, aku tidak bohong.”

Aku mendengus kesal lagi, lalu mulai duduk di besi bagian depan sepedanya.

“Be ready.” Ujarnya. Aku mengangguk pelan. Tak lama jemari Greyson mulai mengelus buku-buku jemariku lagi. Aku tersenyum. Harus ku akui bahwa aku menyukai sentuhan lembut jemarinya, tetapi tetap saja besi ini membuatku tidak nyaman.

Greyson mulai mengayuh sepedanya, tetapi baru beberapa saat mengayuh Ia berhenti yang sontak membuatku menoleh ke arahnya.

“Ada apa?” Tanyaku.

Greyson menggeleng, lalu mengeluarkan kameranya dan lensanya di arahkan ke kami berdua.

“Say cheese!” Serunya. Akupun menuruti dan blits kamera kembali menerpa kami.

“Now lets do a duck face.” Pinta Greyson lagi, aku tersenyum melihat bibirnya yang sudah benar-benar seperti bebek.

“One, two, three!”

Kami tertawa setelah itu. Kemudian Greyson kembali memberiku senyum beserta tatapan dalamnya itu, aku hanya diam merasa canggung, dan tak lama Greyson menggeleng tanpa sebab.

“Ah we need to go hehe.” Ucapnya salah tingkah, ku sadari itu karena akupun juga merasakan hal yang sama.

Greyson kembali mengayuh sepeda, dan aku masih berpegangan erat pada gagangnya atau bisa dibilang aku berpegangan erat pada Greyson? Oh tidak, aku malu mengakui ini.

Greyson menghentikan sepedanya begitu sampai di sebuah rumah sederhana yang ku rasa miliknya.

“Ayo.” Greyson lagi-lagi meraih tanganku, lalu mengajakku masuk ke dalam.

Pintu pun Ia buka, dan terlihatlah kondisi dalam rumahnya yang berantakan. Aku berjalan masuk ke dalam bersama Greyson, lalu Ia mempersilahkanku untuk duduk di sofa kecil ini sedangkan Ia bilang ingin mengambil minum.

Aku melihat keadaan sekeliling rumah yang dindingnya dari kayu ini. Ada berbagai macam foto tergantung. Aku pun beranjak untuk melihat foto-foto itu. Ada foto lima orang yang menurutku adalah keluarga Greyson, ada foto Greyson yang sedang tersenyum riang menatap ke kamera bersama seorang perempuan yang ku rasa adalah kakaknya, ada foto lelaki kecil yang terlihat seperti Greyson sedang berada di atas papan selancar, dan masih banyak foto lain.

Aku bergerak makin mengelilingi ruangan ini untuk melihat foto hingga sampai di pojok ruangan. Sebuah meja kecil di tempatkan di pojok ruangan beserta sebuah bingkai yang di geletakkan dan sengaja ditutup. Karena penasaran, ku ambil bingkai itu dan melihat foto yang terdapat di dalamnya.

Seorang perempuan dengan pakaian pantainya sedang merangkul Greyson. Mereka berdua saling memegang papan selancar dan tersenyum lebar bersama.

Aku menelan ludah. Tiba-tiba rasa sesak menghampiriku, dan aku tidak mengerti hal apa yang membuatku seperti ini. Foto tadi? Tidak tidak, untuk apa aku cemburu? Ah maksudku mengapa aku sesak karena melihat foto ini?

“Ciel?” Panggil Grey. Aku berbalik dan melihatnya yang sedang menaruh secangkir teh di atas meja. Spontan ku taruh bingkai tadi di tempat semula.

Greyson mendekat ke arahku. “Kau membuka bingkai itu?” Tanyanya. Ku gigit bibir bagian bawahku karena gugup.

“Ciel, kau melihatnya?” Tanyanya lagi.

Aku mendesah, “maaf aku lantang.” Balasku.

Greyson tersenyum tipis, lalu meraih sebuah tissu dan mengelap bingkai itu. Bingkai itu kemudian Ia kembalikan berdiri tegak, dan tak lama Ia membuang nafasnya berat.

“Kau menyukai selancar?” Tanyaku. Greyson seketika menoleh dan menggeleng.

“Tidak. Aku membenci berselancar.” Jawabnya.

Keningku mengernyit, “tetapi tadi ku lihat ada fotomu sedang berselancar.”

Greyson memejamkan matanya. Kini rahangnya mengeras, urat lehernya terlihat, gertakan giginya terdengar, dan tangannya mengepal. Aku terkaget melihatnya begitu sekaligus membuatku takut. Memang aku mengatakan hal yang sangat mengundang emosinya? Ku rasa tidak atau mungkin aku tidak mengetahui hal apa yang mengundang emosinya.

“Greyson..”

“Arghhh!!” Akhirnya sebuah pukulan mendarat di sofa yang berada di sampingnya. Jantungku berdegup amat kencang begitu pukulan itu mendarat, ku pikir Ia ingin memukulku.

Setelah memukul sofa itu, Greyson menjatuhkan dirinya ke lantai kayu ini. Aku yang melihatnya seperti itu langsung membantunya menyender di dinding. Ku rangkul tubuhnya yang menegang, berharap rangkulanku bisa membuatnya sedikit tenang.

Tangan Greyson masih mengepal dan berkali-kali memukul lantai. Aku hanya bisa memegang tangannya yang berkeringat erat, mengelusnya pelan, dan membuatnya sedikit tenang. Tak lama, Greyson mulai tenang dan kepalanya kini bersandar di bahuku. Degupan jantungnya yang cepat bisa ku dengar. Kini matanya mulai terpejam masih bersandar di bahuku.

“I hate this life.” Ujarnya pelan.

Aku mendesah, “me too. But we should love and live this life for a while, cause in one day we will leave this life.” Balasku.

Greyson membuka matanya perlahan, lalu melirik ku sekilas. “I love how you make me feel better.” Ucapnya.



***

No comments:

Post a Comment