Aku berjalan ke ujung bebatuan, kemudian menunduk melihat
ombak laut yang memecah dinding tebing tempat kami berada. Cukup mengerikan,
tetapi pemandangan dari atas sini terlihat sangat indah dipadu dengan langit
yang sudah mulai menggelap.
Aku kembali berjalan ke Greyson yang sedang duduk di
sebuah batu, lalu duduk di sebuah batu tepat di sisinya.
“Pemandangannya indah,” ucapku.
“Ya, oleh sebab itu aku mengajakmu ke sini. Dulu, aku
suka pergi ke sini untuk menyaksikan matahari terbenam.”
“Dulu?”
“Ya, aku jarang ke sini lagi.”
“Kenapa?”
“Akan ku ceritakan padamu suatu saat nanti.”
Aku hanya mengangguk pelan, “Akan ku tunggu.” Balasku.
Ku perhatikan hamparan laut luas di hadapan kami juga
dengan matahari yang semakin bergerak turun diikuti oleh sinarnya yang membuat
bumi menggelap. Aku menoleh ke Greyson. Pandangannya lurus ke depan, dari
wajahnya terlihat serius sekali seperti sedang memikirkan sesuatu, dan akupun
tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Ku ambil ponsel yang berada di sakuku, sekedar mengecek
jika ada sebuah pesan masuk untukku. Tetapi sayangnya tidak ada satupun pesan
yang masuk. Ku sadari bahwa baterai ponselku mulai habis, maka sengaja ku
matikan.
“Bisakah kita berhitung mundur sekarang?” suaranya cukup
mengagetkanku yang sedang menatap kosong layar ponsel.
Aku menoleh ke arahnya, lalu mengangguk pelan. “Ku rasa
bisa. Mau dimulai dari berapa?” tanyaku.
Ia bangkit dari batu tempatnya duduk, lalu duduk di
sebuah batu yang lebih dekat denganku. “Bagaimana kalau dimulai di angka
sepuluh? Matahari sudah mendekati garis laut.” sarannya.
Aku menggumam sejenak seraya memperhatikan matahari yang
memang mulai mendekati garis pembatas laut dan langit.
“Baiklah, akan ku mulai.” Ku ambil batu kecil di sisiku,
lalu berjalan ke tepi tebing. “Sepuluh,” ucapku sambil melempar batu kecil itu
ke laut.
“Sembilan,”
Sebuah batu melayang ke hamparan laut di bawah. Ah,
ternyata Greyson meniruku.
Aku membungkuk, mengambil beberapa buah batu. “Delapan,”
teriakku diselingi lemparan sebuah batu.
“Tujuh,”
“Enam,”
“Lima,”
“Empat,”
“Tiga,”
“Dua,”
Aku melirik ke Greyson karena sekarang gilirannya untuk
melempar batu dan mengucapkan angka terakhir, yaitu satu.
Greyson tersenyum, lalu menunduk, dan beberapa saat
kemudian kembali menatapku.
“Ku rasa, batu terakhir untuk matahari terbenam lebih
baik kita lempar bersama.” Usul Greyson.
Aku membalas tatapannya yang dalam, lalu senyum
mengembang di wajahku, dan sebuah anggukan pelan ku lakukan. “Baiklah,” jawabku
lalu memegang batu yang berada di genggamannya yang otomatis membuat tanganku
lagi-lagi ada di genggamannya.
“Siap?”
“Ku rasa,”
Kami sempat saling melirik hingga akhirnya,
“Satu!”
Batu itu pun terlempar dan jatuh ke dalam air laut, dan
di saat itu juga matahari sepenuhnya tenggelam yang membuat sekitar kami gelap.
“Can I get a sunset hug?” Tanya Greyson yang sempat
membuatku sedikit kaget. Tetapi, seperti ada yang menyihirku dengan senyuman yang
Ia lemparkan. Aku memeluknya. Tepat di saat matahari terbenam, menenggelamkan
dirinya.
***
Ku buka pintu kamar hotel yang ternyata kosong. Kakak
belum ada di dalam kamar, apa mungkin Ia masih sibuk? Atau..
“Oh, tidak!”
Aku berlari ke sebuah meja kecil di sisi tempat tidur,
lalu membuka lacinya dan mengambil charger ponselku. Ku nyalakan ponsel begitu
sudah terhubung dengan charger untuk mengisi baterai, dan firasatku benar. Tiga
belas pesan singkat dari kakak.
