Friday, January 25, 2013

You Say (short story)


***

“You say you love rain, but you use an umbrella to walk under it.
You say you love flowers, but you pick them up and make them die.
You say you love wind, but when it comes you close your window.
You say you love sun, but you use your glasses when it is shining.
You say you dont have any wings, but why are you flying so high and left me?”

***

Langit pagi hari ini tidak secerah hari kemarin.
Matahari mungkin sedang mengambil waktu untuk beristirahat sejenak dibalik kumpulan awan gelap.
Bahkan, burung-burung yang biasanya selalu bertengger di ranting pohon dan bernyanyi nyanyian merdunya pun mengumpat di balik sangkarnya.

Hujan.
Ku rasa hal itu akan terjadi secepat mungkin. Mengingat petir yang terus-menerus mengagetkan bumi, mengganggu orang-orang yang masih asik tertidur pulas di atas istananya.

Mungkin orang-orang akan memanfaatkan hari yang tidak cerah ini untuk bermalas-malasan di atas istananya, tetapi tidak dengan aku. Aku tidak seperti mereka. Karena cuaca seperti ini sangat cocok untukku. Sangat cocok untuk mengukir kenangan-kenangan masa lalu.

Aku berjalan mendekat ke jendela kamar, lalu menaruh jemariku di kaca.
Mataku menyapu pemandangan di luar yang mendung, redup, dan sedikit orang yang pergi berlalu lalang.
Aku tahu itu wajar karena cuaca yang sangat tidak mendukung.

Setelah itu aku menelan ludah, kemudian berjalan mengambil sebuah jaket tebal yang ada di lemari dan memakainya.

Ku raih ponselku dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Lalu meraih gagang pintu berniat untuk keluar. Tetapi ku urungkan niatku untuk keluar, lalu kembali masuk ke dalam kamar.

Kakiku melangkah menuju meja kecil tepat di sebelah kasurku, lalu membuka laci meja itu.

Akupun kembali berjalan keluar kamar setelah mengambil sebuah buku berwarna biru redup di laci meja tadi.

“Pagi, Greyson.” Sapa Ibuku. Ia terlihat sedang sibuk di dapur.

“Pagi, Ma.” Balasku.

Aku mendekat kepadanya, kemudian mengecup pipinya lembut.

“Ma, aku mau keluar sebentar ya.” Ucapku.

Mama mengangguk pelan, “Cuaca sedang tidak bersahabat, kamu hati-hati ya.” Balasnya. Aku mengangguk pelan, lalu berjalan keluar rumah setelah menyampaikan salam.

Aku terus berjalan dengan buku biru ini di tanganku. Jalanan memang sepi, yang membuat udara tidak bercampur polusi dan dingin karena matahari tak muncul.

Aku mulai membuka buku biru itu. Tepat di lembaran pertama, sebuah foto terlihat.

Foto pertama.
Seorang perempuan sedang memegang payung di tengah hujan. Sebuah senyum tipis tertera jelas di wajahnya, dengan jemari tangannya menampung air hujan.

Lalu mataku mengalihkan pandangan ke halaman toko yang ada di seberang jalan, dan kejadian saat itu terputar lagi di otakku.

---

Tanganku mengumpat di balik saku jaket. Cuaca memang sedang sangat dingin karena hujan turun sedari tadi.

Mataku menangkap sosok yang sedang termenung di depan halaman toko. Sosok itu sedang memainkan jemarinya dengan air hujan yang jatuh.

Aku berjalan mendekat kepadanya, lalu berdiri tepat di sisinya.

“Bermain dengan air hujan?” Tanyaku kepadanya.

Ia langsung menoleh ke arahku. “Aku suka hujan.” Balasnya lembut.

Aku mengangguk pelan. “Kalau kedinginan, kau bisa memakai jaketku.” Tawarku.

Ia berhenti memainkan jemarinya dengan air hujan. “Tidak perlu, terimakasih. Lagipula aku tidak mengenalmu.”

Aku terkekeh, “Aku Greyson. Kamu?” Ku ulurkan tanganku berniat untuk berjabat tangan. Gadis itu sempat memandang tanganku, lalu tak lama Ia langsung mengambil sebuah payung yang berada di sisinya.

“Aku pergi dulu.” Pamitnya kemudian berlari dengan payung yang melindunginya dari hujan.

Aku menatapnya berlalu dan terkekeh pelan.

“You say you love rain, but you use an umbrella to walk under it.” Ujarku sedikit berteriak.

---

Aku tersenyum. Kemudian berlari kecil menuju halaman toko seberang itu. Aku terus berdiri di sini seorang diri masih mengukir kejadian saat itu.

