Thursday, January 3, 2013

Skyfall ( Part 6 )

Ku taruh pulpenku di atas halaman buku ini, dan menarik nafas panjang sambil menikmati gemuruh ombak laut yang terdengar.

“Menurutmu bagaimana? Apakah kami akan bertemu lagi hari ini?”


Aku langsung berbalik badan, melihat seseorang yang berani-beraninya membaca tulisan yang ada di buku diary ku ini.


“Greyson!” Kagetku begitu melihatnya sedang menyeruput es teh dalam sebuah gelas plastik yang Ia genggam tepat di belakangku.


Ia terkekeh lalu duduk tepat di sampingku. “Bertemu siapa?” Tanyanya dengan tatapan bola mata cokelatnya ke arahku.


Aku menggeleng pelan, “bukan siapa-siapa.”


“Jangan berbohong. I can see the lies on your blue eyes.”


Aku menunduk, menjauhkan tatapannya dari bola mata biru milikku ini.


“Kau mau teh?” Tawarnya.


Aku mendongak, memperhatikan es teh yang ada di genggamannya. “Tidak, terima kasih.” Jawabku singkat.


“Oh, ya. Aku lupa kalau kau tidak suka teh.” Ujarnya sembari menepuk jidadnya, aku terkekeh melihat tingkahnya.


“Atau kau mau pergi ke kedai ice cream?” Tawarnya lagi.


Aku tersenyum, “Tentu.”


Kini, Greyson berjalan di sisiku. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, dan sesekali Ia bersenandung kecil atau membuat candaan yang bisa membuat tawaku meledak dengan mudahnya.


“Kau mau pesan rasa apa?” Tanya Greyson sambil menunjuk contoh ice cream yang ada.

Aku bergumam, lalu menunjuk sebuah ice cream dengan tambahan oreo di atasnya. Greyson mengangguk mengerti lalu menyampaikan pesanan kami kepada pelayan kedai tersebut.

Setelah mendapatkan pesanan yang kami minta, Greyson memberikan usul untuk duduk di sebuah meja yang berada di pojok kedai. Tepat di sebelah jendela kaca yang menampilkan pemandangan orang-orang yang berlalu lalang di depan kedai.


“Um, so.. you're a girl with camera, diary, and ice cream on your lips, huh?”


Ku hentikan aksi melahap ice creamku begitu Greyson mengatakan itu. Ku tolehkan wajahku ke jendela kaca dan menyadari bahwa ada sedikit ice cream di sekitar bibirku. Dengan cepat ku ambil tissue yang berada di atas meja dan mengelapnya pelan. Kini, Greyson yang berada di hadapanku menatap dengan tawa yang menghiasi wajahnya.


“Huh, sorry. I love ice cream.” Pekikku diselingi tawa. Tetapi, aku menyadari bahwa di sekitar bibir Greyson juga terdapat ice cream. “Greyson, bibirmu juga.”


Ia mengernyitkan keningnya, lalu menatap jendela kaca di sampingnya dan mengambil tissue.


“Kau tidak ingin membersihkan ini?” Greyson menunjuk noda ice cream yang ada di sekitar bibirnya. Matanya berkedip dengan tatapan yang sangat amat genit. Rasanya ingin sekali menampar pipinya dan menyadarkan bahwa tatapan genitnya membuatku mual.


Aku mengernyitkan kening, lalu tertawa. “Kau pikir ini apa? Sinetron? Drama?” Balasku. Di saat itu juga, Greyson tertawa mendengar perkataan dariku dan mengelap noda di sekitar bibirnya sendiri.


Kami lanjut melahap ice cream milik masing-masing, dan disela lahapan itu Greyson sering melontarkan candaan yang sampai-sampai bisa membuatku terselak karena tertawa disaat makan.


Kami pun meninggalkan kedai itu begitu ice cream yang kami makan sudah habis tak tersisa. Well, we both love ice cream bahkan Greyson sempat menambah ice cream.


“Kau akan tinggal sampai kapan di sini?” Tanya Greyson.


Aku yang sedari tadi sibuk memotret pemandangan sekitar terpaksa menurunkan kameraku dan menoleh ke arahnya.


“Hanya seminggu. Padahal kalau bisa aku ingin lebih lama.” Jawabku.


“Minggu depan kau akan kembali ke Jakarta?”


“Tidak. Ini hari ketiga ku di Bali, ya artinya empat hari ke depan aku akan kembali ke Jakarta.”


“Cepat sekali,”


“Aku tahu. Aku hanya menemani kakak untuk mengadakan pameran di sini karena kebetulan jatuh di hari saat aku libur semester.”


Greyson sempat menunduk, lalu kembali memperlihatkan wajahnya dengan senyum yang muncul. Tetapi ku rasa itu hanya sebuah senyum palsu, sangat terlihat jelas.


“What's wrong?” Tanyaku.


Ia menggeleng pelan, “Tidak. Aku hanya berfikir jika empat hari ke depan aku tidak bisa melihat bola mata biru jernih milikmu itu.”


Aku tersenyum mendengar perkataannya sekaligus tersipu malu,

“Kau bisa, Greyson.”


***


Tanganku sibuk memadatkan bangunan dari pasir pantai yang ku buat. Niat awalnya aku ingin membuat sebuah istana pasir, tetapi sepertinya tanganku tidak mengizinkan dan hasilnya sebuah bangunan berbentuk abstrak yang mungkin lebih buruk dari bangunan pasir yang dibuat anak kecil.