“Ciel, kamu dimana?”
“Ciel, kakak sebentar lagi sudah selesai.”
“Kamu kok nggak bales pesan kakak?”
“Ciel, kenapa ponselnya dimatikan? Kakak telfon nggak
nyambung.”
“Kamu dimana?”
“Ciel, serius. Kakak khawatir.”
“Kakak sudah pesan meja di restaurant untuk kita.”
“Ciel, kakak cari kamu kemana-mana nggak ada.”
“Kamu kemana, sayang?”
“Kakak telfon berkali-kali nggak nyambung.”
“Ya, Tuhan. Kamu kemana? Di pantai nggak ada.”
“Kakak khawatir, Ciel.”
“Kakak lagi nyari kamu. Kalau ternyata kamu sudah ada di
hotel, ada cokelat hangat di meja dan jangan lupa langsung kirimi kakak pesan. Je t’aime, sayang.”
Langsung ku tepuk jidadku dan buru-buru mengetik pesan
balasan untuk kakak.
“Aku ada di hotel, kak. Maaf udah buat kakak khawatir.
Ciel baik-baik aja, kakak cepat ke hotel ya. Je t’aime, Kak. Maaf ya <3”
Send.
Ku taruh ponsel di atas meja, lalu menjatuhkan tubuhku di
atas kasur. Tak lama, ponselku bergetar dan aku sangat mengharapkan itu dari
kakak.
“Syukurlah. Iya, kakak lagi di jalan. Kamu tunggu, ya.”
Sebuah senyum mengembang di wajahku begitu membaca pesan
darinya, menyadari betapa beruntungnya aku mempunya seorang kakak lelaki
seperti dirinya. Kakak memang seseorang yang sangat perhatian, Ia selalu
mengirimiku pesan singkat setiap kali aku sedang tidak bersamanya. Tetapi,
bukan berarti kami tidak pernah bertengkar. Bahkan, kami sering sekali
bertengkar walaupun itu tidak lama. Biasanya setiap kali bertengkar kakak
selalu mengajakku ke kedai ice cream untuk merayuku. He’s the best.
Beberapa menit
berlalu, pintu kamar hotel terbuka dan muncul kakak dengan jaket tebalnya
dibalik pintu.
“Kamu kemana?” Tanya kakak dan langsung memelukku yang
sedang duduk di bibir kasur.
“Maaf, aku sudah melanggar larangan kakak.” Aku melepas
pelukannya pelan, kini Ia sedang menatapku bingung. “Tadi, aku pergi dengan
lelaki yang baru ku kenal di galeri.” Ujarku. Seketika, wajah kakak berubah
bertambah bingung.
“Tapi tenang, kak. Dia orang baik, bahkan dia penggemar karya
kakak! Dia datang dari Amerika ke Bali untuk melihat pameran yang kakak
selenggarakan. Bahkan, dia punya foto lukisan-lukisan kakak dari tahun lalu di
kameranya.”
Kakak menatapku curiga, dan tak lama kemudian Ia berdiri
dan meminum secangkir cokelat hangat di atas meja.
“Lain kali, jangan mudah percaya dengan orang yang baru
dikenal dan jika ingin berpergian hubungi kakak dulu.”
Aku mengangguk mantap. “Baiklah, kak.”
***
Hari ketiga di Bali.
“Jangan seperti kemarin. Hubungi atau kirimi kakak pesan
singkat setiap dua jam sekali. Kakak nggak mau khawatir seperti kemarin,
okay? Je
t’aime, sayang.”
Kakak mengecup puncak kepalaku pelan. Aku mengangguk
mantap. “Siap, kapten!” balasku lalu berjinjit dan merangkulnya. “Je t’aime,
kakak.”
Kakak mengedipkan matanya sebelah, lalu berlari memasuki
galeri tempat diadakan pamerannya sampai dua hari kedepan.
Aku berjalan kaki santai menuju Pantai Kuta dengan kamera
yang terkalung di leherku dan buku diary yang ku beli di Jakarta dari gadis
cilik di lampu merah itu. Tanganku sesekali menangkap dan menyimpan pemandangan
yang ada di sekitar dengan kamera ini.
Aku duduk di atas pasir begitu sampai di Pantai Kuta. Ku
ambil posisi duduk senyaman mungkin, lalu mulai mengambil pulpen yang sedari
tadi berada di saku dan membuka halaman kedua di buku ini.