Kemudian tiba-tiba aku terkekeh pelan, “you say you love rain, but you use an umbrella to walk under it.” Ujarku pelan.

Setelah itu, aku kembali berjalan. Masih berjalan menyusuri halaman pertokoan ini. Hingga akhirnya di sebelah kananku sudah tidak ada pertokoan lagi, melainkan sebuah kebun bunga yang indah.

Langkahku kemudian terhenti begitu tepat sampai di sebuah pintu kayu kebun ini. Aku menoleh, memandangi bunga-bunga yang bermekaran dan berembun.

Sesaat kemudian, aku kembali menatap halaman buku ini.

Foto kedua.
Seorang perempuan sedang memetik setangkai bunga mawar yang ada di kebun. Senyum terukir di wajahnya.

Aku bergerak masuk ke dalam kebun kecil itu, lalu tanganku meraih setangkai mawar merah yang ada dan memetiknya.

---

“Greyson!”

Aku yang sedang berjalan menyusuri trotoar berbalik badan begitu mendengar seseorang memanggil namaku.

Kini ku dapati sosok dirinya yang berlari mendekatku.

“Kau perempuan yang kemarin?” Tanyaku.

Ia tersenyum lebar, lalu menjulurkan tangannya.

“Angel.” Ujarnya. Aku mengernyitkan kening melihat tingkah lakunya. “Kemarin kau bertanya namaku kan? Namaku Angel.”

Aku tersadar, lalu membalas jabatan tangannya. “Greyson.”

“Aku sudah tahu namamu, Greyson.” Ia terkekeh pelan. “Mau mampir?” Tawarnya sambil menunjuk kebun bunga di belakangnya.

Aku mengangguk, lalu mengikutinya berjalan memasuki kebun.

“Kau suka bunga?” Tanyanya.

“Tidak terlalu, tapi ada banyak bunga di rumahku.” Jawabku.

“Benarkah?” Tanyanya lagi.

“Ya, Ibuku suka mengoleksi bunga.” Jawabku.

Ia hanya mengangguk dan bergumam lembut, kemudian jemarinya memetik setangkai bunga mawar merah.

“I love flowers.” Ujarnya sambil mencium aroma yang dihasilkan dari bunga itu.

Aku mendekat, kemudian mengambil setangkai bunga yang sedang Ia pegang.

“You say you love flowers, but you pick them up and make them die.” Ujarku. Ia hanya menatapku penuh tanya.

---

Kini aku tertawa sendiri mengingat kejadian itu. Lalu aku berjalan keluar dari kebun, masih dengan setangkai bunga mawar yang masih ada di genggamanku.

Aku terus berjalan, masih menyusuri trotoar di pinggir jalan sampai akhirnya aku tiba di sebuah halte kecil. Ku sempatkan diri untuk duduk beristirahat sejenak di kursi halte itu, karena rintik-rintik air hujan mulai jatuh membasahi bumi.

Orang-orang yang sedari tadi masih berada di jalan pun berburu-buru berlari untuk meneduh di halte.

Aku mulai lanjut membuka halaman selanjutnya dari buku ini. Buku yang masih menyediakan beberapa foto yang dapat membawa beribu kejadian lampau di pikiranku.

Foto ketiga.
Seorang perempuan yang sedang menutup jendela. Rambutnya melayang-layang di udara karena diterpa angin.

Aku kembali tersenyum, dan kejadian lampau itu kembali terputar.

---

“Kau mau minum?” Tawarnya.

“Boleh jika kau tidak keberatan, Angel.” Jawabku. Ia tersenyum kemudian memberiku segelas teh hangat yang ku yakin Ia buat sendiri.

Kini aku sedang duduk di ruang tamunya. Tadi setelah berkunjung ke kebun bunganya Ia mengajakku untuk mampir ke rumahnya sejenak karena angin di luar sangat kencang.

“Aku sangat menyukai angin,” ujarnya sambil menaruh setengah badannya di luar jendela. “..mereka membuatku merasa sejuk, juga membuat rambut panjangku melayang-layang di udara. Aku suka itu.”

Angel sempat memandangku yang sedang meminum teh hangat yang Ia beri, lalu tangannya bergerak menutup jendela tempatnya menikmati angin tadi.

“Angel, you say you love wind, but when it comes why are you close your window?” Tanyaku, dan lagi-lagi Ia mengernyitkan keningnya.

---

Kini, aku terdiam.
Ku tutup buku ini dan merangkulnya erat tepat di dadaku karena angin yang sangat kencang. Sedangkan bunga mawar yang ku petik tadi batangnya ku selipkan di salah satu halaman buku ini.