Ku lirik Greyson. Ia sedang menggoreskan pasir pantai dengan sebuah ranting kayu. Aku tidak tahu apa yang sedang Ia buat karena sedari tadi aku masih terfokus untuk membuat bangunan abstrak dari pasir ini.


Tadi kami sempat membuat sebuah perjanjian kecil. Perjanjiannya adalah tiada hari tanpa foto. Entah, ini ide gila dari Greyson. Ia bilang untuk kenang-kenangan. Lagipula tidak masalah, menurutku perjanjian itu asik karena setiap hari kami harus berfoto bersama.


Setelah bangunan abstrak milikku sudah jadi, aku bangkit berjalan ke arah Greyson yang sedang memotret goresannya di pasir.


“mata?” Tanyaku begitu melihat hasil goresannya di atas pasir.


Greyson melemparkan senyum kepadaku, kemudian melangkahkan kakinya ke laut dan mengambil air di laut yang ditampung dalam kedua tangannya.


Greyson kembali ke daratan pantai lalu menuangkan air laut yang Ia ambil ke atas goresan pasir yang Ia buat tadi. Aku hanya menatapnya bingung, tak mengerti dengan apa maksudnya.


“Untuk apa?” Tanyaku.


Ia tersenyum, lalu memegang dua bahuku, dan menatap bola mataku dalam.


“Bola mata itu bola mata milikmu. Bola mata yang jernih seperti air di laut.” Bisiknya.


Aku tersenyum malu, lalu Greyson mendekat ke diriku dan berbisik lagi. “Bola matamu sama seperti laut, indah dan bisa membuatku tenggelam di dalamnya.”

Aku mematung. Pandanganku tak bisa beralih dari bola mata cokelat miliknya. Tangannya masih berada di bahuku. Senyum masih terus Ia lemparkan kepadaku.

Jantungku berdegup kencang.
Darahku berdesir cepat.
Otakku membeku tidak bisa memikirkan apapun.
Tetapi aku nyaman.
Aku nyaman dengan tatapan teduhnya.
Aku nyaman dengan kedua tangannya yang mendarat di bahuku.
Aku nyaman dengan senyum manisnya.


Bahkan rasanya ingin sekali aku menyambar tubuhnya dan memeluknya erat.

Tuhan, kalau bisa aku ingin waktu bergerak lebih lambat. Agar aku bisa menikmati momen ini lebih lama. Bermain dengan tatapan bola mata cokelat miliknya, dan Ia bermain dengan tatapan bola mata biru milikku.


Tiba-tiba ponsel yang berada di sakuku bergetar. Otomatis dengan canggungnya Greyson melepas genggamannya di bahuku.


Kakak menghubungiku.


“Ya, kak?”


“Kamu dimana, Ciel?”


“Pantai.”


“Dengan?”


“Greyson.”


“Greyson?”


“Um, lelaki yang ku temui di galeri kemarin.”


“Ciel, kakak udah bilang kan jangan pergi dengan stranger.”


“Dia baik, kak. Daripada aku pergi sendiri nggak ada yang menemani.”


Aku mendengar kakak membuang nafas berat di ujung sana. “Baiklah, take care.”


“Ya, kak.”


Sambungan telepon terputus.


Aku berjalan mendekat Greyson yang sedang duduk di pinggir pantai. Ia melepas alas kakinya, membiarkan jemari kakinya menikmati hempasan ombak.

Aku ikut duduk di sampingnya, lalu memeluk lututku sendiri dan menatap ke hamparan laut di depan.


“Kakak mu menelfon?”


Aku menoleh, kemudian mengangguk pelan. “Ya, Ia menghubungiku. Menanyakan keberadaanku.”


“Kau beruntung mempunyai kakak yang selalu memperhatikanmu.”


“Aku tahu. Bagaimana denganmu? Kau punya kakak?”


Kini Greyson mengalihkan pandangannya dari laut ke wajahku. “Aku punya, bahkan dua orang.”


“Oh, ya? Mengasikkan pasti.”


“Terkadang.”


Aku mengernyitkan kening. Tak lama Greyson menarik nafas panjang dan membuangnya dengan berat.


“Aku bertengkar dengan kakak lelakiku. Namanya Tanner. Kami bertengkar sejak sebulan yang lalu.”


Aku menatap Greyson yang sedang menatap lurus ke depan. Matanya tampak berkaca-kaca dan redup. Tidak seperti biasa yang selalu menampilkan cahaya disela-sela bola mata cokelat itu.


“Kau ada masalah apa dengannya?” Tanyaku. Kini Greyson mengalihkan pandangannya ke wajahku. Tak lama ku sadari setetes air mata jatuh yang langsung Ia hapus sendiri.


Greyson menarik nafas panjang, lalu menatapku lagi dengan tatapan lebih dalam.
“Kau yakin ingin mendengarnya?”

Aku mengangguk mantap. “Tentu. Aku akan mendengarkan masalahmu. Mungkin, aku bisa membantumu.”


Greyson mengalihkan pandangannya dari wajahku.


“Tetapi, aku belum sanggup untuk bercerita. Bukan sekarang waktu yang tepat, Ciel.”

Aku menepuk bahunya pelan. “Baiklah, jangan dipaksa.”


---


Tweet me your opinion about this story here -> @chandatamaOP

No comments:

Post a Comment