“Dear, skyfall..
Hari ini adalah hari ketiga ku di Bali, dan maaf kau
belum ku isi tentang banyak hal karena kemarin aku tidak sempat mengisimu.
Padahal banyak sekali yang harus ku ceritakan padamu.
Dua hari yang lalu, aku melihat sosok lelaki yang sedang
membaca novel tepat di saat matahari sedang terbenam. Lelaki itu sesekali
menggerakkan tangannya seperti sedang menghapus air mata. Kau tahu, Ia
membuatku penasaran.
Aku pun terus memperhatikannya yang berkali-kali mengusap
pipinya, hingga akhirnya Ia menoleh ke arahku hingga membuat mata kami bertemu.
Di saat itu aku merasa ada gejolak di hatiku yang aku sendiri pun tak tahu apa
itu. Mungkin, karena aku gelagapan saat mata kami bertemu satu sama lain.
Di hari itu, aku menganggapnya aneh karena tingkah
lakunya.
Lalu kemarin, aku mengunjungi galeri tempat pameran kakak
diadakan. Kakak dan aku pun harus berpisah karena Ia harus sibuk dengan
urusannya sendiri. Aku berjalan menyusuri galeri sendiri bersama kamera yang ku
kalungi untuk memotret beberapa lukisan kakak, hingga akhirnya aku berhenti
tepat di sebuah lukisan yang menggambarkan suatu keluarga. Aku sangat mengerti
apa maksud lukisan itu, aku sangat mengerti mengapa kakak melukis lukisan itu,
aku sangat mengerti jelas apa maksudnya.
Aku terus berdiam di depan lukisan itu hingga blits
kamera dari seseorang di belakang menyilaukanku. Setelah berhasil memotret
lukisan itu, Ia turunkan kameranya yang sedari tadi menutupi wajahnya. Dan kau
tahu, Skyfall? Ia lelaki yang ku perhatikan di pantai itu.
Saat itu aku sangat berharap agar Ia tidak mengenali
wajahku, tetapi sialnya Ia mengenali wajahku walaupun aku telah berusaha untuk bohong.
Setelah itu Ia sempat mengajakku untuk berbincang-bincang mengelilingi galeri hingga akhirnya Ia
mengajakku untuk makan ice cream bersama. Kau tahu, aku sangat menyukai ice
cream. Aku tidak bisa menolak tawarannya apalagi dengan senyum manis yang Ia
keluarkan saat mengajakku.
Di saat itu, aku menganggapnya baik.
Setelah itu, Ia mengajakku ke pantai dan kami berkeliling
menyusuri pinggir pantai yang tiada habisnya. Ia sempat menceritakanku tentang
kehidupan air yang baginya sama seperti kehidupan manusia. Di setiap kata yang
Ia lontarkan tentang kehidupan itu, aku merinding. Aku menyadari bahwa
ucapannya itu sangat benar, dan aku tidak menyangka bahwa Ia memiliki pemikiran
yang bijak tentang kehidupan.
Di saat itu, aku menganggapnya mengagumkan.
Kemudian, Ia mengajakku untuk menyaksikan matahari
terbenam bersama di atas tebing yang cukup jauh dari Pantai Kuta dan tidak
mudah untuk pergi ke atas tebing itu. Kami mulai menghintung mundur hingga
akhirnya matahari terbenam tepat saat kami melempar batu yang terakhir bersama.
Begitu matahari terbenam, Ia memintaku sebuah pelukan.
Di saat itu, aku menganggapnya manis.
Tetapi Skyfall, aku tidak tahu apakah hari ini aku akan
bertemunya atau tidak. Karena aku tidak mempunyai nomer ponselnya, aku tidak
mempunyai apa pun untuk menghubunginya lagipula jika punya aku pun tidak akan
berani untuk menghubunginya duluan.
Menurutmu bagaimana? Apakah kami akan bertemu lagi hari
ini?
Love,
Cielyta.”
Ku taruh pulpenku di atas halaman buku ini, dan menarik
nafas panjang sambil menikmati gemuruh ombak laut yang terdengar.
“Menurutmu bagaimana? Apakah kami akan bertemu lagi hari
ini?”
Aku langsung berbalik badan, melihat seseorang yang
berani-beraninya membaca tulisan yang ada di buku diary ku ini.
---
That’s all about part 5 from my third story.
Thanks for read,
Tweet me your opinion here @chandatamaOP