Angin terus berhembus.
Menciptakan kedinginan padaku yang sudah memakai jaket tebal. Tetapi tetap, aku tidak akan pulang ke rumah. Masih ada satu tempat lagi yang harus ku kunjungi. Aku tidak peduli harus menunggu sampai hujan reda sekalipun, karena hari ini aku harus benar-benar mengunjungi tempat itu.

Akhirnya beberapa jam kemudian, hujan mulai berhenti. Angin masih terus berhembus walaupun tak terlalu kencang seperti tadi. Tetapi ini tidak masalah bagiku. Asalkan tidak ada hujan, aku masih bisa berjalan dengan santai.

Aku mulai bangkit, dan berjalan meninggalkan halte tadi. Langit kini memang terlihat lebih cerah. Matahari mulai memperlihatkan wujudnya dan menghangatkan bumi. Hingga sebuah pelangi muncul akibat pembiasan sinarnya.

Aku sempat terdiam sejenak dan tersenyum melihat pelangi itu. Kemudian kembali berjalan masih sama menyusuri trotoar tadi.

Tempat yang ku tuju memang cukup jauh. Tetapi entah mengapa aku hanya ingin pergi kesana dengan berjalan kaki, karena menurutku lebih terasa santai.

Sembari berjalan, aku kembali membuka buku biru itu.

Foto keempat.
Seorang perempuan yang sedang tertawa dengan kacamata hitam yang terpakai di wajahnya.

Aku menunduk, dan kejadian lampau terputar kembali.

---

“Kau mengajakku ke pantai, Greyson?” Tanyanya dengan penuh semangat. Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Sedangkan Angel langsung berlari mendekat ke laut.

Kini, aku dan Angel sudah seminggu lamanya kenal. Bahkan kami makin dekat. Kami bertukar nomor ponsel, berkirim-kirim pesan singkat, telfonan di setiap malam, dan bahkan aku sering menjemputnya di rumah hanya untuk menghabiskan waktu bersama.

“Kau suka?” Tanyaku saat menghampirinya yang sedang duduk di atas pasir.

“Sangat amat suka, Greyson.” Jawabnya. Ia menoleh ke arahku, “Aku suka sinar matahari.” Lanjutnya.

Aku tersenyum, “ya, aku juga.”

Angel balas lagi tersenyum kepadaku. Lalu tangannya seperti merogoh sakunya, dan muncullah kacamata hitam yang langsung Ia pakai untuk menutupi wajah bagian matanya.

“Angel, you say you love sun, but you use your glasses when it's shining.” Ucapku. Sama seperti sebelumnya, Ia kembali mengernyitkan kening.

---

Aku kembali mendangak, menatap langit yang mulai cerah karena matahari. Bayangan wajahnya kini tergambar di langit, dan mulutku tiba-tiba bergerak mengatakan sesuatu.

“Are you using your glasses right now?”

Aku kembali menunduk, dan melanjutkan langkah kakiku. Menyadari bahwa pertanyaanku tadi percuma, karena Ia pasti tidak akan menjawabnya walaupun bisa mendengarnya.

Akhirnya setelah lama berjalan, tempat yang ku tuju sedari tadi sudah ada di depanku.

Aku masih terdiam di depan tempat ini, kemudian menghirup nafas panjang sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam.

Hamparan rumput tersedia di depanku.
Udara segar dan khas dari tempat ini ku hirup.
Beberapa orang sedang duduk termenung di tempat ini. Rata-rata mereka sedang menangis, sambil menebarkan kelopak-kelopak bunga di atas gundukan tanah.
Aku tersenyum haru menatap mereka, kemudian kembali berjalan mencari dirinya.

Akhirnya, ku temui dirinya.
Akupun langsung duduk di depannya, dan mengelus rerumputan hijau lembut yang berada di atasnya.
Aku tahu, kamu pasti terbaring nyenyak di bawah rerumputan ini, Angel.

Aku terdiam memperhatikan sebuah papan yang bertuliskan namanya. Kemudian tanganku bergerak mengambil setangkai bunga mawar yang tadi sudah ku petik.

“Kau masih menyukai mawar, Angel?” Tanyaku sembari menaruh tangkai itu di atas rerumputan hijau yang menyelimutinya.

Hening.
Tidak ada jawaban.
Aku tahu ini pasti terjadi.

Ku hapus air mata yang tanpa disadari jatuh membasahi pipiku.

“Apa tadi kamu sempat memainkan jemarimu bersama air hujan? Kamu masih menyukai hujan, kan?”

Hening.

“Oh ya, apa rambutmu melayang-layang di udara saat angin berhembus kencang tadi?”

Hening.

“Atau mungkin kamu kedinginan karena angin dan hujan tadi, Angel?”

Masih hening.

“Hey, sekarang matahari sedang bersinar cerah loh. Kau menyukainya kan?”

Tetap hening.

Ku hapus air mata yang terus menerus membasahi pipiku.

“Mengapa kamu terus diam, Angel?”

Isak tangis ku makin pecah. Nafasku mulai tak beraturan karena menangis.

Angel.
Ia adalah perempuan yang ku temui saat hujan satu tahun yang lalu.
Saat itu Ia berkata bahwa menyukai hujan, tetapi mengapa Ia tetap memakai payung saat berjalan di bawah hujan?
Saat itu Ia berkata bahwa menyukai bunga, tetapi mengapa Ia memetik bunga yang jelas akan menyebabkan mereka layu?
Saat itu Ia berkata menyukai angin yang berhembus menghempas dirinya, tetapi mengapa Ia menutup jendela rumahnya yang akan membuat angin tidak bisa masuk ke dalam?
Saat itu Ia berkata menyukai sinar matahari, tetapi mengapa Ia tetap memakai kacamata hitam di saat matahari sedang bersinar cerah?

Dan setiap kali aku membalas pernyataannya dengan pertanyaan, Ia selalu mengernyitkan kening kemudian tersenyum dan berkata “inilah aku, Greyson.” Dan di saat itu malah aku yang berbalik mengernyitkan kening.

Hari demi hari berlalu sejak kali pertamanya kami bertemu di tengah hujan.
Kami pun semakin dekat, semakin akrab.
Bahkan kami mulai saling bertukar rahasia, tetapi ada satu rahasia yang tidak pernah Ia katakan padaku sampai sekarang.

Rahasia bahwa Ia mengidap suatu penyakit mematikan.
Suatu penyakit yang dapat membuat bulu kuduk manusia berdiri.
Suatu penyakit yang sudah membuat jutaan orang menjerit kesakitan.
Suatu penyakit yang menjadi ancaman semua manusia.
Suatu penyakit yang sangat ditakuti di dunia.

Kanker. Ya, penyakit itu.

Sebelumnya aku memang sama sekali tidak tahu bahwa Ia mengidap penyakit itu karena memang tidak ada yang memberi tahu.

Hingga akhirnya tahun lalu, Ia tiba-tiba menghilang.
Pesan singkatku tidak pernah dibalas.
Sambungan teleponku tidak pernah diangkat.
Saat aku berkunjung ke rumahnya Ia tidak ada.
Ia menghilang selama kurang lebih seminggu lamanya.

Aku terus mencoba berbagai cara untuk mencarinya yang tiba-tiba pergi. Hingga sampai akhirnya aku menerima sebuah surat dari Ibunda Angel bahwa Angel sudah pergi meninggalkan dunia.

Tahun lalu, Ibunda Angel begitu saja muncul di depan pintu rumahku dengan tangis di wajahnya. Kemudian Ia memberiku sebuah surat yang katanya ditulis oleh Angel untukku.
Akupun membuka surat itu dan membacanya. Ternyata itu adalah sebuah surat permintaan maafnya karena menghilang tiba-tiba. Tetapi Ia tidak menjelaskan mengapa Ia pergi. Hingga Ibundanya mengajakku mengunjungi makamnya dan menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang hidup Angel yang menderita akibat penyakit itu. Dari situ aku tahu yang sebenarnya.

Kini, tepat satu tahun setelah kepergiannya aku kembali mengunjunginya. Menyampaikan betapa rindunya aku akan tawanya, senyumnya, dan tingkah konyolnya.

Aku ingat jelas saat aku memujinya dengan berkata Ia adalah malaikat bersayap dan Angel menangkis pernyataanku dengan berkata bahwa Ia adalah malaikat yang tidak bersayap.

“But, Angel. You say you dont have any wings, but why are you flying so high and left me alone here?”



***

6 comments:

  1. chan cara biar ada "stalkers?" vieweres gitu, kaya lo itu gimana? frustasi gue nyari begituan btw short storynya keren pake banget :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. aww thank youuuu(: caranya di tata letak -> tambahkan gadget -> statistik nah terus diganti "total tayangan laman"nya make kalimat lo terserah. kalo gue kan stalker(:

      Delete
    2. makasih chan, udah ngerti gue sekarang :)

      Delete
  2. ka keren;) itu cara ada kalimat gitu gimana ka? pas kita buka blog kaka ada kalima? heheh

    ReplyDelete
    Replies
    1. yang kotak gitu? yang ada tulisan "keep scrolling and i'll love u forever. k."? kalo gak salah disini deh soalnya aku juga rada lupa-_- http://www.adjiebrotot.com/2010/07/membuat-pesan-selamat-datang-di-blog.html

      Delete